"Kau kenapa?"
"Tidak!" Stefan menggeleng kemudian telapak tangannya mengusap peluh yang mendadak membasahi dahinya. "Apa kau benar-benar tidak tahu kenapa adikmu itu ingin pindah ke luar negeri?"
"Kau tahu aku kan, Stef! Aku membencinya sejak papa menceritakannya. Bukankah dia anak haram? Bahkan papaku tidak pernah menikahi ibunya. Tapi aku harus rela menerimanya di keluargaku. Jangan harap aku akan baik dengannya." Aglen masih saja mengeluarkan uneg-unegnya yang tidak bisa ia sampaikan pada sang ayah.
Tiba-tiba Stefan beranjak hendak keluar ruangan.
"Jangan kabur! Pekerjaan kita masih banyak!" hardik Aglen.
"Aku ada urusan penting, sebentar saja." Stefan nekat meninggalkan aglen.
"Stefan! Tidak ada urusan yang lebih penting selain pekerjaan ini. Waktunya sudah mendesak!" Aglen membentak sepupunya itu, meskipun lelaki itu tidak menggubrisnya.
"Hanya satu jam, aku akan kembali," teriak Stefan yang berlari keluar, dan segera menutup pintunya kembali. Jika ia tidak cepat, Aglen sudah pasti menahannya lama.
"Sial! Stefan menambahi rasa kesalku saja. Pekerjaan banyak ia malah kabur. Ia pikir satu jam itu sebentar?" Aglen menendang angin di depannya untuk memberi rasa puas atas kekesalannya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Non, ada yang ingin bertemu," ucap pelayan wanita menghampiri Luna yang sedang duduk di taman seorang diri.
Gadis itu melamun, hingga ia tidak mengetahui kedatangan sang pelayan dengan seseorang dibelakangnya.
Luna terhenyak. "Iya, si_" Mata Luna membola dan tatapannya berubah nyalang. Sang pelayan yang mengantarkan tamu untuk majikannya itu, bergidik ketakutan.
"Saya mohon diri, Nona." Pelayan itu segera pergi, sepertinya ada masalah dengan mereka berdua. Entahlah itu hanya tebakan sang pelayan. Ia tentu tidak mau mencampuri urusan pribadi sang majikan.
Tentu ia mengenal lelaki yang merupakan keponakan dari Tuan Besar nya itu. Lelaki itu biasa kesini, namun baru sekali ini menemui anak majikannya. Ekspresi Luna sungguh diluar dugaan. Tatapan maut laksana membunuh.
"MAU APA KAMU KESINI!?" Luna memutar tubuhnya menjadi membelakangi tamunya yang ternyata adalah kakak sepupunya, Stefan.
"Lun, aku mau meminta maaf." Tatapan Luna sekilas dapat ditangkap oleh mata Stefan. Kebencian yang sangat dalam.
Stefan yang tidak berpikir panjang, saat mendengar ucapan Aglen jika Luna akan pergi ke luar negeri dengan berani datang ke rumah sang paman.
Dimana saat ini tentu saja Stefan tahu jika lelaki adik ayahnya itu sedang berada di kantor. Begitu juga dengan Aglen.
"MAAF?" Luna berdecih lirih. "Apa maafmu menyelesaikan segalanya? Mengembalikan sesuatu yang telah kau ambil secara paksa? Atau...." Napas Luna semakin memburu, rasa sesak bercampur perih menyusup dalam dadanya.
Sungguh, Luna merasa tidak sudi melihat wajah Stefan yang selalu mengingatkannya akan kejadian itu. Wajah yang tertidur puas dan damai setelah menikmati tubuhnya malam sebelumnya.
"Sungguh aku minta maaf Lun, maafkan aku." Stefan berucap lirih. Lelaki itu hendak menghampiri adik sepupunya itu, namun tangan Luna dengan cepat mencegahnya.
"Tetap disana! aku tidak sudi melihatmu atau berada disekitarku! PERGI!" Sebenarnya Luna ingin berteriak keras, melampiaskan kebencianya dan kekecewaannya pada Stefan, seseorang yang ia anggap saudaranya tapi malah menyakitinya.
Namun teriakannya hanya tertahan hingga akhirnya seperti menggeram. Karena ia tidak ingin menimbulkan keributan yang akan menjadi pertanyaan bagi penghuni rumah ini.
"Lun, apakah kau pergi karena perbuatanku?" Entah mengapa Stefan menjadi iba. Bahkan perasaan itu belum ada sejak pertama kali ia mengenal Luna.
Namun hari ini, ketika ia untuk pertama kalinya melihat keadaan Luna setelah peristiwa yang terjadi diantara mereka malam itu. Hatinya seperti tercabik. Ia seperti ikut merasakan apa yang dirasakan gadis itu. Dan sialnya, ia mengasihani Luna dan mendadak rasa takut kehilangan menyusup dalam dadanya.
"Katakan Luna!"
"Itu bukan urusanmu!" Mati-matian Luna menahan isakannya. Rasanya benar-benar nyeri apalagi melihat Stefan di depan matanya saat ini.
"Luna. Kumohon jangan pergi!"
Astaga!
Stefan merutuk dalam hatinya. Seumur-umur lelaki itu tidak pernah memohon pada wanita. Namun ia melakukannya saat ini.
Bodoh!
Namun sungguh, saat ini ia seperti seseorang yang ketakutan kehilangan seorang kekasih yang akan meninggalkannya pergi jauh.
Kekasih?
Bahkan kekasih seharusnya tidak menyakiti. Lalu apa sebutan yang pantas untuknya?
Pemerkosa?
Lelaki biadab!
Atau sebutan apapun yang buruk. akan ia terima, asalkan keluar dari mulut Luna.
"Aku akan bertanggung jawab akan perbuatanku. Kita menikah, tapi_"
Luna terdiam mematung. Ia hanya mendengarkan ucapan demi ucapan absurd dari Stefan. Mungkin lelaki itu sudah gila, karena ketika ia benar-benar sadar tidak mungkin ia akan mengeluarkan kata-kata itu.
"Menikah? kau gila, Stefan!"
"Anggap saja seperti itu. Aku akan menikahimu tapi aku tidak bisa memberikan pesta yang mewah. Karena pernikahan kita harus tersimpan rapat di keluarga saja. Ayah kita bersaudara Luna. Dan kita adalah sepupu. Cepat atau lambat, kejadian sebenarnya pasti akan terungkap. Dan sudah pasti akan menjatuhkan nama besar keluarga kita."
Luna mendengkus marah. Hawa panas ditubuhnya seakan keluar bagai api yang siap menjilat Stefan dan menelannya menjadi debu.
Ia pikir, lelaki yang ia panggil sepupu itu sedikit waras dengan berniat bertanggungjawab dan mengajaknya menikah. Ternyata tetap saja palsu. Ada kepentingan diatas kepentingan.
Stefan hanya takut nama baiknya tercoreng.
"Kalau kau memikirkan nama keluarga besar kita, seharusnya kau berpikir waras saat akan melakukannya padaku." Luna melirik tajam dengan seringainya.
Gadis itu mencoba terlihat kuat meski sebenarnya dirinya sangat rapuh.
"Aku tahu aku salah, Lun. Jangan pergi! Aku mohon."
"Kau tidak berhak memohon atau mengaturku. Lupakan saja tanggung jawabmu itu karena aku tidak butuh. Sekarang pergi dari sini! Sebelum aku memanggil satpam untuk menyeretmu!" Luna mengancam Stefan yang juga tengah kalut. Bahkan ekor mata Luna menangkap mata sendu Stefan yang tidak main-main dengan permintaannya.
Perduli apa!
Bahkan lelaki yang ia sangka sebaik ayahnya itu bertindak sebaliknya.
"Tetaplah disini. Biarkan aku menjagamu." Stefan mengerjap, dan setelahnya mengucapkan kembali permintaannya pada Luna.
"PERGI!!"
"Berjanjilah untuk tidak pergi, Luna."
"Sudah kubilang pergi! Atau papaku akan tahu kalau kau yang melakukannya."
"Luna." Suara Stefan terhenti melihat Luna yang sudah bersiap memanggil keamanan rumahnya.
"Ba-ik aku pergi. Aku pergi." Stefan memutar tubuhnya. Dengan langkah gontai seperti seseorang yang tengah kalah perang lelaki itu berjalan menyusuri taman dan menuju mobilnya. Sesekali ia masih berbalik untuk melihat gadis yang membuat hatinya campur aduk tidak karuan itu.
Didalam kuda besi hitam mengkilat miliknya, Stefan terdiam melamun. Luna bahkan tidak mengatakan pada sang paman siapa yang memperkosanya malam itu.
Lelaki itu tidak tahu harus sedih atau bahagia. Yang jelas menatap mata Luna tadi membuatnya perih. Ia menyakiti orang yang salah, dan lebih salah lagi ia tidak bisa melakukan apapun.
Karena sudah pasti jikapun ia bisa menikahi Luna, aib ini tidak akan berhenti sampai disini. Baik nama besar keluarga maupun karirnya sendiri yang sedang berada di puncak itulah, yang menjadi taruhannya.
Mengapa Stefan tidak bisa menganggap hubungan yang ia lakukan dengan Luna ini sama dengan hubungannya dengan para wanita itu. Just one night stand.
❤Readers tercinta, Terima kasih sudah sabar dengan saya💗🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 276 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
yang jadi masalah kalo dari hubungan malam itu berakibat kehamilan sih yang jadi bikin si Luna tambah nelangsa
2024-04-23
0