2 | Atlanna Zea Nevaluna

"Sudah merasa cukup pandai sampai berani bolos bimbel, Atlanna?"

Suara intimidasi cukup pekat itu menghentikan langkah gadis yang baru saja melangkahkan kaki nya ke dalam garasi. Seragam putih abu-abu nya terlihat basah kuyup hingga meninggalkan tetesan air hujan pada ubin lantai yang dingin. Gadis itu tak bergeming, tangan nya menggenggam sebuah buku bersampul hitam dengan kuat.

"Bisu kamu? jawab!"

Atlanna bergumam malas. "Capek," jawab nya pendek.

Plak!

Suara tamparan yang terdengar nyaring dan menyakitkan menggema ke seluruh penjuru rumah, membuat kepala gadis itu menoleh ke samping dengan sempurna. Karet hitam kecil yang ia gunakan untuk mengikat rambut, putus. Membuat rambut panjang yang terlihat lepek karena hujan itu mengurai bebas menutupi wajah nya.

"Masuk ke kamar dan jangan turun untuk makan sampai kamu berangkat bimbel lagi!"

Langkah kaki yang terbalut sepatu kulit terdengar menjauh membuat Atlanna kembali menegakkan tubuh dengan tenang. Tangan nya yang pucat terangkat, bergerak menyugar rambut ke atas tanpa ekspresi seolah terbiasa.

Hari ini adalah hari sabtu, bimbel hanya mengadakan pertemuan tiga kali dalam seminggu yang berarti jadwal pertemuan yang akan datang adalah hari senin. Atlanna tersenyum tipis, ia harus menahan lapar hingga senin esok, lagi. Tidak masalah. Mahendra, pria dewasa berumur 43 tahunan itu selalu menekannya untuk selalu sempurna. Kesalahan setitik debu saja bisa membuatnya merintih kesakitan setiap malam.

Pintu kayu dengan sapuan cat warna putih itu tertutup. Atlanna menarik lengan hoodie nya ke atas hingga menampilkan banyaknya garis-garis abstrak yang terlihat menyeramkan. Gadis itu berjalan menuju ranjang, menarik laci nakas dan meraih sebuah pecahan kaca kecil, berniat membuat garis baru lagi.

"Kebebasan itu nyata atau hanya sebuah ilusi?"

Cairan kental berwarna merah terlihat menetes, jatuh membasahi lantai kamar dengan bebas membuat Atlanna tersenyum aneh melihatnya.

Brak!!

"ATLANNA BUKA!" pekikan panik dari seorang laki-laki terdengar samar, kaca jendela kamar yang terletak di lantai dua itu diketuk dengan brutal namun tak membuat aktivitas gadis itu terganggu. Self harm Atlanna kambuh, yang ada dipikirannya hanya darah, darah dan luka yang membuat nya tak menghiraukan keadaan sekitar.

Klap!

Jendela kaca besar itu berhasil terbuka sehingga seseorang tadi bisa masuk dengan bebas menuju kamar Atlanna.

"Bodoh!" bentak nya, tangan lelaki itu menepis kaca kecil di tangan Atlanna dengan kasar. "Kalau mati jangan konyol, sialan!"

Tubuh Atlanna mematung merasakan sepasang tangan kekar mendekap tubuh nya erat. Detak jantung nya menggila, kesadaran gadis itu perlahan pulih saat mendengar suara berat yang terdengar familiar ditelinga nya.

"N-navaro?"

"Ini salah satu alasan kenapa gue nggak ngebiarin lo sendirian. Ada apa waktu gue di skors, hmm?" pertanyaan beruntun itu langsung menyerbu Atlanna dengan tak sabaran.

Atlanna berdehem kecil. "Gue nggak apa-apa," kata nya tenang sembari menurunkan tangan Navaro yang berada di kedua sisi pipi nya.

"Terus kenapa lo hobi banget self harm?"

"Self harm bukan hobi gue, tapi kebutuhan gue. Mau sampai kapan pun juga gue nggak bakalan bisa berhenti kalau cuma itu yang bisa bikin gue tenang," ujar Atlanna, nafas nya naik-turun tak beraturan. "Lo nggak bakalan ngerti."

"Gue ngerti, maka dari itu gue ngebiarin lo masuk Ravloska karena udah gue anggap adik sendiri."

Keadaan berubah hening saat Atlanna tak mengucapkan sepatah kata apapun. Suara serak Navaro yang menganggap nya adik sungguh mengganggu pikirannya, detak jantung yang semula menggila kini berubah tenang bersamaan dengan ekspresi nya yang berubah datar.

"Gue mau sendiri," ujar Atlanna dingin.

Navaro menggelengkan kepala nya sembari terkekeh kecil. Atlanna itu sebenarnya sama seperti gadis lain, hanya saja ia tak mudah mengekspresikan emosi nya di hadapan orang lain. "Nggak usah sok kuat, gue lebih suka lihat lo nangis daripada lo self harm."

"Lo tau kenapa?" Navaro mendongak, menatap wajah Atlanna yang terlihat tenang saat memejamkan mata. "Karena lo adalah orang pertama yang bikin gue penasaran sekaligus panik."

"Lo satu-satunya cewek yang berani sama murid laki-laki. Lo satu-satunya cewek yang selalu pakai hoodie walaupun cuaca lagi panas, dan lo adalah satu-satunya cewek yang berani nampar gue waktu pertama kali kita kenal."

Navaro terkekeh kecil mengingat tragedi pertama kali mereka kenal, suara tamparan dari Atlanna dua tahun yang lalu masih sangat membekas pada ingatan nya.

Navaro bangkit, kedua tangan kekar nya membereskan peralatan obat-obatan dengan cekatan dan memasukan kotak obat berwarna putih itu ke dalam laci nakas paling bawah. Setelah nya, tubuh lelaki itu menunduk sebelum mendaratkan sebuah ciuman singkat pada pucuk kepala Atlanna tanpa penolakan.

"Gue cuma bisa berharap, semoga lo bahagia sama cowok impian lo, yang bisa jagain lo dan bisa gantiin posisi gue di sisi lo suatu saat nanti. "Sweet dreams, Anna."

Atlanna menatap tangan kiri nya yang telah dibalut perban dengan rapi, kepala nya mendongak. Gadis itu tersenyum hambar bersamaan dengan tubuh Navaro yang menghilang dari penglihatan nya.

"Gimana gue mau bahagia kalau cowok impian gue itu lo, Navaro."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!