Rama menyusuri di bagian sisi kanan rumah itu. Kakinya menginjak sesuatu licin dan tubuh itu melayang ke belakang. Pant*tat itu mendarat menyakitkan ke permukaan kasar.
"Aagh!"
Tangannya yang digunakan untuk bertumpu saat jatuh justru memelintir dahan. Bunyi perketek ranting kayu kering terdengar begitu keras. Bibirnya terkatub rapat brgitu menahan nyeri saat telur miliknya bagai mau pecah menjadi dua.
Dia membungkuk melindungi penderitaan telurnya. Bahkan rasa sakit itu sampai menyebabkan kepalanya jadi ikutan pusing. Dia terus membungkuk dan sering menahan napas sampai nyeri mulai mereda. Lelaki itu duduk menggunakan paha samping untuk mencari ponsel. Rama meraba-raba saku jaket, lalu saku celana dan bola matanya memutar dengan malas.
"Sh**it! Aku sampai tak membawa telepon! Lalu bagaimana aku merekam adegan perselingkuhan Nita!"
Rama membungkuk dan berusaha berdiri. Dia memegangi tembok dan berniat pulang. Percuma kalau memergoki tiada bukti, pikirnya.
Lelaki itu dipenuhi oleh kegalauan, pada ambisinya untuk menyingkirkan ibu tiri. Kakinya berhenti melangkah, tekad menahannya untuk pulang. Belum tentu dia akan menemukan keberuntungan ini lagi.
Jadi, Rama berbalik dengan gagah. Dia melirik rumah kecil dengan lampu sangat temaram, mungkin hanya 5 watt. Kaki kiri tergelincir di dekat tempat tadi jatuh, dia menahan tubuh menggunakan kaki lain dan sungguh malang dirinya jatuh dengan posisi miring dengan tangan kanan tertindih oleh tubuhnya.
Hidung Rama berkedut dengan tidak, dan ingin sekali menonaktifkan indra penciuman jikalau bisa. Tangan kanan menutup hidung, menghindari bau busuk mematikan. Perutnya justru mual seperti diputar dalam mesin cuci, baunya kian bertambah kuat.
Rama meraba tangannya yang basah, dia baru akan mendekatkan cairan basah itu, isi perutnya langsung keluar tanpa aba-aba sampai mengenai sedikit tangannya. Perutnya terkuras tanpa putus di pekarangan lembab dan gelap seperti neraka.
"Uekkk!"
Sepasang suami istri tua renta di atas usia 70, mendengar suara ribut dari tadi. Mereka biasa bangun dini hari dan tak bisa tidur setelahnya. Pasangan lanjut usia itu mencoba memasang telinga yang masih sehat, tidak tuli seperti orang seumurannya.
"Kung, dengar tidak? Suara orang muntah. Jangan-jangan maling?" tanya mbah putri.
"Rumah kita nggak ada apa-apa, adanya uang sepuluh ribu di bawah bantal. Apa mereka lebih kekurangan daripada kita, sampai mau-maunya masuk ke rumah yang mau ambruk ini?" Akung menjawab sambil menatap atap genteng, dima kayu penahannya terdapat ekor tikus yang melambai.
"Bukan rumah kita juga. Rumah sebelah." Mba putri meringis melihat tikus bercumbu tak tahu malu di atas kerangka rumahnya.
"Rumah Devan? Dih, biar saja rumah orang pelit memang pantas dimalingi."
"Mbah Kung, hus, jangan sebut-sebut orang yang sudah meninggal, nanti kebawa mimpi baru...."
"Sini kalau sampai berani datang ke mimpi, Akung marahi orang sombong seperti dia. Pantaslah dia mati karena kesombongannya. Terbakar jatuh ke jurang."
"Akung, jangan bilang begitu. Eh suara di luar itu sudah nggak ada?" Mbah putri memegangi tangan keriput suaminya yang tinggal tulang. "Tidur lagi, Akung."
Rama meringis setelah mengeluarkan semua isi perutnya. Jaketnya di lepas untuk mengelapi tangannya yang tadi terkena cairan busuk, lalu jaketnya dibuang. Kini dia berhasil ke sisi dekat rumah dua lantai, setelah matanya mulai menyesuaikan dengan cahaya bulan. Kakinya selalu meraba-raba yang akan diinjak, jangan sampai menginjak pelepah pisang atau lumut.
"Bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian." Rama dengan gigih mengulangi mantranya. Dia melirik pekarangan rumah tua, mencari alat untuk naik tembok pagar setinggi 2,5 meteran. Rama mendapati kotakan kayu di rumah tua, sepertinya penghuni rumah itu tidur. Dia membawa kotak itu ke samping pagar kokoh.
Miris, disebelah rumah kokoh, masi saja terdapat sepetak rumah reot. Pemilik besar rumah ini pasti kikir! Seharusnya bikin bedah rumah, pasti takkan bikin miskin kok. Uh! Syukurin Nita jalan dengan orang pelit! Masih loyal juga papah ku, huh nggak tahu bersyukur. ( Rama)
Rama berjongkok, merabah-rabah papan kayu, dia akan bersin dan lengannya langsung menutupi hidung. "Ahhhcenn!"
Matanya memandangi bagian atas tembok, sepertinya tidak ada pecahan kaca. Untuk melindungi, Rama melepas kaos lalu melempar ke ujung tembok, kaos ditarik dan tidak ada yang mencantol. Dia memakai kaos lagi, lalu kakinya naik ke papan kayu .
Kakinya loncat, pada saat yang sama tangannya meraih tembok. Untung dia sering pull up. Dengan mudah, kepalanya menongol ke halaman rumah mewah. Suasana aman, dia melewati pagar, lalu mendarat dengan mulus di rumput terawat.
Setelah mengamati situasi, dia berhati-hati pada security di bagian depan dekat gerbang. Untung dia nggak lewat depan. Kalau tadi manjat lewat sana pasti sudah ditangkap security.
Apa segila ini caraku menyingkirkan Nita. Kalau aku ditangkap, dikeroyok masa karena dikira maling, atau dibakar hidup-hidup. Oh No! Tapi kalau sampai Nita tidak selingkuh, misal dia ke rumah teman... lalu untuk apa aku ke mari? (Rama)
Rama berjalan ke belakang, dia mengendap pada pintu terbuka yang adalah tempat jemuran. Dia merasa sangat beruntung ternyata itu dapur. Pandangan matanya mengelilingi ruang makan redup dengan jantung berdebar, lalu melengkah ke dalam dan dengan cepat naik melewati tangga tanpa suara.
Matanya tertuju pada kamar dengan lampu menyala, dengan sedikit terbuka. Matanya membulat saat mendengar raungan memilukan, dia tahu itu suara Nita. Apa selingkuhan Nita menyakiti gadis itu, pikirnya.
Rama terus memeriksa sekitar dan menyipitkan mata pada darah yang menetes dari pergelangan tangan Nita. Gadis itu berguling-guling di lantai marmer yang ternodai oleh beberapa noda baretan darah tak beraturan.
Butuh waktu untuk Rama mencerna selama beberapa detik. Matanya mendelik saat Nita menangis kelenjetan dengan putus asa sambil tangan memukuli lantai. Hati Rama bagai jatuh ke bumi. Bahu kekarnya merosot seolah dia memikul barbel yang beratnya melebihi 100 kg.
Melihat sekitar sebentar, Rama masuk setelah mengecek di dalam tidak ada orang lain. Gadis itu tak sadar dirinya datang. Rama menghambur dan menahan cutter yang baru diraih Nita hingga dia berhasil meraih anak cutter tepat di ketiga jarinya. Si4l cutter itu tajam. Perih merayap di jemari Rama yang mulai berdarah. Rama membuang jauh-jauh cutter yang penuh darah itu.
Dia mengangkat tubuh Nita yang masih memberontak, dengan perasaan seperti mengangkat orang mati. Dia tidak mengerti bingung, dirinya belum pernah menemui orang seputus asa ini, tapi tampak sangat baik-baik saja diluar, seolah wanita itu paling bahagia sedunia.
Tubuh Ramanmendekap tubuh mungil tanpa bersuara. Tubuh mungil yang sepertinya mengubur banyak luka di dalam. Suara tangisan parau, gadis itu, membuat relung jiwa terdalam Rama teriris.
Pria itu lupa akan siapa wanita dalam dekapannya. Tangisan memusingkan wanita lemah yang kini menggempur dinding kokoh di dalam hati Rama. Dia mati rasa pada fisiknya yang terluka dan kesulitan yang dilaluinya. Untuk menemukan belang wanita itu. Ternyata memang benar Nita banyak belang luka berupa sayatan di tangan kiri dan kanan.
Dia melonggarkan pelukan dengan gemetar, menjereng lengan mungil dengan pinggir goresan luka yang bengkak dan darah mulain membeku. "Apa kau sesusah ini, Nita?"
Mata gadis itu terpejam dengan masih sesenggukan. Rama menidurkan kepala mungil, dengan rambut kusut yang basah oleh airmata, di bantal yang juga telah tercabik-cabik sampai terlihat bagian dakron. Rama meraih kain seperti bandana panjang, dan membebat ketiga jarinya menjadi satu.
Hatinya bergetar melihat sayatan itu membuatnya tak bertenaga. Dia takkan berani mengobati jika sampai dia mendengar rintihan kesakitan. Katakan aku harus apa?
Sepanjang kamar dilihatnya, seperti kamar wanita. Semua perlengkapan dia atas meja, peralatan wanita tanpa. Tidak ada foto di kamar. Dia melirik tulisan P3K di rak terbuka. Tangannya meraih itu dan melihat isinya. "Aku tidak tahu apa ini bisa membantu."
Rama yang tahu merawat luka menjadi stres bukan kepayang. Apa yang aku harus lakukan dengan luka sayatan? Alkohol, atau betadien? Alkohol perih, betadien saja, kah?
Dengan bingung Rama meneteskan betadine di setiap sayatan dan justru mengalir tak beraturan. Betadinya pakai acara habis. Kenapa aku jadi manusia paling tak berguna! Rumah siapa si ini? Aku harus minta tolong Budi.
Rama melirik tas Nita yang berceceran. Mengobrak-abrik tumpukan pakaian, di atas tempat tidur Nita. Kacau sekali kamu, ini pakaianmu, kah? Kenapa semua pakaian wanita tak bermerek.
Ponsel Nita ditemukan di bawah bantal Nita. Panggilan terus masuk dari papahnya. Ponsel Nita ternyata di silent.
Rama lalu menelpon budi, setelah dia sms lebih dulu. Dia meminta untuk pengalihan keributan dengan mercon di depan rumah ini, untuk dia bisa keluar dari tempat ini sebelum jam setengah empat. Pria itu mengirimkan lokasi via sms. Lalu riwayat sms dan panggilan itu dihapusnya.
Rama mengembalikan P3k ke tempat semula, lalu mengunci pintu kamar dari dalam. Dia mengintip gorden, mencari tempat sewaktu-waktu untuk kabur. Dia mungkin bisa keluar ke balkon, tetap dia tak mungkin loncat dari lantai dua.
"Hei... tidurlah. Aku menjagamu dari sini. Jika bisa aku akan usir mimpi burukmu, Ibu Tiri."
Rama sambil duduk di lantai dengan dagu bertopang di tempat tidur. Memandangi kelopak mata Nita, yang bengkak dan sedikit membiru. Bibir yang biasa menggodanya kini sedikit membengkak dengan wajah pucat terdapat noda darah. Entah darahnya atau Nita.
Apa yang dilakukan papah jika tahu ini. Jika kau nyaman dengan papah, kau akan menangis pada papah. Namun, mengapa kau menangis seorang diri seakan kau tak memiliki siapa-siapa.
Bukannya kau menikah dengannya untuk berbagi perasaan. Atau benar tebakanku, kau sebenarnya tak mencintai papah dan hanya materialis. Tapi tak masuk akal jika itu, karena kau sudah mendapatkan materi itu, harusnya kau bahagia.
Apalagi kau mengandung calon adikku. Apalagi yang kau cemaskan lagi? (Rama)
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments