Dia tidak tahu harus bernapas lega atau apa. Yang jelas sejak tadi pagi mengetahui Luna sudah tidak ada dipelukannya saat ia bangun, ia sudah tidak fokus melakukan apapun.
"Paman memanggilku?"
Stefan datang menemui Ellard setelah menyelesaikan urusannya dengan Aglen. Ia berusaha setenang mungkin saat berhadapan dengan adik ayahnya itu.
"Kau sibuk?"
"Memang ada apa paman? Ada yang bisa kubantu?" tanya Stefan semakin dibuat penasaran oleh pamannya itu.
"Luna mengambil jurusan Ekonomi dan Bisnis, Stef. Aku ingin kau membantunya belajar, atau paling tidak ajaklah dia magang di perusahaanmu," pinta Ellard dan tentu saja tidak akan disetujui oleh Stefan saat ini.
"Apa tidak terlalu dini, Paman. Luna baru saja semester dua, banyak hal yang belum dipelajarinya secara teori. Itu akan membuat prakteknya berjalan lambat. Kecuali ia sudah menguasai semua teorinya." Stefan mencoba mengelak sehalus mungkin.
"Aku sudah tidak sabar ingin ia bergabung di perusahaanku, Stef. Dia anak gadisku satu-satunya. Yang pernah sengsara seumur hidupnya sebelum bertemu denganku." Ellard menatap dalam, foto gadis kecil yang ada di depannya.
Ya, itu adalah foto Luna saat berumur lima tahun. Ellard mengambilnya dari album foto yang diberikan oleh Keiko bersamaan dengan diserahkannya Luna padanya. Album foto itu sengaja dibuat Keiko sebagai kenangan untuk wanita itu. Namun sekarang, Keiko berpikir bahwa Ellard lah yang lebih berhak memilikinya.
Stefan menyadari, betapa besar sayang Ellard untuk Luna. Semakin membuat Stefan takut membayangkan reaksi pamannya itu jika mengetahui bahwa dialah yang menodai Luna.
Entahlah, saat ini karirnya sedang berada benar-benar di puncaknya. Jika kejadian ini terkuak, sudah pasti akan berpengaruh pada semua bisnisnya.
"Sebaiknya biarkan Luna belajar di kampus dulu, Paman. Aku janji akan membimbingnya jika saatnya tiba." Janji yang diucapkan Stefan tidak sungguh-sungguh. Ini hanya sebuah pengalihan agar ia tidak lagi diminta oleh sang paman untuk membimbing satu-satunya pewaris perempuan keluarga Efrain itu.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Sayang, kau nampak lemas sekali. Kau sakit?" Baru saja tiba, Ellard langsung menuju kamar Luna.
Saat ia baru turun tadi, ada seorang pelayan melaporkan jika Luna tidak menyentuh makanan sama sekali seharian ini. Membuat lelaki yang hampir sembilan puluh persen rambutnya dipenuhi uban itu semakin khawatir.
Luna menyentuh punggung tangan sang ayah yang menempel di dahinya. "Aku baik-baik saja. Papa baru pulang?" Luna menempelkan punggung tangan hangat itu ke pipinya. Lelaki yang berhati malaikat ini tidak pernah sekalipun membuat Luna sedih selama gadis itu tinggal disini.
"Lalu kamu kenapa. Dari pagi Papa lihat kamu sama sekali tidak bersemangat. Bahkan kamu tidak keluar sama sekali dari hoodie jumbomu itu," sindir sang ayah pada Luna yang tidak mengganti pakaiannya sedari pagi.
Luna tersenyum kecut. Ia tidak memiliki pakaian lain yang bisa menutup lehernya. Jika ia berganti dengan yang lain, tentu saja tanda-tanda yang ditinggalkan Stefan pada tubuhnya akan menjadi sebuah pertanyaan.
"Aku menyukainya, Pa," jawab Luna memberikan alasan.
"Kenapa tidak makan kalau kau baik-baik saja? Hanya orang yang sedang memiliki masalah yang tidak napsu makan. Apa ada yang ingin kau ceritakan pada papa?" Ellard menyadari jika ada sesuatu yang disembunyikan oleh anak gadisnya itu. Entah apa Ellard tidak tahu. Namun Ellard juga tidak bisa memaksa Luna bercerita padanya.
Karena tentu kadar kepercayaan anak gadisnya itu padanya belum seratus persen. Mereka baru saja bertemu dan baru setahun ini tinggal bersama. Ada banyak hal yang harus dipahami Ellard pelan- pelan dari gadis remaja yang bahkan mengambil hampir sembilan puluh persen gennya itu.
Luna menggeleng. "Biarkan aku sendiri ya, Pa." Tatapan Luna mengiba, memohon diberi ruang untuk memikirkan jalan keluar dari masalahnya.
"Baiklah. Panggil Papa jika kau sudah siap untuk bercerita," putus Ellard. Dia melihat kegelisahan itu. Namun tidak berani menelisik lebih jauh.
Ellard meninggalkan Luna yang masih berbaring tertelungkup di ranjangnya.
Gadis itu masih tidak ingin bangun menghadapi kenyataan, dan berharap semuanya hanya mimpi.
Luna berjalan sendiri, tengah malam itu. Pikirannya tidak tenang menyembunyikan hal sebesar ini. Hal yang sudah pasti akan mencoreng nama besar Efrain jika sampai terendus media.
Gadis itu menuruni tangga, lampu ruangan yang temaram membuatnya hati-hati melangkahkan kakinya.
Malam ini ia terpaksa turun karena haus menggigit tenggorokannya. Gadis itu sempat berhenti sejenak. Matanya menikmati suasana rumah yang tenang rumah sang ayah.
Entah mengapa mendadak ia ingin menangis. Sepertinya, keputusan asal yang dipikirkannya seharian ini akan membuatnya merindukan rumah ini. Rumah yang tempat ia berlindung setahun terakhir ini.
Setelah mengambil segelas air dingin dari kulkas dan menghabiskannya hingga tandas, Luna menyeret kakinya untuk keluar rumah menuju taman.
Melihat langit malam yang gelap dan kontras dengan terangnya taburan bintang dan rembulan membuatnya tergoda.
Gadis itu biasa menikmati malam sendirian saat masih tinggal dengan mama Keiko. Ia kesepian karena sendiri, namun ia tetap mencoba bahagia. Bagaimanapun keadaannya dahulu, mama Keiko telah memberikan yang terbaik untuk dirinya dengan sekuat tenaga wanita itu.
Langkah Luna melambat saat menyadari ada orang lain yang tengah duduk di kursi taman, sendirian.
Rupanya lelaki paruh baya yang ia panggil papa itu sama seperti dirinya. Menyukai langit dan apapun yang ada diatas sana. Terbukti sang ayah nampak mendongak, diam tak bergerak.
"Papa."
Ellard yang kaget mendengar seseorang memanggilnya langsung menoleh. Lelaki itu menampakkan senyumnya. Meskipun gurat lelah dan kurang tidur lebih mendominasi riak wajahnya.
"Belum tidur, Sayang?" tanya Ellard. Lelaki itu berdiri dan menghampiri anak gadisnya, kemudian membawa Luna untuk duduk ditempat yang sama.
"Papa sedang apa disini? Gelap dan sudah larut malam," cicit Luna yang baru sekali ini keluar rumah hampir di tengah malam. Dan malah menjumpai sang ayah disini.
"Hemm...." Dagu Ellard mengedik menunjuk langit. "Aku menyukai langit malam, Nak. Rasanya menenangkan melihatnya." Ellard menatap wajah Luna, ada bayangan wajah Hannah disana.
"Tidak mungkin papa keluar hanya untuk melihatnya bukan?"
"Hemmm ... Kau benar. Papa baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan, dan belum mengantuk," jawab Ellard yang merangkul bahu Luna.
"Kenapa bukan kak Aglen saja Pa? Bukankah papa seharusnya tinggal mengawasi dan menikmati hasil kerja keras papa ini. Paling tidak bukan untuk kerja lembur," ucap Luna yang menelan getir salivanya. Luna takut alasannya adalah dirinya.
"Aglen belum begitu mahir, Sayang. Apa papa kelihatan begitu menyedihkan hingga kau kasihan hemm?" Lelaki berambut putih dengan beberapa sulur hitam itu mengusap lembut puncak kepala Luna.
"Aku bukan kasihan. Tapi karena kau papaku. Apakah perhatian itu butuh alasan?" Ellard menggeleng.
Anak kita benar- benar duplikatmu, Hannah. Fisiknya memang mewarisi gen-ku. Tapi hatinya, seratus persen milikmu.
"Papa harus berjanji padaku. Jika aku sudah lulus kuliah, Papa harus mengambil pensiun dan menikmati hidup. Kapan Papa mau menikmati semua hasil kerja papa ini? Papa sudah berjuang sangat keras untuk keluarga ini." Luna sangat sayang dengan sang ayah, meski mereka baru bersama setahun ini.
💕 Hai readers
Terima kasih sudah mengikuti. like, komen dan vote ya, makasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 298 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
papa nya si Luna bukan bule tulen atau campuran yah
2024-04-23
0
Nuhume
Laporin aja Lunnnn😭😭😭
2023-05-20
1