Naura menatap bingung kakaknya yang terlihat ingin pergi, padahal hari sudah akan malam.
“Bang Danar mau kemana?” tanya Naura, “kok malam-malam keluar? Udah bilang sama ibu, Bang?”
Melihat adiknya kawatir Danar mengusap kepalanya lembut. “Abang mau menginap di rumah teman. Ibu udah tau kok, kamu tenang saja,”
Malam itu Danar pergi menemui Riki seperti janji mereka tadi siang. Setelah mendapat penolakan dari saudara-saudara ayahnya untuk membantu, sekarang Dia tak punya pilihan lagi untuk mendapatkan uang.
Cara satu-satunya gar dia bisa lulus tahun ini ya tinggal menerima tawaran Riki. Bagi Danar, ini kesempatan terakhir agar dia bisa menjadi orang yang lebih baik, jika dia berhenti dan tidak mendapatkan Ijazahnya, ia akan berakhir seperti ayah nya juga. Hanya menjadi buruh tani, dan hidup dikampung sepanjang hidup.
Setelah kakaknya pergi Naura kembali masuk ke dalam pondok renyot itu. Sebenarnya gadis kecil itu juga merasa kawatir juga dengan nasib kakaknya.
Seperti janji mereka ternyata di sana Riki memang talah berkumpul bersama teman-temanya yang dia temui di telepon umum kemarin.
****
“Dimana Danar?! Kenapa kalian diam saja!” Hasan berteriak pada anak istrinya, “bikin malu saja. Berani-beraninya dia mencoba meminjam uang pada keluarga ku!”
Hanum yang mendengar teriakan suaminya buru-buru keluar dari dapur. Wanita yang sedang sibuk memasak itu menghampiri suaminya dengan wajah letih.
“Ada apa lagi, Pak?” ucapnya dengan lembut pada sang suami. “Kenapa berteriak malam-malam begini? Malu pak kalau didengar orang,”
“Malu kamu bilang!” Hasan terlihat semakin berang, “anak laki-lakimu itu tidak tahu di untung! Susah payah saya membesarnya tapi hanya tahu membuat malu! Menyesal saya membiarkannya hidup!”
Naura dan Tata yang mendengar ucapan bapak mereka hanya bisa diam sembari menahan tangis. Ya, kata-kata tak mengenakan seperti ini memang sering kali diucapkan oleh kedua orang tua mereka, tapi tetap saja tidak terbiasa, dan pasti akan menangis diam-diam pada akhirnya.
“Memangnya Danar melakukan apa? Apa yang membuat Bapak begitu marah?” Hanum mencoba mengusap bahu suaminya, tapi hasan dengan kasar langsung menghempaskah tangan istrinya.
“Anak tak bergunamu itu, beraninya dia meminjam uang pada Adikku! Apa dia tidak punya otak, membuat malu keluarga saja! Bahkan orang sekampung sudah tahu, benar-benar mencoreng muka saya!”
Hanum yang mendengarnya sekarang mengerti. Hatinya merasa tercubit melihat begitu besar pengorbanan anaknya untuk bisa bertahan sekolah. Ia sedikit menyesal kenapa dia tak menyimpan uang sedikit saja, jika dia bisa memenuhi itu mungkin sekarang anaknya tidak akan berakhir seperti ini
“Lalu masalahnya apa? Kita memang tak mampu membiayai sekolah putra kita, lalu apa salahnya dia mencoba mencari pinjaman?”
Kemarahan tadi yang terlihat sedikit tenang, tapi kini semakin membara setelah mendengar ucapan istrinya. Hasan merasa terluka harga dirinya mendengar jawaban Hanum. Padahal selama ini istrinya selalu setuju dengan pendapatnya, tapi lihatlah sekarang, beraninya sang istri membantah tapa tahu malu.
“Apa kau sedang menghinaku?!” mata Hasan memerah dengan jarinya menunjuk wajah Hanum, “semua orang di kampung ini dia coba pinjamkan uang, lihatlah sekarang orang-orang membicarakan kita. Dia bahkan memohon-mohon pada Rosi. Mau tarok dimana wajahku ini!”
“Bang, Rosi itu Tantenya. Apa salahnya jika dia membantu anak kita. Seharusnya yang kamu marahkan adik mu yang sombong itu. Dia bahkan membiarkan putra kita memohon-mohon dan dia masih tak punya hati menolong Danar. Untuk apa keluargamu itu kaya, bahkan selain menghina kita tidak ada lagi yang dia lakukan!”
Mata Hanum berkaca-kaca, melihat suaminya yang begitu memuja keluarganya sendiri dan melupakan tanggung jawabnya pada anak-anak merek. Hanum yakin sekali, sekarang warga menggunjing merek pasti karena hasutan Rosi pada warga.
“Kamu...,”
“Apa lagi! Ingin memarahi aku juga.” Bentak Hanum lagi, “aku susah melihat putra kita begitu ingin sekolah. Tapi kamu malah memarahinya.”
“Biat apa sekolah, gak ada gunanya!”
“Lalu kenapa kamu selalu mendukung semua keponakan mu untuk sekolah? bahkan sampai kuliah keluar kota.” Hanum bertanya dengan lirih.
Jelas terlihat serat luka dimata tua itu. Suaminya sangat menjunjung tingi semua saudara dan keponakannya, tapi untuk anaknya sendiri Dia malah mengabaikannya.
“Itu karena mereka berbeda...,”
“Perbedaan itu Abang yang buat. Aku tahu keluarga abang orang kaya dan keluarga ku orang miskin sehingga kamu selalu merendahkanku. Tapi anak-anak kita... Kenapa kamu juga menyakiti mereka? Apakah keponakan lebih berharga dari pada anak abang, darah daging abang sendiri?”
Hasan tak mampu menjawab ucapan suaminya. Dia sendiri baru menyadari, jika dia sudah sejauh itu bertindak dan meninggalkan keluarganya di belakang.
****
Hari berlalu dengan sangat cepat. Sudah dua minggu berlalu, dan sekarang Danar telah selesai mengikuti ujian akhirnya. Dan beberapa bulan lagi, ia akan mendapatkan ijazah kelulusannya kelak.
Kebahagiaan melingkupi hatinya saat membayangkan akan menggenggam kertas berharga itu.
Danar pulang ke rumah setelah menerima hasil ujiannya. Dan kabar bahagia ini akan ia sampaikan ke seluruh keluarganya, mereka pasti akan senang pikir Danar.
“Assalamualaikum,”
Tak ada yang menjawab salam darinya. Danar menepuk dahinya, bagaimana bisa dia lupa jika siang begini ada di rumah, pasti ayah dan Ibunya sedang sibuk di sawah dan adik-adiknya belum pulang dari sekolah.
Dia masuk ke dalam rumah. Setelah meletakkan hasil ujiannya Danar segera berjalan ke dapur mencari makanan.
Sett...
Danar tertegun melihat tudung nasi yang isinya kosong.
“Ibu gak masak? Atau gak ada beras?” Danar mencoba masuk ke dalam kamar orang tuannya. Disana dia membuka tempat penyimpanan beras.
Kosong?
Danar mengusap perutnya yang terasa perih karena menahan lapar. Dari pagi dia belum makan apa-apa, Cuma sebuah panggang pisang yang dia makan tadi pagi.
“Bagaimana dengan Tata sama Naura pulang sekolah nanti? Mereka pasti juga lapar,”
Tak punya harapan lain. Danar segera membawa cangkul ke belakang rumah untuk mencari singkong. Mereka bisa makan rebus ubi itu nanti sampai ayahnya berhasil mendapatkan pinjaman beras.
Dalam hidup Danar sekarang satu hal yang dia doa pada tuhan yang maha kuasa, semoga nanti dia bisa sukses setelah bekerja, dan tak pernah merasa kelaparan lagi seperti karang.
Memang sesusah itu kehidupan mereka. Untuk makan saja mereka sangat kesusahan, terkadang harus meminjam pada orang lain atau saudara mereka. Meskipun nanti mereka di caci maki sedemikian rupa hanya untuk setekong beras, tapi mereka tetap bersyukur jika mereka memberi pinjaman.
Jangan ditanya kemana hasil panen sawah jikalau waktu panen telah tiba. Padi itu semua akan lenyap untuk pembayar hutang.
Tidak ada kesenangan, tidak ada rasanya waktu yang perlu disyukuri dalam hidup mereka rasannya. Nyatanya memiliki kedua orang tua lengkap bukan sebuah kebahagiaan, yang ada mereka semakin tersiksa dengan tekanan-tekanan orang tua yang memaksa anak-anaknya dewasa sebelum waktunya.
Tangisan, pukulan. Bahkan pernah dibiar kelaparan dua hari dua malam oleh sang ayah hanya karena Danar pernah berbuat salah. Dan ia rasa mungkin itu tak akan pernah dia lupakan nantinya ketika dia dewasa.
Tekanan batin!
Sepetinya sangat cocok untuk dikatakan pada anak-anak malang itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Usmi Usmi
bapak gak tau diri malah membanggakan keluarga yg sombong itu
2025-01-06
0
FJ56
ya allah sampai nangis aku thor...
cerita mu masuk didalam benak gambaran ku😭😭
2023-05-26
1