“Apa kamu sudah mendapatkan kerja?”
Sore itu setelah mereka berkeliling kota Pekanbaru untuk mencari pekerjaan. Tapi keduanya kembali dengan wajah lesu, tak ada yang menerima mereka secepat ini karena sulitnya lowongan kerja.
“Gak satu pun yang mau menerimaku, mereka lebih banyak mencari karyawan perempuan dari pada laki-laki.”
Riki mengangguk, ternyata yang di ceritakan orang-orang di kampung itu benar, hidup di kota besar tidak seindah yang dibayangkan.
Merasa sudah lapar Riki mengeluarkan satu bungkus nasi dari tas yang dibawanya tadi.
“Tadi aku membeli nasi. Hanya satu, gak apa-apa jika ini kita makan berdua kan?”
Hidup mereka akan semakin keras ke depannya, tentu saja Riki tidak berani menghambur-hamburkan uangnya hanya untuk urusan perut. Dia harus berhemat agar bisa bertahan, cukup makan secukupnya saja itu sudah sangat bagus untuk mereka berdua.
“Aku tidak masalah, malah sangat bersyukur kita masih bisa makan nasi di sini.” Danar berucap lalu mereka berdua tertawa dengan ucapan itu.
“Besok kita harus lebih giat lagi mencari kerja. Apa saja, yang terpenting bisa membuat kita membeli makanan.”
Lagi-lagi mereka tertawa. Benar, sekarang cukup hanya mampu bertahan hidup saja di kota besar ini. Dia tidak berpikir mencari uang yang banyak sekarang, mereka harus memulai dari bawah dan berlahan pasti akan menjadi baik.
“Malam ini kita akan tidur di sini lagi?” Danar sebenarnya masih suka takut tidur di bawah jembatan ini, tapi mereka benar-benar tak punya pilihan.
“Mau tidak mau kita harus bermalam di sini. Uang yang aku bawa gak cukup untuk menyewa rumah. Bagaimana denganmu?” Riki sudah tahu jawaban Danar, tapi dia hanya mencoba menggoda temannya itu.
“Kau jangan mengejekku, aku bahkan lebih miskin darimu.”
Dia tak suka bukan berarti akan merubah keadaan mereka. Malam itu mau tidak mau dia terpaksa tidur di sana bersama-sama.
****
Di sekolah.
Bukannya mendapatkan perlindungan dari guru, tapi hari-hari Naura semakin mendapatkan perundangan dari taman-temannya.
Bahkan ada juga beberapa guru yang setelah tahu latar belakang meritnya dan sengaja melakukan perilaku yang berbeda.
“Naura, hari ini hari terakhir membayar uang LKS. Kamu tidak lupa kan?”
Pada tahun ajaran itu semua guru menganjurkan murid-muridnya untuk membeli buku LKS. Buku ini membuat guru-guru lebih mudah mengajar, meskipun metode ini membuat orang tua murid banyak yang tidak senang karena harus membayar lagi. Contohnya seperti keluarga Naura.
Tapi mau bagaimana lagi. Jika tidak membeli maka akan di usir dari kelas, tentu saja itu membuat murid-murid sangat takut.
Uang jajan sekolahnya saja hanya Rp 500 rupiah, bagaimana dia bisa membayarnya. Naura tak berani meminta pada ibunya, jadi di dalam kelas ini sekarang hanya dia yang belum melunasi hutang pada gurunya itu.
“Maaf, Bu. Aku gak punya uang sekarang,” ucapan jujur gadis kecil itu mendapat delikan tajam dari gurunya.
“Kamu ini! Bahkan beberapa minggu lagi kita sudah harus ujian naik kelas, dan kamu masih belum membayar uang buku. Naura, kamu bau ikut ujian tidak?”
Semua siswa di kelas itu tergelak, mencemooh Naura, bahkan ada yang meneriaki anak miskin. Sedangkan gadis kecil itu hanya tertunduk takut, meskipun kejadian seperti ini sering terjadi tapi tetap saja membuat ia sakit hati
“Naura, sebenarnya kamu itu lebih baik di rumah saja dan gak usah sekolah.” Itu Rara, taman sekelasnya yang duduk persis didepan bangku Naura. Bisa dikatakan dia anak yang paling jahat dan suka mengajak temannya untuk menjauhi Naura.
Naura menatap benci Rara yang tersenyum mengejeknya.
“Sudah! Anak-anak harap diam.” Guru itu berteriak saat mendengar murid dikelas itu semakin ribut. “Naura, ibu berikan kamu kesempatan satu kali lagi untuk melunaskannya, jika minggu depan masih juga tidak bayar kamu akan ibu larang ikut ujian mata pelajaran Ibu.”
Anak delapan tahun diancam tentu saja tidak bisa menahan tangisnya. Saat guru itu keluar dari kelas Naura langsung menyembunyikan wajahnya untuk menangis.
Tak ada yang kasihan, bahkan teman-teman sekelasnya tak peduli padannya.
Kehidupan menjadi miskin benar-benar sangat buruk dipandang orang. Bahkan meskipun dia hanya anak kecil tetap saja mereka memperlakukannya kasar.
****
Ujian kenaikan kelas. Untuk ukuran SD Negri di desa saat ujian mereka tak membayar mahal uang sekolah. Cukup melunasi uang buku dan membayar denda libur, semua murid di perbolehkan untuk mengikuti ujian.
Meskipun begitu tetap saja masih banyak para orang tua yang keberatan anak-anaknya sekolah. Mungkin mereka menganggap sekolah hanya menghabiskan waktu dan uang saja, padahal kehidupan disana sekolah maupun tak sekolah tetap saja jadi petani.
Pada tahap ini Tata dan juga Naura tidak tahu harus melakukan apa agar bisa ikut ujian.
“Apa sebaiknya kita minta sama Ibu saja?” ucap Tata.
Naura mengangguk saja.
Semenjak Danar telah pergi dari rumah, semua hal sekarang menjadi semakin menakutkan. Hasan yang dulu selalu tak suka saat anaknya memilih sekolah, sekarang semakin menjadi semenjak Danar membuat perangai. Apalagi pria itu beberapa kali jatuh sakit, kehidupan mereka terasa semakin sulit dari hari ke hari.
Hanya saja Hanum terlihat sedih, wanita tua itu sering termenung di tengah malam. Mungkin dia merasa kawatir dengan keadaan anak-anaknya di luar sana, sedangkan dia tak bisa melakukan apapun.
“Ibu...,”
Hanum melihat kedua putrinya yang masih kecil berlahan mendekat dengan takut-takut.
“Ada apa?”
“Bu...Apakah kami bisa minta uang?” Karena dia yang paling besar disana, jadi Tata yang berbicara pada ibunya. Sedangkan Naura, gadis itu hanya bersembunyi saja di punggung sang kakak.
Hubungan keluarga itu memang secanggung itu. Tak terlibat seperti seorang ibu dengan anaknya, hanya ada keengganan yang membuat jarak mereka begitu jauh.
“Uang, buat apa?”
“Itu... Ibu guru menyuruh kami membayar uang buku,” ucap mereka takut-takut.
“Uang?”
Hanum terdiam sesaat. Kata uang untuk sekolah membuat Hanum kembali ingat dengan akan laki-lakinya. Dulu Danar juga meminta seperti ini, tapi karena penolakan mereka membuat anaknya itu memilih mencuri agar bisa tetap ujian kelulusan. Kali ini dia tidak ingin membuat kesalahan lagi.
“Kalian butuh uang berapa?”
Tata dan juga Naura membulatkan matanya mendengar ibunya setuju memberikan uang pada mereka.
“Kami butuh uang Rp 20.000”
Pada masa itu uang se gitu cukup besar, karena itu gaji seorang yang bekerja di ladang sepanjang hari.
“Baiklah... Ibu punya uang simpanan, nanti akan ibu merikan.”
Rasanya sangat bahagia, Naura dan Tata menatap ibunya dengan penuh rasa terima kasih karena sudah mau memberi mereka uang yang begitu banyak.
“Terima kasih, Bu.”
Hanum merasakan dadanya menghangat melihat senyum yang merekah di bibir kecil putri-putrinya. Seharusnya dari dulu dia melakukan ini, bukan malah mendidik mereka dengan kekerasan yang membuat mereka takut saat ada didekat-Nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments