"Memang apa yang aku lakukan? Tidak ada saksi." Rama bersikeras pada pendiriannya. Dia mengerutkan kening begitu dalam karena dia yakin takkan segila itu, bahkan tak pernah terpikirkan.
"Keluar dari ruangan ini, Rama!" Sergey mengepalkan tangan, lalu meninju di telapak tangan lain karena menahan kepalanya yang telah mendidih. Rahang makin mengeras. Putranya sudah salah pakai ngotot. Napas Sergey tersengal, dia berdiri dan keluar lebih dulu, sebelum Rama bangkit dari tempat duduk.
Suara dentingan keras terdengar dari kamar, membuat langkah kaki Sergey semakin membesar dan berjalan lebih cepat. Semua pelayan kini berwajah pucat kebingungan di depan kamar.
Jantung Sergey seperti turun ke perut dan dadanya terasa perih melihat tingkah Nita. Baru masalah Rama selesai, kini wanita yang biasanya manis dan anteng menjadi seperti orang gila. Dia menarik napas dalam-dalam dan mencoba berpikir tenang, karena mungkin itu hormon dari kehamilan.
"Aku tidak mau makan dan kalian cepat keluar semua!" Nita memeluk selimutnya semakin erat dan melempari mereka yang membuatnya tak nyaman dengan bantal. P3rsetan apa tanggapan mereka, tetapi dia menganggap pandangan mereka seolah sedang mengejeknya. Nita sudah tak tahan, dia lalu mencabut infus dan meraih tas dan ponsel. Kaki mungilnya berlari dan menabrak Sergey di garis pintu hingga kepalanya berdenyut karena benturan keras di dada bidang dan kokoh.
Wanita itu mundur dengan mata tak berkedip, semua pelayan langsung menyingkir setelah Sergey mengusir menggunakan isyarat tangan. Aura mendominasi menguar dari tatapan Sergey. "Mau apa kamu? Menjauh dariku, Mas!"
Bibir Sergey terus berkedut, dan matanya tak berkedip. Dia terus membaca situasi dengan waspada. "Saya tidak mengganggumu. Saya orangnya ... yang bisa kau percayai .... " Sergey dengan suara pelan, dan langkah terukur berusaha meyakinkan wanita yang akan pergi itu. "Aku akan membuatmu aman, Atha .... "
Nita menunjuk dada Sergey agar menjaga jarak. "Anda bilang aman? Lalu buktinya mana! Mengapa putramu saat kurang ajar!" Nita jadi terbayang saat pertemuan dengan Rama di Starlight. Dia terus mundur dan suara berderak menembus telapak kakinya.Dia mengangkat kakinya dengan sedikit lompat karena rasa sakitnya yang begitu tajam.
"Awas!" Sergey terlambat menyadari pada ceceran piring dan sayuran penuh saus tiram, tetapi dia masih sanggup untuk menangkap pinggang Nita, sebelum wanita itu terjatuh.
"Ada apa?" tanya Rama di luar kamar, saat berpapasan dengan pelayan.
Inem menghentikan dorongan meja stenles yang diatasnya terdapat bubur yang masih utuh.
"Nyonya tidak mau diganggu, Den," ucap Inem. Dia pamit undur diri dan harus menyiapkan makanan lain yang mungkin akan menggugah selera nyonya.
Rama semakin cepat melangkah dan melihat ke celah pintu saat papah menggedong Nita lalu mendudukkan di pinggir tempat tidur. Rama termenung saat papanya menarik kotak P3K dari nakas samping tempat tidur. Papah duduk di lantai dengan mengangkat kaki mungil di depan dada papah, sambil mengelap noda merah menggunakan tisu.
Semprotan obat luka itu terlihat jatuh ke celana pendek papah, bahkan papah tak protes. Apa-apan papah, saat mamah terluka dulu saja dibiarkan. Sekarang mentang-mentang istri muda bahkan rela-rela duduk di lantai. Sangat tidak sesuai dengan kesombongannya selama ini.
Nita meringis. Telapak kakinya terasa perih, pegal dan berdenyut saat Sergey menekan menggunakan handuk. Pikiran Nita berkabut. Dirinya kini merasa sedang diberi perhatian oleh seseorang yang dia anggap selama ini musuh. Kelembutan Sergey itu sebenarnya sangat tidak sesuai dengan profile Sergey yang terkenal arogant.
"Kalau kau mau takut atau marah itu lihat-lihat dulu, perhatikan sekitarmu! Begini kamu jadi kesakitan! Aku pun jadi rugi, bajuku jadi kotor. Lihat saja jalanmu akan pincang? Atau kamu sengaja karena ingin kugendong saat di luar?" Sergey menggerutu dengan kesal.
"Aku bisa jalan sendiri."
"Iya kalau di dalam kau bisa. Kalau di luar kau mau aku di cap suami yang tak peduli oleh netizen? Jika kau tak mau kugendong ... lain kali hati-hati. Pikirkan dulu saat akibatnya saat kamu tak berniat menjaga dirimu, istri ku?" Sergey mendapati wajah Nita makin tertekuk.
"Ih!" Jari-jari kaki Nita makin mencengkeram. "Jangan ditekan, ngilu."
"Jangan banyak gerak. Darahnya ntar gak beku-beku." Sergey mengencangkan cengkeramannya pada pergelangan kaki mungil.
Sergey membebat kaki Nita dan pintu kamar berderit. Nita yang melihat Rama langsung menarik diri hingga pegangan Sergey terlepas, begitupun perban dan kasa yang menutupi telapak kaki. Kaki mungil itu tertekuk kala Nita mencoba menutupi diri dengan bantal.
"Tuan, maaf baru datang," kata dokter wanita sambil membawa perlengkapannya.
"Siapa yang mengundangmu?' tanya Sergey saat mengenali suara bahwa itu dokter keluarga. "Dia menoleh ke belakang pada Rama yang berdiri di belakang dokter.
"Papah, aku memanggilnya. Biar dokter yang memeriksa istri Papah. Bagaimana jika ada infeksi. Papah tidak mau istri Papa lebih menderita, kan?
Sergey baru sadar dan langsung berdiri. "Benar juga katamu." Dia beralih ke dokter wanita yang gugup. "Periksa denganteliti jangan sampai ada bekas luka."
Sergey mengerutkan kening karena Nita tidak mau menyingkirkan bantal. Dia kembali kesal karena pertemuan dengan klient jadi diundur semua gara-gara Rama. "Rama keluar."
"Tapi-" Rama mengepalkan tangan di samping paha. Pikirannya gelap karena Nita tak mau menatapnya. Perasaan bersalah tak beralasan menyelimuti ke dalam relung jiwa dan membuat Rama menjadi tidak nyaman.
"Cepat, kau tidak lihat akibat ulahmu," bisik Sergey dengan geram di telinga sang putra. Dia menarik tangan putranya hingga Rama keluar dari kamar.
Sergey menutup pintu, lalu duduk di ujung tempat tidur. "Dia sudah pergi." Baru setelah itu Nita mau membuka bantalnya. Dilihat darah itu mengalir dan memenuhi bagian tumit.
Dokter wanita itu memeriksa dan siap akan memanggil perawat, tetapi dicegah Sergey.
Sergey menahan kapas putih di kaki Nita sebagai ganti perawat dan menatap mata istrinya. Kini Nita terbaring dengan tatapan seolah merasa bersalah padanya. Dokter menyiapkan alat untuk menjahit. Lelaki itu menghembus napas panjang dan menyadari kesalahan yang ia perbuat. Jika dia asal membebat seperti sebelumnya, kata dokter akan butuh waktu lebih lama untuk luka tersebut menutup.
Di lantai satu, Rama mencengkeram kerah kemeja Pak Abie saat kepala pelaya telah tersungkur di lantai. "Katakan apa yang kau lihat tadi malam? Begitu saja susah! Sampai Aku harus repot-repot seperti ini?"
Pak Abie mengernyitkan kening, pada kepalan tangan Rama di depannya. Buku-buku jari memutih dan urat hijau menonjol dari kening Rama yang siap membogem wajahnya. "Ba-iknsaya akan memberi ta-hu. Biarkan, saya duduk lebih dulu."
Setelah diiberi kesempatan untuk duduk dan menceritakan apa yang dilihatnya, tampak Den Rama langsung memundurkan pan**t4tnya ke belakang untuk menjauh. Seolah pemuda itu begitu shock. Seolah yang melakukan hal tersebut bukanlah Den Rama sendiri.
Rama merutuki dirinya dan wajahnya menghangat. Tubuhnya mulai panas dingin karena menahan malu. Perbuatannya sungguh menjijikan. Celakanya dia tak mengingat apapun. Namun, dia mempercayai perkataan Pak Abie yang selalu jujur.
Malamnya, Rama yang masih menonton tv dibuat terbelalak karena Nita muncul di ruang bioskop. Wanita itu mundur lagi, nyaris berbalik tetapi lalu berhenti. Sorot mata emas itu sulit ditebak Rama.
Pria itu sontak berdiri lalu melangkah menuju balkon. Dia memutar kunci, tidak tahu mengapa dirinya justru menghindari Nita. Pintu kaca berdecit saat digeser. Rama terdiam merasakan langkah pincang itu di belakangnya, dia melangkah ke sudut balkon. Tidak mungkin Nita akan menyusul kemari, karena dia kira Nita akan menonton film.
"Rama," suara Nita bergetar di pintu balkon.
Rama tak menoleh, tangan kekar merem4s pagar besi yang dingin di dini hari dengan malam tanpa angin. Seperti hati Rama yang sama terasa senyap dan tak tahu apa alasannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments