Hasan pulang ke rumah setelah matahari terlihat sudah berpulang ke peraduannya. Terlihat tubuh hitam yang kokoh itu berjalan dengan cepat.
Pria paruh baya itu terlihat pulang dengan wajah masam, tidak ada kesenangan di sana untuk bisa membuat orang nyaman memandangnya..
Saat dia masuk ke dalam rumah, ia langsung berteriak memanggil anak laki-lalinya.
“Danar!”
Rumah kecil itu menggelegar mendengar suara itu. Tata dan Naura sudah gemetar ketakutan, dua gadis kecil itu bersembunyi di belakang tubuh Ibunya.
“Ada apa?” Hanum bertanya dengan khawatir. “Kenapa mencari Danar? Dia baru pergi keluar,”
“Anakmu itu benar-benar membuat saya malu! Siapa yang mengajari dia menjadi pencuri?!”
Hanum terenyak mendengar ucapan suaminya, “apa yang kamu katakan? Pencuri apa?”
Hasan yang mendengar banyak tanya dari Istrinya merasa semakin marah. Jika saja sekarang Danar ada di rumah mungkin dia sudah memukul anaknya itu.
“Apa kamu tahu? Tadi siang pak kepala desa mencari saya beserta beberapa pemuda. Kau tahu, mereka mengatakan sudah punya bukti jika putramu itu terlibat mencuri sapi-sapi yang hilang.”
Hanum merasa tubuhnya melas seketika. Anaknya pencuri? Tidak! Dia tidak pernah mengajari ini untuk anak-anaknya. Hanum ikut merasa murka mendengar hal itu. Jika seperti itu wanita itu pasti tak akan membela putranya.
Bukankah sudah pernah dijelaskan. Sebenarnya di keluarga ini tidak ada yang mendidik anaknya benar-benar baik. Tak ada yang benar-benar menyayangi putra putri mereka dengan benar. Mungkin karena tak berpendidikan, atau entah mungkin dari awal mereka yang benar-benar yang tidak tahu cara menyayangi anak. Setiap ada kesalahan Hasan dan Istrinya biasa akan memukul anak-anak mereka, bahkan dulu kakak tertua mereka pernah sampai pingsan di pukul oleh sang ayah.
Dan sekarang Hanum sama seperti suaminya. Sangat marah setelah mendengar kabar itu, dia bahkan semakin memanasi hati suaminya dengan kata-kata umpatannya yang tidak terima dengan sikap Danar.
“Benar-benar anak tidak tahu di untung! Menyesal saya melahirkannya,”
“Jika aku tahu anak ini hanya akan membuat aku malu saja, dari kecil sudah aku buang dia!”
“Tak berguna! Sudah capak membesarkannya, tapi malah melempar kotoran di muka orang tua! Dasar anak tidak tahu di untung!”
Banyak lagi kata-kata yang tidak berperasaan Hanum ucapkan untuk anak-anaknya yang tidak mendengarkan kehendak mereka sebagai orang tua.
“Pukul saja dia nanti! Saya juga gak sudi punya anak tukang maling seperti itu! Lebih baik dia mati saja biar tak ada lagi yang membuat malu!”
H
Tanpa mereka sadari dua gadis kecil di dalam kamar sudah gemetar ketakutan. Selain karena perkataan ibu dan ayahnya yang begitu kejam, Tata dan Naura juga di landa kawatir dengan keadaan kakaknya nanti.
“Kak, apa ayak benar-benar akan memukul Abang?” Naura bergetar ketakutan. Mentalnya benar-benar hancur karena sikap orang tuanya yang begitu kasar dalam mendidik mereka.
“Antahlah dek. Kakak juga takut, apa sebaiknya kita cari Abang saja di luar, lalu kita suruh saja dia lari. Dia kan sudah tamat, gak perlu sekolah lagi, jadi dia bisa kabur dari rumah.”
“Tapi bagaimana kalau ayah lihat kita keluar, bisa-bisa kita yang kena pukul nanti,” ucap Naura semakin merasa takut.
Baru saja mereka mengatakan akan mencari sang abang, tapi tak lama Danar malah pulang dan langsung mengucap salam pada kedua orang tuanya.
“Ibu aku...,” ucapan Danar yang terdengar riang itu berhenti saat sesaat ia menyadari sebuah tangan melayang ke pipinya.
Plak!
Tamparan yang tidak di sangka Danar membuat dirinya hampir saja jatuh. Tak cukup di situ, tanpa perasaan Hasan kembali melayangkan tamparan dan tendangan pada tubuh putranya.
“Ayah..!”
Naura dan Tata berteriak ketakutan saat melihat ayah mereka masih memukul sang abang dengan brutal. Mereka segera mendekat, mencoba melindungi abang mereka.
“Ayah, jangan pukul abang lagi,”
Hasan berhenti memukul. Dia menatap anak-anaknya dengan tatapan membara.
“Kau benar-benar membuat keluarga mu malu! Benar-benar anak tak berguna!”
Danar hanya bisa terduduk diam menahan perih di tubuhnya dan juga di hatinya mendengar kata-kata sang ayah.
“Siapa yang mengajarimu menjadi pencuri?! Jawab!”
Tak ada jawaban, Danar hanya mampu tertunduk diam yang membuat Hasan dan Hanum meyakini jika tuduhan itu memang di lakukan oleh anaknya.
Hanum yang melihat dari tadi tak ada raut kasihan di wajahnya untuk sang putra. Diam-diam dia malah setuju dengan sikap keras sang suami.
Tapi satu hal yang tidak di ketahu oleh Hanum. Di dalam hati ketiga anaknya mereka diam-diam membenci sikap ibunya. Wanita pertama yang menjadi dewi pelindung untuk sang anak telah ia rusak hari ini dengan membiarkan saja kejadian itu terjadi begitu saja.
*****
Kejadian tadi malam sangat membekas bagi mereka bertiga. Siang itu, tak lagi peduli dengan sawah Ibunya yang belum siap ia bantu panen. Danar bersiap untuk berangkat pergi merantau siang itu sesuai yang ia dan Riki rencanakan.
Kemarin sore ia sudah berhasil meminta ijazah ke rumah kepala sekolahnya. Dengan alasan karena ingin buru-buru pergi merantau, akhirnya dia mendapatkan ijazah itu dengan mudah.
“Abang benar-benar akan pergi?”
Danar mengangguk. Dia menatap adiknya sebentar, “abang harus buru-buru pergi, dek. Sebelum kepala desa mendapatkan bukti dan membawa Abang ke penjara.” Danar terkekeh, “lagi pula bukankah tadi malam Ibu juga sudah mengusir abang. Dia bahkan tak ingin lagi serumah dengan akaknya yang pencuri ini,”
Tak terasa mata pemuda itu memanas. Jika dia tidak malu menangis di depan adiknya mungkin sekarang ia sudah terisak. Dia sedih, padahal kedua orang tuannya tahu jika dia mencuri karena untuk bisa sekolah.
Tapi lihatlah mereka, bukanya merasa sedih tapi malah langsung membuang anaknya. Daripada dia sakit karena pukulan ayahnya, sebenarnya Ia lebih merasa sakit dengan kata-kata ibunya yang begitu tak punya hati.
Ibunya bahkan beberapa kali menyumpahinya mati, ia merasa benar-benar tak diinginkan keberadaannya.
Diam-diam Naura juga mengangguk menyetujui kata-kata abangnya.
“Tapi kalau abang pergi jangan lupa kami, ya?”
“Gak akan. Setelah kamu lulus sekolah nanti abang akan jemput kalian dan kita pergi sama-sama.”
Naura mengangguk senang dengan janji yang di buat oleh kakaknya itu.
Setelahnya Danar segera membawa tas lusuhnya yang berisi beberapa potong pakaian itu. Dia mengusap lembut puncak kepala adik-adiknya.
“Jaga diri kalian baik-baik,”
Hanya pamit pada kedua adiknya, Danar memilih tidak pamit pada kedua orang tuanya karena tidak berani.
Dia pergi... pergi dengan luka dan kesedihan yang membuat dirinya keras hati. Dia berharap di kota nanti hidupnya lebih baik, agar dia bisa membuktikan kepada kedua orang tuannya kalau sekolah itu hal yang sangat perlu bukan menghabis waktu tak berguna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments