“Bagaimana sekolah kalian?” Hanum membelai puncak kepala putri bungsunya dengan sayang.
Dimalam hari mereka memang terbiasa berkumpul seperti sekarang ini. Setelah lelahnya dari mencari rezeki di siang hari, maka dimalam hari adalah waktu untuk mengistirahatkan badan yang terasa begitu letih.
“Semuanya baik, Bu. Dan ya... Dua minggu lagi katanya abang Danar mau ujian, apa benar bang?” si gadis kecil menatap sang kakak laki-lakinya. Mendengar kabar kakaknya mau ujian Naura merasa sedikit khawatir, takut-takut jika kakaknya tidak bisa ikut karena tak bisa bayar uang sekolah.
Sesuai yang mereka prediksi, terlihat Ibu mereka terlihat tertunduk sedih. Danar yang mengerti itu ikut merasa kawatir, jika kali ini dia tak bisa ujian mungkin dia akan tertinggal, dan mungkin saja ia tak lulus pada tingkat terakhir ini. Karena sekarang ujian akhir untuk siswa kelas tiga.
“Tapi Ibu tak punya uang, Danar. Apalagi uang bulanan mu sudah banyak nungak, pasti pembayarannya tak sedikit.” keluh Hanun, “apa gurumu sudah bilang berapa yang harus di bayar?”
Danar mengangguk, “guru bilang aku harus melunaskannya, Bu. Semua yang harus dibayar Lima ratus ribu,”
Hanum tercekat. Lima ratus ribu itu merupakan uang yang sangat besar dalam keluarganya. Mata uang yang saat ini masih kecil, dan uang yang di minta anaknya itu merupakan gaji Bapak mereka selama dua bulan mungkin.
“Bukankah uang sekolah perbualan hanya Dua puluh lima ribu sebulan? Kenapa bisa menjadi begitu banyak?”
Danar menarik nafas lelah. Apa ibunya lupa atau pura-pura lupa? Dia hampir satu tahu masa sekolah ini tak pernah bayar, tentu saja menjadi segunung seperti sekarang ini. Lagi pula ayahnya juga selalu tak setuju jika dia menghabiskan uang untuk sekolah. Kata ayahnya hanya membuang-buang uang saja, mending untuk dibeli beras.
“Tapi Bu,” tata ikut angkat bicara untuk membela sang Abang, “Bang Danar sudah lama tidak bayar uang sekolah. Mungkin karena itu banyak bayarannya,”
Hanum menarik nafas panjang, ikut khawatir dengan masalah ini. Lagi pula putranya sudah berjuang bertahun-tahun untuk sekolah ini, masa disaat-saat terakhir ini harus kandas.
Saat mereka semua terdiam bingung, Hasan yang dari tadi diam ikut menyeletuk.
“Lebih baik kamu berhenti saja sekolah. Untuk apa sekolah, habis waktu saja! Mending bantu bapak di ladang.”
Semua orang di rumah renyot itu menjadi sunyi. Ruang sunyi itu diciptakan oleh ayah mereka sendiri, dan saat kata menyakitkan itu terhunuskan, dan saat itu juga hati anak-anaknya tercabik-cabik.
“Bang, Danar sudah hampir tamat bukankah sia-sia perjuangan dia selama ini.” Hanum mencoba membujuk suaminya itu untuk lebih lembut lagi hatinya pada anak-anak mereka.
“Aku tidak peduli! Sudah dari dulu dibilang, tetap saja kalian melawan. Buat apa sekolah nanti juga ke sawah sama ke kebun. Dan kalian yang perempuan ini juga nanti akan menikah, habis-habis uang saja.”
Danar yang sudah tak kuat lagi mendengar kata-kata penghinaan ayahnya memilih keluar rumah. Menyesal dia menceritakan tentang masalah ini, seharusnya dari awal dia sudah sadar kalau kedua orang tuanya tak mungkin mau membatu. Seharusnya dia diam saja, dan memikirkan cara lain sendirian.
“Sepertinya aku harus cari kerja, atau nanti aku pinjam saja sama seseorang.”
Remaja itu terlihat frustrasi memikirkan nasib pendidikannya. Tak tahu harus mengadu pada siapa, nyatanya meskipun semua sanak saudara ayah kaya-kaya, tapi tetap saja mereka tak akan ada yang peduli pada dia dan juga adik-adiknya.
Tiba-tiba Danar ingat dengan kakaknya yang dirantau. Sepertinya dia harus menghubungi mereka, mungkin saja ada yang mau membatunya. Tapi bagaimana cara dia mendapatkan telepon?
......
“Kak, tolonglah kak. Aku benar-benar butuh uang itu, jika tidak mungkin aku akan di usir dari kelas saat ujian.”
Danar mengiba pada Nadia yang di sabrang sana. Dia hampir saja menangis saat membujuk kakaknya itu. Ini kakaknya yang ketiga, Nadia namanya yang merantau di kota padang.
Tadi sebelum menelepon Kak Nadia, Danar sudah menelepon kakak pertama dan keduanya. Tapi seperti yang dia pikirkan, mereka tak bisa membantu dan malah mengejeknya.
“Gila kamu, Dan. Uang sebanyak itu, itu satu bulan kerja aku!” Nadia terdengar marah di seberang sana.
“Tapi kak, aku benar-benar butuh uang. Apa kakak bisa bantu aku?”
“Gak usah sekolah kamu. Saya juga tak sekolah, hanya tamat SD dan udah bisa cari uang sendiri. Jangan mentang-mentang kamu anak laki-laki kesayangan Bapak kamu banyak tingkah! Dasar anak tak tahu diuntung!” Nadia di sabrang sana langsung memutuskan sambungan telepon.
Danar yang mendengar kata-kata terakhir kakaknya tak terasa air matanya menetes. Sekarang harapannya benar-benar pupus, dia sudah tak tahu lagi kemana bisa mencari uang untuk pembayaran sekolahnya.
“Loh, Danar? Kamu ngapain kesini?” Riki teman sekolah Danar, pemuda itu terlihat bersama beberapa teman-temanya yang sepertinya juga ingin menggunakan Telepon umum itu.
“Baru saja telepon kakak Aku, Rik. Kamu mau telepon seseorang juga?” tanya Danar basa basi pada temannya itu.
“Gak. Aku Cuma temani teman aja.” Sahut Riki. “Oh ya, kamu sudah siapkan uang untuk bayar uang sekolah, Dan? Kita berdua kan sama-sama banyak nunggak.”
Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Danar mendesah lelah. Padahal tadi dia sudah mencoba untuk tidak bercerita pada Riki, tapi sekarang malah di pancing.
“Belum, Rik. Aku hubungi kakak ku juga karna itu, tapi mereka gak ada yang bisa bantu.”
Riki yang mendengar keluhan Danar menepuk bahunya memberi semangat. “Sabar ya, kita berdua ini sama-sama orang susah, gak ada yang mau bantuin kita. Aku tahu kok gimana perasaan kamu,”
Danar mengangguk mengerti. Kehidupan mereka berdua hampir sama, sama-sama susah. Berbeda dengan Danar yang memiliki keluarga, tapi tak ada yang mau membantu. Sedangkan Riki, dia anak yatim piatu, tak memiliki ibu dan ayah, hanya tinggal bersama pamannya. Tapi ya itu, tinggal bersama saudara pasti tidak ada enaknya, Riki sering kali diperlakukan kasar oleh keluarga pamanya itu.
“Kalau kamu gimana? Apa sudah ada uangnya?” Danar kembali bertanya, sedangkan Riki menggeleng lemah. “Terus kita harus gimana. Gak mungkin sudah di penghujung ini kita menyerah,” keluh Danar putus asa.
“kalau aku sih sudah dapat solusi. Teman-teman aku tuh...,” Riki menunjuk teman-temanya yang tadi datang bersama, “merek udah janji akan bantu aku cari uang malam ini.”
“Hah? Gimana caranya?”
Riki tersenyum kecil, “aku gak bisa cerita. Tapi kalau kamu mau kamu bisa minta bantuan pada mereka seperti aku, mana tahu mereka bolehkan.”
Danar yang diberi harapan yang begitu menyegarkan tak bisa dia tak bersenang hati.
“Tapi sebelum itu... Sebaiknya kamu coba lagi deh, pinjaman pada saudara-saudara Bapak mu. Mana tahu dapat.” Riki menyarankan itu, membuat Danar sedikit heran, “tapi kalau benar-benar gak bisa kamu datang aja nanti malam di gubuk ujung sawah.”
“Kenapa begitu?” Danar semakin heran, entah kenapa ia semakin merasa tak enak. Tapi lagi-lagi Riki hanya tersenyum kecil.
“Nanti kamu juga akan tahu,”
Setelah itu Riki pamit pergi bersama teman-temannya. Danar semakin berkecamuk dengan pikirannya. Tapi jika dipikir-pikir lagi dia bisa melakukan apa saja untuk uang itu. Dia tidak akan melepaskan kesempatan ini, meskipun dia menerima dulu usulan Riki, mungkin saja benar saudara-saudara ayahnya ada uang bisa membantu.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments