Setelah Regan menyebutkan siapa pemilik jas dokter berlogo poli THT tersebut. Mereka berempat langsung bergegas pergi ke poli THT untuk menemui orang yang dimaksud oleh Regan.
Brak!
"Bisa kau jelaskan tentang semua ini?" tanya Regan dengan nada rendah sambil menunjuk jas dokter berlumuran darah yang di pegang oleh Queen.
Zerga menatap jas dokter miliknya. Keningnya mengerut, laki-laki itu menoleh ke tempat biasanya dia menggantung jasnya. Dan benar jasnya tidak ada disana. "Apa maksudmu? Bagaimana jasku bisa ada bersamamu?" tanya Zerga dengan wajah serius.
"Seharusnya kami yang menanyakan itu kepadamu, Dokter Zerga Kafarell." ucap Arthur dengan tatapan tajam dan tangan mengepal karena menahan amarah.
Melihat sahabatnya yang mulai emosi, Queen menahan tangan Arthur agar tidak menyerang Zerga. Gadis itu tahu betul, jika sahabatnya itu benar-benar marah maka dia tidak segan menghajar orang yang membuatnya marah.
"Borgol tangannya!" perintah Queen yang langsung dilaksanakan oleh Arthur.
Zerga tidak melawan karena dia tahu kenapa mereka bersikap seperti itu kepadanya. Dia tahu seisi rumah sakit sedang gempar karena terjadinya pembunuhan Javas Schaefer yang merupakan saksi pembunuhan berantai di pabrik minuman. Lalu para detektif menemukan jasnya berlumuran darah, sudah pasti mereka akan curiga kepadanya. Daripada menyangkal disini, lebih baik dia ikut ke kantor polisi dan menjelaskan semuanya disana.
Regan dan Aiden masih terdiam mematung tidak percaya bahwa Zerga yang melakukan hal sekejam itu. Mereka tidak bisa percaya sahabatnya yang memiliki sifat ceria tega membunuh seseorang dengan cara mengerikan seperti itu.
"Aku hanya berharap bukan dia yang melakukannya." gumam Regan yang di angguki oleh Aiden. "Pergilah, mereka membutuhkanmu." perintah Regan.
Aiden menepuk pundak Regan dua kali, lalu segera berjalan mengikuti juniornya yang sudah agak jauh darinya. Sekalipun Aiden tidak percaya kalau Zerga orang yang membunuh Javas, dia harus profesional sebagai detektif. Hanya karena Zerga sahabatnya bukan berarti dia bisa membebaskan Zerga begitu saja tanpa menyelidiki terlebih dahulu.
Di sebuah ruangan yang khusus untuk menginterogasi.
"Jelaskan bagaimana jas milikmu bisa berlumuran darah dan ada di tempat sampah belakang rumah sakit!" perintah Aiden.
"Sudah jelas ada seseorang yang membuangnya disana untuk menghilangkan bukti. Tapi itu bukan aku." jawab Zerga.
"Bagaimana kau membuktikan itu bukan kau?" tanya Aiden.
Zerga menghela napasnya. "Kejadian itu terjadi pukul 07.15 menit. Di waktu itu aku sedang sarapan di restoran yang ada di depan rumah sakit bersama Stella. Perawat yang mendampingi Dokter Regan. Jas itu ada di gantungan yang ada di ruanganku. Dan aku baru menyadari bahwa jas itu tidak ada disana setelah kalian datang membawa jas milikku yang sudah berlumuran darah." jawab Zerga apa adanya.
"Apa menurutmu aku harus percaya padamu?" tanya Aiden lagi dengan nada dingin. Jujur saja, melontarkan pertanyaan seperti itu kepada sahabatnya sendiri sebenarnya sangat berat bagi Aiden. Tapi itu adalah pekerjaannya sebagai detektif. Dia harus adil kepada setiap orang.
Zerga tersenyum tipis melihat mata Aiden yang menatap ke arah lain. Dia tahu betul sahabatnya itu tidak ingin menanyakan hal itu padanya. "Tidak. Cari dulu buktinya. Baru kau boleh percaya padaku." jawab Zerga dengan senyuman yang masih terlihat di bibirnya.
Mendapatkan jawaban itu Aiden langsung menatap wajah Zerga. Sahabatnya itu mengangguk sambil tersenyum ceria seperti biasanya. Tidak terlihat takut sama sekali walaupun ditetapkan sebagai tersangka.
"Maaf..." ucap Aiden sangat pelan. Tapi Zerga masih bisa mendengarnya.
"Dengar Aiden, kalau memang aku yang membunuhnya. Aku tidak akan membuang barang bukti di tempat terbuka seperti itu. Aku akan memilih membuangnya di lumpur hidup yang ada di Wald des Todes agar tidak ada yang bisa menemukannya." kata Zerga yang membuat Aiden tertegun.
Setelah itu Aiden keluar ruangan. Dan Zerga dibawa masuk ke sel untuk mengurung tersangka sebelum benar-benar dinyatakan bersalah atau tidak bersalah.
"Dimana detektif Queen?" tanya Aiden yang tidak melihat keberadaan Queen disana.
"Dia kembali ke rumah sakit untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut lagi di TKP." jawab Arthur.
Rumah Sakit Edelstein
Queen memutari ruangan yang menjadi TKP pembunuhan Javas. Dia berharap menemukan bukti lain dari pembunuhan itu. Dan tidak sia-sia usahanya selama 30 menit mencari di ruangan itu.
"Bukankah ini bunga yang sama dengan yang dikirimkan padaku tempo hari?" gumam Queen sambil mengamati bunga Wolfsbane yang terjatuh di dekat lemari.
Gadis itu mengambilnya menggunakan pinset dan memasukkannya kedalam plastik yang digunakan untuk membungkus barang bukti. Setelah itu dia keluar dari ruangan.
"Apa... kasus ini ada hubungannya dengan kematian mama?" batin Queen.
Entah apa yang dia pikirkan. Tiba-tiba Queen merasa harus datang ke makam ibunya. Firasatnya mengatakan disana dia bisa mendapatkan petunjuk lain tentang kasus yang sedang dia tangani saat ini.
Sesampainya di makan Queen langsung mengelilingi area pohon yang merupakan makam ibunya. Sisa darah domba kering masih terlihat disekitar pohon makam ibunya. Gadis itu menyipitkan matanya ketika melihat bunga yang sama berada tepat di bawah makam ibunya.
"Bunga ini lagi..." gumamnya.
Sebelum dia memasukkan bunga Wolfsbane itu ke plastik khusus untuk menyimpan barang bukti, dipotretnya terlebih dahulu bunga tersebut. Setelah itu dia langsung kembali ke kantor polisi.
"Darimana saja kau?" tanya Arthur penasaran karena sahabatnya itu pergi seharian.
Queen tidak menjawab pertanyaan Arthur. Gadis itu langsung menuju mejanya dan mengobrak-abrik mejanya terlihat mencari sesuatu.
"Apa yang kau cari?" tanya Arthur lagi.
"Dimana data-data para korban pembunuhan di pabrik minuman itu?" Queen malah bertanya balik.
"Ah, aku membawanya ke mejaku untuk menelitinya." jawab Arthur. Laki-laki itu segera mengambil data-data yang dimaksud Queen dan memberikannya kepada gadis itu. "Ada apa? Kenapa ekspresimu seserius itu?" tanya Arthur.
"Aku tidak tahu dengan pasti. Tapi aku merasa bahwa kasus pembunuhan itu dan kasus kematian mama saling berhubungan." jawab Queen sambil membuka data korban-korban pembunuhan itu.
Dan di halaman ke tiga, Gadis itu melihat foto seseorang yang dikenalnya. Jack Andrean teman lama mendiang ibunya, yang dulu mengurus pemakaman ibunya. Dibukanya lagi. Hampir 70% korban pembunuhan berantai di pabrik itu adalah orang-orang yang kenal dengan keluarganya.
"Sial, kenapa aku baru menyadari ini sekarang?" desis Queen. Gadis itu mengalihkan pandangannya kepada Arthur. "Bilang kepada senior. Sepertinya kita membutuhkan waktu yang lebih panjang lagi untuk menyelesaikan kasus ini. Dan, tidak menutup kemungkinan kita harus membuka kembali kasus kematian mama." ucap Queen.
...***...
...Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments