Keesokan paginya tepat jam 04 pagi, Vania sudah bangun untuk melakukan tes secara diam-diam. Ia tahu seharusnya ia tidak menyembunyikan semua ini dari sang suami, hanya saja Vania tidak mau melihat Devan kecewa lagi seperti waktu itu.
Vania menghela napas, mengapa semua ini harus terjadi pada pernikahan mereka. Dengan pelan ia melangkah ke kamar mandi dengan testpack di tangannya, kemaren Karmila memintanya untuk menggunakan kedua testpack di hari yang berbeda untuk melihat perbandingan, tapi Vania ingin menggunakannya secara serempak sekarang. Ia sudah tidak sabar menunggu hasilnya.
Vania ingat bagaimana kecewanya sang suami saat hasil tes nya negatif beberapa bulan yang lalu, dan ia tidak ingin melihat kekecewaan itu lagi. Vania menutup matanya setelah memasukan benda persegi panjang itu pada sebuah wadah kecil yang telah berisi air kencingnya, ia sangat berharap tuhan mendengarkan doanya selama ini.
Setelah beberapa menit Vania membuka matanya dan melihat alat tes kehamilan itu. Seketika air matanya langsung menetes dengan deras saat melihat hasilnya.
"Maafkan aku Mas !"
"Kenapa kamu minta maaf ?"
Vania terlonjak kaget saat mendengar suara sang suami, ia pun segera berbalik dan melihat suaminya sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi, mata pria itu masih setengah tertutup dengan rambut masih berantakan.
"Mas, ini masih pagi" ucap Vania yang langsung menyembunyikan testpack itu kebelakang tubuhnya "Sebaiknya mas lanjut tidur lagi aja !"
Kening Devan mengkerut saat menatap wajah istrinya "apa yang kamu sembunyikan Van ?" Tanya Devan dan langsung berjalan mendekati istrinya, dan tatapan mata Devan tertuju pada wastafel dimana terdapat bungkus alat tes kehamilan masih disana.
"Apa hasilnya negatif lagi ?"
"Mas" Vania langsung memeluk tubuh suaminya "Maafkan aku !"
Devan tak membalas pelukan istrinya "kenapa kamu yang minta maaf ? Seharusnya aku yang minta maaf karena aku tidak bisa memberi mu anak" bahunya bergetar dan Vania tau kalau suaminya sudah menangis.
"Masalahnya ada pada aku Van, aku tahu itu"
"Tidak mas, jangan katakan itu lagi" ucap Vania sambil mengeratkan pelukan suaminya. "Aku yakin suatu hari nanti kita akan memiliki anak, kita hanya perlu bersabar sedikit lagi"
Devan memegang bahu sang istri dan menarik tubuh Vania menjauh dari tubuhnya "Apa kamu ingat hasil tes lab kita terakhir kali ? Kamu baik-baik saja Van" pria itu menundukkan kepalanya "Sedangkan aku, aku tidak bisa menghasilkan ****** yang sehat" sambungnya lagi.
Vania menangkup wajah suaminya "itu tidak benar mas, jangan terlalu percaya pada hasil tes itu. Aku yakin kamu bisa menghasilkan ****** yang sehat"
Devan menjauhkan diri dari Vania, seolah sedang membangun tembok di antara mereka.
"Jika memang aku baik-baik saja, kamu pasti sudah hamil Vania, dan hasil tes nya tidak mungkin akan negatif terus" ucap Devan sambil merebut testpack itu di tangan Vania "Kamu lihat ini kan ? Dan kamu berusaha menyembunyikan ini dariku"
"Mas...." Vania mulai menangis "Kita bisa melewati ujian ini sama-sama"
"Ujian ?" Ulang Devan, dapat Vania lihat rasa sakit di wajah suaminya itu "jadi sekarang kamu pikir ini adalah ujian"
"Sayang" Vania ingin meraih tangan suaminya, tapi Devan langsung menepisnya "masih ada waktu dan kita bisa mencobanya lagi, mas jangan kehilangan harapan menurut Karmila..."
"Jadi kamu memberi tahu Karmila ? Aku kan sudah bilang padamu untuk menjaga rahasia ini, aku tidak ingin ada yanga tau tentang masalah kita kalau aku tidak bisa membuatmu hamil" Devan memulul tembok dengan keras "Ini sangat memalukan bagiku sebagai suami"
"Mas, tapi Karmila adalah dokter kandungan ku dan dia juga teman kita" jelas Vania "Dia bisa memahami kasus yang kita alami, karena memang itu keahliannya"
"Karmila pasti hanya kasihan padaku" ucap Devan dengan nada kecewa "mungkin dia akan mengatakan kalau kamu tidak beruntung karena menikah dengan pria tidak berguna-"
"Mas itu tidak benar" potong Vania dengan cepat, ia memegang lengan suaminya "aku menikahimu karena aku mencintaimu, dan tidak ada yang akan menguba perasaan itu"
Devan menatap mata istrinya dengan dalam "apa kamu akan tetap berada di sampingku ? Meskipun aku tidak bisa memberi kan keluarga yang kamu impikan ?"
"Mas, kita pasti akan memiliki anak" balas Vania ragu-ragu.
*******
Hari itu juga Vania langsung pergi ke klinik tempat Karmila bekerja, sesuai janjinya kemaren kalau ia akan memberi tahu Karmila apapun hasilnya.
"Negatif" ucap Vania seraya meletakkan testpack itu ke hadapan Karmila.
"Bagaimana dengan tes yang lain ?" Tanya Karmila, namun matanya tetap menatap testpack yang menampakkan satu garis itu.
"Aku belum menggunakan nya"
Karmila mengalihkan pandangannya dan menatap Vania "Kenapa ? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk menggunakan kedua testpack itu"
"Mas Devan melihatku saat aku mencoba testpack yang pertama"
"Apa dia marah lagi ?"
Vania menunduk dan mengangguk pelan, air matanya sudah menetes membasahi pipinya "dia selalu marah dan mengatakan kalau dirinya tidak berguna sebagai seorang suami, bahkan mas Devan berpikir kalau aku akan meninggalkan nya"
"Itu normal jika Devan merasa hancur dan kecewa, tapi seharusnya sikap Devan jangan terlalu berlebihan seperti ini"
Vania menyeka air matanya "Sekarang mas Devan sering membentakku dan dia sudah mulai menggunakan alkohol" ucapnya sembari menatap Karmila "aku tidak ingin melihatnya seperti ini, karena ini lebih menyakitkan bagiku saat melihat suamiku menderita seorang diri, padahal masalah ini bisa kami hadapi bersama"
Karmila menyandarkan tubuhnya di kursi "Sebaiknya kamu bawa Devan ke psikolog" ucapnya dengan nada rendah.
"P-psikolog ?" Vania mengernyitkan keningnya dalam.
Karmila menganggukan kepalanya "Karena menurutku Devan sekarang terkena depresi"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Aliyah
lanjut
2023-04-07
0