Cuaca terlihat sangat cerah. Tapi itu tidak cocok dengan gadis kecil yang sedang termenung di bawah pohon jati itu.
Semenjak dia di peringatkan oleh guru-guru kemarin, dia merasa harapannya bersekolah sanggatlah kecil.
Naura menatap Padi di tengah sawah yang terlihat menghijau. Sembari termenung dia juga memikirkan nasibnya yang akan datang.
“Aku sepertinya benar-benar harus meminta bantuan Bang Danar,” ucap Naura pada dirinya sendiri.
Gadis itu mengambil ponsel kecil yang bermerek Nokia itu dari sakunya. Ia segera mencari kontak sang kakak dan segera menghubunginya.
.....
Hari sudah beranjak sore, karena ayahnya yang sakit dan tak bisa bekerja, ditambah dengan beras dirumah sudah habis, jadi terpaksa Naura di suruh ibunya untuk meminjam beras pada Anak Hasan.
“Ada apa kamu kesini?” Rosi bertanya dengan ketus.
Dia sudah tahu, jika anak dari kakaknya ini datang pasti tidak akan berujung baik, pasti datang buat pinjam uang atau pinjam beras atau yang lain.
“Itu... Ayah bilang buat pinjam Beras dulu, Tante. Soal nya beras dirumah habis,”
“Sudah kutebak. Keluarga kalian itu ya, benar-benar Cuma bisa nyusahin.” Ucap Rosi kesal, “oh, ya. Tanya juga sama ibu mu itu, emangnya dia mau bayar kapan?”
“Kata Ayah akan di ganti nanti kalau ada uang,”
Rosi mencibir mendengar ucapan ponakannya. “Kalian itu ya, hanya bisa membuat Kakak ku itu sengsara. Lihatlah dia, sudah sakit-sakitan. Sedangkan anak malah yang tahu membuat malu,”
Naura menunduk diam. Dia tahu Tantenya itu sedang menyindir dirinya yang akhir-akhir ini menjadi gosip sekampung.
“Kamu kok bisa buat malu sih, Naura. Memangnya siapa ya ngapain kamu jadi wanita murahan sekecil ini? Baru juga tiga belas tahun sudah berani saja pacaran. Lihatlah Si Tesa anak tante, dia jadi anak yang baik dan penurut. Seharunya kamu contohi kakak sepupu mu itu,”
Naura mengambil beras yang sudah di isi oleh Tantenya itu di dalam kantong plastik.
Jika bukan karena memikirkan mereka akan kelaparan, sebenarnya dia malas melakukan ini.
“Tante, sebenarnya itu hannyalah gosip. Aku tidak melakukannya.” Maura mencoba meluruskan.
“Kamu ingin membohongi Tante? Dengan masalah Kakak mu Roza yang berpacaran di malam hari Dulu, dan juga Si Danar yang mencuri. Kamu pikir Tante masih percaya sama kamu? Keluarga kalian itu memang gak ada yang benar!”
Rasanya begitu tercabik-cabik hatinya mendengar setiap hinaan yang Tantenya berikan pada keluarga mereka.
Selain miskin mereka juga sering tertimpa masalah. Tapi di saat seperti ini tak kan ada yang membela mereka, semuanya seakan berbondong-bondong menyalahkan keluarganya.
Setalah mengucapkan terima kasih secara singkat Naura langsung pergi dari sana. Tak kuat lagi jika berlama-lama di sana dan mendengar penghinaan yang semakin menjadi.
.....
Rindu... Rasa itu yang menyelimuti kalbu dirinya. Tapi apa daya, ia merasa takut untuk Menyambangi rumah kekasih hatinya itu.
Roki termenung di atas teras rumahnya. Pandangannya menatap rumah kecil yang di atas bukit itu... Terasa disana terlihat indah. Ada rasa yang ingin menarinya agar pergi ke rumah kecil itu, tapi lagi-lagi rasanya ada belenggu yang mengikat kakinya agar tak pergi kesana.
Ia mendesah resah... Kapan mereka bisa bertemu lagi.
“Kamu kenapa, Nak?” Mariam bertanya pada putra sulungnya dengan khawatir.
“Ibu... Aku hanya sedang memikirkan seseorang,” ucap Riki.
“Seseorang, siapa?”
Roki mendesah panjang. Ia sedikit takut menceritakan masalah ini dengan ibunya. Bagaimana jika ibunya jadi ke pikiran?
Melihat kegelisahan putranya beberapa hari ini membuat wanita itu khawatir. Janda dua anak itu terlihat masih cantik di usianya yang sudah 40 tahun.
Karena Mariam bukan penduduk asli dari kampung ini. Cara wanita itu menyayangi anak-anaknya tentu saja berbeda dari yang lain.
Kampung ini masih terlalu kulot. Mereka terbiasa mendidik anak dengan memukul dan berkata kasar.
Mariam yang datang dari Kota tentu saja sedikit berpendidikan. Dia terbiasa berbicara lembut, itulah mengapa sikap Roki selama ini lebih baik dari pada pemuda lain di kampung ini.
“Aku sedang mencemaskan seorang gadis...,” Mariam sedikit terbengong, menatap anak bujangnya dengan heran. “Ah... Aku sudah mengacaukan harinya, Bu. Karen Diriku dia menjadi menderita,”
“Siapa? Siapa yang kamu maksud, Ki?” Mariam tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak pada putranya.
Dalam pikirannya sudah banyak hal buruk yang terbayang. Dia takut jika putranya sudah merusak seorang gadis dan meninggalkannya begitu saja.
“Naura, Bu. Aku membuat dia dalam masalah,”
Lagi-lagi Mariam terbengong.
Siapa dikampung ini yang tidak mengenal Naura sekarang. Gadis yang di olok-olok penggoda Dini, dan semua ibu-ibu sedang asyik membicarakan keluarga mereka.
“Kamu melakukan apa padanya?”
Roki mendesah lagi. “Ibu... Kamu pasti mendengar gosip itu sepanjang hari kan?” tanya Roki, “itu semua terjadi karena aku...,”
Mariam tidak mengerti. Bagaimana putranya bisa terlibat dengan masalah itu?
“Coba jelaskan pada ibu dengan baik,” pinta Mariam.
Roki mulai bercerita apa yang terjadi di antara mereka. Mulai dari Hengki sang sahabat yang berbuat masalah, sehingga gosip itu menyebar tanpa dapat di cegah.
Melihat putranya uang begitu tertekan dan merasa bersalah. Mariam menepuk pelan bahunya, “lebih baik kamu temui dia dan meminta maaf.”
“Ibu merasa kamu juga bersalah. Kamu sudah tahu di desa ini wanita begitu di jaga, bagaimana bisa kamu masih mengajak gadis kecil untuk berpacaran?” keluh Mariam tak habis pikir, “sudahlah, datang dan minta maaf pada gadis itu,”
“Aku tahu, Bu. Tapi masalahnya dia tidak ingin bertemu lagi dengan ku,”
Mariam tidak berkata-kata lagi. Dia mengerti, gadis itu tak ingin bertemu dengan Roki mungkin karena tak ingin gosip semakin panas.
“Kalau begitu kamu harus berusaha memperbaiki keadaan,” ucap Mariam. Dia berlalu meninggalkan putranya di teras depan.
****
Di sekolah
Suara berisik dari siswi yang sedang sibuk di jam istirahat membuat sekolah itu terdengar sangat ramai.
Naura menatap sekeliling sekolah, suatu hari nanti mungkin dia akan merindukan tempat ini.
Setelah menghubungi Danar semalam, dan menceritakan hal apa yang terjadi. Pada akhirnya dia hanya bisa mengambil satu keputusan jika ingin tetap bersekolah.
“Naura,”
Nana berlari menghampiri sang teman.
“Ra, kamu serius dengan yang kamu bilang kemarin?”
Ketika ditanya sepeeti itu dia hanya bisa tersenyum kecil.
“Iya,”
“Tapi kenapa? Apa wali kelas panggil kamu lagi ke ruang guru?”
Naura menggeleng. Dia memperlihatkan selembar kertas yang dia dapatkan dari ruang guru tadi.
“Keputusan ini sudah aku pikirkan, Na. Dan melihat para guru yang begitu mudah memberi izin, sepertinya mereka juga tak ingin mempertahankan murid seperti aku,”
Nana mendengus masam. “Mudah apaan, kamu sudah satu minggu mengurus semuanya, tentu saja mereka menyelesaikannya begitu.”
Naura tersenyum saja mendengar ucapan Nana. Suatu hari nanti dia pasti membalas kebaikan temanya ini, karena sudah sudi menemaninya dimasa- masa sulit.
“Jadi hari ini hari kamu disekolah ini?”
“Iya.”
“Kenapa kamu gak pamit pada teman-teman kita yang lain,” tanya Nana. Cukup heran ia melihat Naura yang masih saja bersekolah seperti biasa, padahal dia sudah mengurus surat kepindahannya.
“Aku rasa gak usah.” Naura duduk di bangkunya. “ada banyak hal yang ingin aku hindari, Na. Mungkin dengan begini lebih baik. Aku rasa juga teman-teman yang lain tak akan peduli,”
Naura sengaja tidak mengabarkan ini pada teman-teman yang lain. Mungkin hanya sebagian guru yang tahu, dan Naura juga meminta mereka untuk di rahasiakan.
Entah apa yang dicemaskan?
Tapi yang pasti sekarang dia ingin pergi dengan damai.
Dia tidak ingin orang-orang yang sudah menyakitinya datang satu persatu dan menertawakan penderitaan yang dia hadapi.
....
Selamat tinggal Masa lalu... Dan selamat datang masa depan.
Akan selalu aku ingin kenangan indah di desa ini agar aku tetap merindukan kampung halaman ku.
Dana ku tanam kenangan buruk di dalam hatiku, agar di masa depan aku bisa melihat sudah sebaik apa hidupku di masa itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
RAMBE NAJOGI
nyesekkk
2023-06-18
0