Ruang Sunyi
Kenapa miskin itu sangat hina?
Kenapa semua orang akan memandang rendah seseorang jika dia terlahir dari keluarga miskin?
Naura selalu bertanya pada takdirnya, kenapa hidupnya begitu susah. Apa tuhan itu tak adil?
Orang-orang bilang Allah tidak akan menguji umatnya, jika merek tak mampu. Tapi Naura selalu bilang dia tak kuat, tapi cobaan tetap saja silih berganti datang menimpanya dan keluarga kecilnya.
Gadis yang berumur Delapan tahun di paksa dewasa sebelum waktunya. Karena lingkungan yang begitu kejam, dia yang hanya gadis kecil harus berjuang seperti orang dewasa untuk bertahan hidup.
“Naura! Apa yang kamu lakukan disana? Cepat masuk, hari sudah malam,” teriakan wanita dewasa itu menyentak lamunan Naura.
Naura mengangguk patuh. Itu ibunya yang memanggil, wanita tua yang telah berumur tapi tetap saja galak pada anak-anaknya. Tak kenal belas kasihan, jika sudah marah pasti cubitan akan melekat di setiap kulit sang anak-anak.
“Iya, Buk.”
Naura memasuki gubuk kecil yang selama ini menaunginya bersama keluarga yang lain. Saat dia sudah merasa lelah seharian membatu orang tua di sawah, ia akan bernaung disini mengistirahatkan tubuh yang letih.
Menjadi anak yang paling bungsu dari enam bersaudara, Naura sering kali merasa iri dengan kakaknya. Kenapa tidak dia saja yang dilahirkan duluan? Jika saja sekarang dia sudah tumbuh besar, mungkin dia sudah bisa pergi merantau seperti kakak-kakaknya yang lain. Dan disana dia bisa bebas dan tak hidup susah penuh tekanan di kampung seperti sekarang ini.
Hidup di kampung sangat susah. Apalagi mereka hidup dalam kemiskinan seperti ini, ada saja setiap harinya orang datang menghina mereka. Apakah menjadi miskin begitu buruk?
****
Ayam berkokok dengan merdu, penanda sebentar lagi akan datang fajar menerangi bumi. Sudah dibiasakan bangun subuh, ketiga saudara itu sudah sibuk membatu ibu mereka.
Naura beserta dua kakaknya telah bangun dari setengah jam yang lalu, begitu juga dengan Ayah dan Ibu yang terlihat sudah sibuk menyiapkan barang untuk di bawa ke sawah.
“Bu... Apa hari ini kami jualan lagi?” itu Kak tata yang bertanya, dia kakak di atas Naura yang masih sekolah dasar seperti Naura. Bedanya Naura masih kelas dua SD, sedangkan kakaknya sudah kelas lima.
“Iya.” Ibuk menjawab di sela-sela kesibukannya menyusun barang, “Tata, kamu bawa gorengan aja, ya. Sedangkan Naura, kamu bawa es ke sekolah.”
Mereka berdua mengangguk patuh. Ya, mereka tidak akan menolak perintah kedua orang tuannya, apalagi usaha seperti ini memang sudah biasa bagi keluarga ini, dengan begini mereka yang masih kecil bisa membantu ibuk dan bapak membeli beras.
“Baiklah, kami berangkat ke sekolah ya, Buk, Yah.” Setelah bersalaman mereka segera keluar dan berjalan kaki menuju sekolah.
Jarak sekolah ke rumah tidaklah dekat, karena itu merek Dari subuh sudah berjalan kaki agar tak terlambat datang ke sekolah, jika tidak nanti mereka bisa dihukum.
“Ra, apa kamu bisa membawa es itu? Jalan pematang sawah ini licin, bagaimana jika nanti kita jatuh?” Tata mencemaskan adik kecilnya. Masalahnya es yang mereka bawa cukup banyak, dan begitu juga yang di jinjing Tata.
Menggunakan rok dan harus melalui pematang sawah yang cukup jauh untuk sampai ke jalan, merek memang sangat kesulitan. Tapi mau bagaimana lagi, tak ada cara lain jika masih ingin bersekolah.
“Tidak apa-apa, kak. Aku bisa,” Naura yang kecil berujar semangat. Dengan langkah kecil dia terlihat begitu lincah melewati setiap tanah basah yang sangat licin.
Senyum mereka berdua merekah saat berhasil keluar dari sawah dan telah sampai di jalan yang sudah bisa dilewati orang-orang dan juga motor.
“Wah, lihat itu. Dua anak babi sudah keluar dari sarangnya!” Seorang anak laki-laki berteriak nyaring, membuat beberapa temannya yang lain tertawa terbahak-bahak.
“Iya. Lihatlah baju sekolahnya yang sangat kotor. Mereka benar- benar menjijikkan.” Satu lagi anak itu berbicara, tapi kali ini seorang anak cewek yang seumuran dengan Tata.
Memang begitulah perlakuan teman-teman sekampung Mereka. Selain di ejek, mereka juga tak jarang mendapatkan perundungan sari teman sekolahnya.
Sayangnya itu semua harus tata dan Naura tanggung, mereka tidak akan berani mengadu pada Bapak dan Ibuk di rumah.
Tak ingin melihat adiknya semakin sedih, Tata membawa adiknya segera pergi dari sana. Cacian sudah biasa mereka dapatkan, bahkan sebutan anak Babi sering kali mereka dengar.
Itu semua bermula saat Agus, sang sepupu mereka mengejeknya seperti itu, pada akhirnya semua orang ikut-ikutan menyebut mereka Babi. Mungkin karena rumah mereka yang jauh di tengah sawah, jadi mereka mengejeknya anak babi.
Ahh, bukankah saudara itu terkadang lebih kejam dari orang lain?
“Kak Tata, kenapa orang-orang selalu bilang kita anak Babi? Padahal kita kan gak salah sama mereka?” Naura mencoba bertanya pada sang kakak.
“Itu karena Bang Agus, dia yang menjelek-jelek kan kita pada orang lain.”
“Kenapa dia sangat jahat, bukankah dia masih abang kita?”
Tata berpikir sejenak. Benar apa yang di katakan sang adik, Agus itu masih saudara merek. Karena bapak pemuda remaja itu merupakan kakak kandung sang Bapak.
“Tidak. mulai saat ini jangan anggap dia Abang kita lagi. Dia hanya orang jahat yang membuat kita tak punya teman.”
Naura mengangguk mengerti. Berlahan ada rasa benci yang tumbuh pada saudaranya sendiri. Mungkin suatu hari nanti dendam ini menumpuk dan menjadi memerang untuk mereka dikala telah dewasa.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Aisyah Al Humairah 🧸☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
Alhamdulillah mampir kk. semngat dalam berkarya ya kk. sya masukkan daftar subscribe kk🤗
2023-05-04
3