Tiga Hari Kemudian....
"Apa... Devan pergi dari klinik ?" Karmila bertanya dengan nada tidak percaya setelah Vania memberi tahunya tentang sikap Devan saat melakukan konseling.
Vania kembali menemui Karmila karena ia tidak tau kemana lagi harus curhat untuk melegakan perasaan nya saat ini.
"Aku tidak menyangka Devan akan melakukan ini" kembali Karmila berkata membuat Vania menunduk malu.
"Aku juga tidak menyangka mas Devan akan melakukan itu, Mas Devan benar-benar berubah sekarang, bahkan aku tidak mengenalinya lagi" balas Vania dengan nada lirih.
"Sejak hari itu sampai sekarang mas Devan tidak mau bicara dengan ku lagi" sambung Vania, kini air matanya sudah menetes membasahi pipi.
Karmila menatap Vania dengan alis mengkerut "Devan tidak mau bicara padamu sampai sekarang ?" Tanyanya dan di jawab anggukan oleh Vania.
"Gila, ini sudah tiga hari Van.. Lalu apa yang terjadi padanya ?"
Vania menarik napas panjang "Mas Devan selalu pulang larut malam dalam keadaan mabuk, bahkan ia tidak mau makan bersamaku. Mas Devan terus mengatakan kalau dirinya tidak pantas menjadi suamiku"
"Memangnya apa yang dokter katakan saat kalian konseling ? Sampai Devan bersikap seperti ini ?"
"Dokter Rangga hanya mengatakan kalau Mas Devan memiliki kecemasan yang berlebihan. Karena stres yang membuat ia tidak bisa menghasilkan sperm@ yang sehat" Vania menjeda ucapannya sejenak. "Dokter menyarankan agar mas Devan memiliki banyak waktu bersamaku, tapi mas Devan tersinggung dan pergi dari klinik"
"Astaga... Padahal aku menyuruh kamu dan Devan pergi ke psikolog untuk mengatasi masalah kalian, tapi sepertinya ini justru memperburuk keadaan" ucap Karmila mengerutkan keningnya "Devan benar-benar brengsek"
"Karmila, kamu tau Mas Devan sebenarnya tidak seperti itu. Dia hanya stres karena aku tak kunjung hamil"
"Ini baru dua tahun Vania, ya ampun" balas Karmila "Devan sudah bertindak seperti itu. Dia membuat kamu merasa lebih buruk seolah-olah semua ini salah kamu padahal semuanya karena dia yang tidak bisa mengontrol emosi" sambung Karmila bertubi-tubi ia sudah mulai geram dengan sikap Devan yang menurutnya tidak dewasa.
Karmila menatap wajah Vania yang basah karena air mata, mungkin saja sahabatnya itu tersinggung dengan ucapannya barusan.
"Maafkan aku Vania, aku tidak bisa mengontrol diriku untuk tidak marah sama suami kamu"
Vania berusaha tersenyum walaupun menyakitkan. "Aku mengerti Karmila, justru aku bersyukur karena kamu selalu ada untukku selama ini, kamu selalu mendengarkan setiap masalah yang sedang aku hadapi"
Karmila meraih tangan Vania dan menggenggam nya dengan erat "aku akan selalu ada untukmu Van, kita ini sahabat"
"Terima kasih" balas Vania tersenyum "Ngomong-ngomong tengang dokter Rangga, apa dia teman mu ?"
Karmila menggelengkan kepala nya "Dia sahabat dari salah satu teman ku, bukankah waktu kamu yang mengatakan untuk mencari seorang psikolog yang tidak mengenal kamu dan Devan, makanya aku memilih dia dan membuat janji"
Vania menganggukan kepalanya, memang ia yang menyarankan agar Vania tidak mencarikan dokter psikolog yang Devan kenal. Pria itu tidak ingin ada teman-teman kuliahnya yang tau tentang masalah yang sedang ia hadapi.
"Bahkan Devan tidak mau bicara padamu, walau pun dokter yang kalian temui adalah orang lain" sambung Karmila seraya menatap langit-langit ruangan nya.
"Aku harap mas Devan mau bicara padaku malam ini, aku sudah mengirim pesan permintaan maaf untuk memperbaiki semuanya" ucap Vania
"Aku tidak menyangka kau akan membungkuk serendah ini Van" balas Karmila seraya menghela napas panjang "Aku berharap Devan akan menyadari betapa besar cintamu padanya, dia tidak akan bisa wanita seperti kamu di luar sana"
"Aku hanya ingin suamiku kembali, aku akan melakukan apa saja asal mas Devan bisa kembali seperti dulu lagi" balas Vania membuat Karmila bisa merasakan perasaan Vania.
Beberapa saat kemudian ponsel Vania berbunyi, senyumnya langsung mengembang karena ia yakin kalau itu sang suami, namun Vania harus menelan pil pahit karena saat menata layar ponsel bukan nama Devan yang tertera melainkan dokter Rangga.
"Halo" ucap Vania setelah menjawab panggilan.
"Nona Vania ini saya dokter Rangga, bisakah kita bertemu ada hal penting yang ingin saya sampaikan, ini menyangkut suami anda" ucap dokter Rangga di seberang sana.
******
"Maaf atas kejadian waktu itu dok" ucap Vania pada Rangga ketika mereka bertemu di sebuah kedai kopi dekat klinik "Saya sudah mencoba berbicara pada suami saya, tapi dia terus menghindar"
"Tidak apa-apa nona Vania, saya mengerti" balas Rangga sembari tersenyum ke arah Vania "Suami anda memang benar saya memang belum menikah" sambungnya lagi sambil tertawa.
"Tapi memperbaiki masalah keluarga yang di sebabkan karena stres adalah keahlian saya" ujar Rangga lagi.
Vania tersenyum "Saya terkesan dengan ucapan anda waktu itu, terima kasih dok"
"Itu sudah menjadi tugas saya nona Vania" Rangga tersenyum hangat pada Vania "Jadi bagaimana perasaan anda sekarang ?"
"Saya baik-baik saja dok" jawab Vania menghindari tatapan Rangga "apa yang ingin dokter katakan ?"
Rangga menghela napas "Kau tidak terlihat baik-baik saja nona Vania, tapi saya tidak akan memaksa anda untuk menceritakan masalah anda" ucapnya sambil membuka amplop cokelat yang berada di atas meja "ini hasil catatan tuan Devan"
Alis Vani mengkerut dan detak jantungnya berdegup kencang "Apa yang ada didalam sana ?"
Rangga membuka amplop cokelat itu "Suami anda mengalami gejala ringan depresi" ucap Rangga seraya menyerahkan kertas putih yang berisi catatan pemeriksaan Devan.
Vania menutup mulutnya tak percaya, tidak mungkin suaminya mengalami depresi. Air matanya sudah menetes membasahi pipi.
Demi memastikan Vania membaca kertas yang diberikan oleh Rangga. "Apa anda yakin dengan semua ini dok ?"
Rangga menganggukan kepalanya "Tapi ini masih gejala ringan, seandainya saja suami nya mau bicara berdua denganku mungkin aku bisa menganalisis lebih banyak. Makanya aku menghubungimu tadi, karena hanya kamu yang bisa di ajak bicara"
Air mata Vania semakin deras menetes, ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi buruknya. Suaminya tidak mungkin terkena depresi.
"Memang sejak pulang dari klinik waktu itu, mas Devan tidak mau bicara padaku, dia jarang di rumah dan saat pulang dia dalam keadaan mabuk" jelas Vania dengan suara tersedat menahan tangis.
"Ini tidak bagus" ucap Rangga mendengarkan apa yang di ceritakan oleh Vania "apa dia masih berdebat dengan mu ?"
"Setiap kali aku berbicara padanya, dia selalu membentak ku"
"Nona Vania, sebenarnya saya tidak ingin mengatakan ini padamu, tapi saya harus mengatakan nya"
Detak jantung Vania semakin kencang saat mendengar ucapan Rangga "Apa itu dok ?"
"Kemungkinan besar, Tuan Devan bisa melakukan bunuh diri karena depresinya"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments