Setelah mengetahui bahwa para korban pembunuhan berantai di pabrik minuman tersebut, Queen berjam-jam di depan komputer untuk mencari tahu seluk-beluk perusahaan minuman tersebut. Mulai dari siapa pemilik perusahaan tersebut, kapan di dirikan, dimana pemilik perusahaan tersebut dan banyak lagi yang ingin dia ketahui.
Setelah sekian lama di depan komputer, akhirnya gadis itu mematikan komputernya. Ya, mencari tahu kapan perusahaan itu didirikan sangat mudah. Tapi, mencari siapa pemilik perusahaan minuman itu dan dimana dia sekarang itu yang sulit.
Gadis itu melihat kembali foto-foto para korban. Beberapa wajahnya sudah tidak berbentuk karena membusuk. Sedangkan ada wajah korban yang masih bisa dikenali walaupun sudah membengkak tanda akan segera membusuk. Lagi-lagi dia menemukan kejanggalan disana.
"Ada apa? Kau menemukan sesuatu?" tanya Arthur yang baru saja kembali dari TKP setelah disuruh Queen beberapa jam yang lalu.
"Aku tidak yakin, tapi wajah mereka sangat mirip dengan teman-teman SMA kita." ucap Queen.
Arthur memperhatikan satu persatu wajah para korban, lalu menggelengkan kepalanya. "Entah, agak sulit mengenali wajah mereka dengan kondisi wajahnya yang seperti itu. Ditambah aku juga agak lupa dengan wajah mereka karena sudah tidak bertemu mereka sejak lulus 5 tahun yang lalu. Aku hanya mengingat beberapa nama mereka." jawab Arthur dengan jujur.
Queen menghembuskan napasnya. "Apa hasil autopsi sudah keluar?" tanya Queen.
"Sudah tentu belum, hasil autopsi biasanya keluar setelah 4-8 minggu." jawab Arthur.
Queen mendengus kesal, lalu gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan pergi dari kantor polisi begitu saja. Sedangkan Arthur diam sambil menatap foto-foto korban pembunuhan berantai di pabrik minuman tersebut, kemudian laki-laki itu menggelengkan kepalanya dan menatap punggung Queen yang mulai menjauh.
"Dia selalu seperti itu ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan." gumam Arthur.
Queen mengendarai mobilnya dengan cepat, tujuannya adalah pergi ke rumah sakit untuk menagih janji kepada Regan yang akan mengantarkan dirinya ke rumah Detektif Louis. Dia yakin seniornya yang sudah lama pensiun itu tahu sesuatu tentang kasus yang dia tangani saat ini.
"Ashh... sialan... kenapa harus terasa sakit sekarang sih?" desis Queen sambil memegang dadanya sebelah kiri.
Gadis itu memperlambat kecepatan mobilnya karena menyetir hanya menggunakan satu tangan, tangan satunya memegang dada kirinya yang terasa sesak dan juga sakit. Ditambah kepalanya yang tiba-tiba pusing.
"Penyakit sialan!"
Setelah sampai di rumah sakit, gadis itu mencoba mengabaikan rasa sakit di dadanya dan juga pusing yang dia rasakan. Dia ingin kasus ini cepat terungkap. Agar dia bisa segera istirahat dan misteri tentang kematian ibunya juga segera terpecahkan.
Ketika dia hendak mengetuk pintu ruangan Regan, dokter tampan itu terlebih dahulu membuka pintunya. Dia keluar bersama Stella. Sudah jelas mereka akan memeriksa para pasien.
"Kau belum selesai?" tanya Queen.
"Belum, setelah memeriksa beberapa pasien baru pekerjaanku hari ini selesai." jawab Regan.
"Oh, baiklah. Aku tunggu di lobby." ucap Queen lalu hendak pergi.
Grep. Tapi tidak sempat karena Regan menahan tangannya. "Tunggulah di ruanganku. Wajahmu terlihat pucat. Istirahatlah di dalam seraya menungguku. " kata Regan dengan raut wajah khawatir.
Queen berbalik lalu menatap perawat di samping Regan. Queen bisa melihat bahwa tatapan perawat itu kepada dirinya adalah tatapan tidak suka. Alias tatapan seseorang ketika melihat lawannya. Tapi masa bodoh, dia tidak peduli akan hal itu.
"Baiklah." jawab Queen. Lalu masuk begitu saja ke ruangan Regan tanpa menghiraukan Stella yang melemparkan tatapan tidak suka kepadanya.
"Ayo kita segera selesaikan ini!" ajak Regan.
"Baik."
Mereka memeriksa beberapa pasien yang ditangani oleh Regan. Hingga sampailah di pasien terakhir. Setelah memeriksa pasien tersebut, mereka segera keluar ruangan rawat inap.
Melihat Regan yang tergesa-gesa terlihat ingin segera kembali ke ruangan, membuat hati Stella memanas terbakar api cemburu. Siapa juga yang tidak cemburu ketika orang yang disukainya akan bertemu wanita lain?
"Dokter, siapa wanita tadi?" tanya Stella.
"Detektif Queen, dari kantor Polisi Gerecht." jawab Regan singkat lalu segera masuk ke dalam ruangan dan langsung menutup pintunya seolah bilang agar Stella dilarang masuk.
"Sialan!" perawat muda itu menghentak-hentakkan kakinya di lantai karena kelewat kesal. "Aku juga tahu dia detektif, yang aku tanyakan dia siapamu?! Kenapa kau sepertinya terlihat sangat dekat dengannya?!" gerutu Stella yang masih ada di depan pintu ruangan Regan.
Melihat seorang gadis menggerutu di depan pintu ruangan sahabatnya, membuat Zerga menghampirinya. "Kenapa kau?" tanya Zerga sambil tertawa.
"Gak usah tanya kalau udah tahu alasannya!" semprot Stella.
Zerga menggelengkan kepalanya. "Kalau memang suka bilang saja, siapa tahu diterima. Dia tidak akan peka kalau kau tidak bilang." ucap Zerga tiba-tiba.
"Kau mendukungku kan?" tanya Stella sambil memicingkan matanya.
Zerga menggedikkan bahunya. "Tidak, aku mendukung sahabatku. Kalau dia suka padamu ya aku dukung. Kalau dia suka...." Zerga sengaja menggantung kalimatnya. Dilihatnya ekspresi wajah gadis di depannya yang terlihat benar-benar kesal.
"Jangan bilang yang nggak-nggak!" semprot Stella lagi.
Zerga tertawa puas. "Ya, kalau Regan suka dengan detektif Queen tentu aku akan mendukung mereka." ucap Zerga sambil mengedipkan sebelah matanya. Lalu berlari menjauhi Stella karena tahu gadis itu akan memukulnya.
"Sialan, bukannya menghibur malah makin bikin hipertensi." gerutunya lagi.
Sedangkan Queen dan Regan di dalam ruangan. Regan baru saja memeriksa keadaan Queen. Laki-laki itu kembali menyarankan kepada Queen agar lebih banyak beristirahat agar penyakitnya tidak semakin parah. Tapi tetap saja Queen tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Regan.
"Itu tidak penting. Sekarang pekerjaanmu sudah selesai kan? Antarkan aku ke rumah Detektif Louis sekarang juga!"
Regan menghela napasnya. Laki-laki itu melepaskan jas dokternya dan menaruhnya di gantungan seperti biasa. Lalu mengambil kunci mobilnya. "Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Regan.
Queen segera beranjak dari duduknya, seolah rasa sakitnya hilang begitu saja. Gadis itu tidak sabar bertemu detektif yang mengabaikan laporannya 5 tahun lalu. Dia ingin menanyakan banyak hal tentang kasus kematian ibunya yang menurutnya tidak masuk akal, dan apa hubungannya dengan kasus pembunuhan berantai kali ini. Dia juga penasaran apa hubungannya bunga Wolfsbane dengan kasus-kasus ini.
...***...
...Bersambung......
...Wolfsbane Flower, cantik tapi mematikan...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments