"Papa masih menunggu?" ucap Luna berbasa-basi saat melihat belum ada aktifitas dari piring dan sendok di meja makan.
Ada sang ayah dan juga kakaknya disana. Entah kapan lelaki yang sepuluh tahun lebih tua darinya itu berada di sebelah ayahnya.
Dan tatapan Aglen masih sama. Sinis dan tidak ramah sama sekali. Bahkan setiap makan bersama entah pagi, siang ataupun malam hari Luna harus selalu menguatkan dirinya untuk menghadapi itu.
Luna menunduk dalam, hingga matanya pun basah kembali. Padahal sudah setahun mereka serumah, namun lelaki yang ia panggil kakak itu, masih saja bersikap tidak perduli padanya.
Ellard tersenyum menyambut anak gadisnya yang baru saja memasuki ruang makan, dan tentu tidak dengan Aglen. Kakak lelaki Luna berbeda ibu itu hanya mengganti tatapan sinisnya menjadi datar di depan sang ayah. Tidak ramah namun juga tidak kesal. Membingungkan.
"Anak gadis mandinya lama sekali. Sampai tercium wangi sabunmu dari tempat Papa." Ellard bangkit dari duduknya, menghampiri Luna yang berdiri mematung karena merasa sungkan dan tersisihkan.
"Tidak usah, Papa duduk saja. Maaf membuat Papa dan Kakak menunggu lama." Luna yang merasa tidak enak menghalau rangkulan sang ayah. Ia ganti menggandeng lelaki paruh baya itu kembali ke tempat duduknya.
Ellard baru setahun terakhir ini Luna ketahui, jika lelaki berkharisma yang banyak dibicarakan orang ini adalah ayahnya. Ayah biologisnya. Pantas saja ia tidak mirip sang ibu juga mama Keiko.
Bahkan gadis itu pernah menangis didepan mama Keiko saat SMP dulu, karena teman- teman sekolahnya mengoloknya. Kata mereka, Luna sebenarnya anak mama Keiko yang tidak diakui. Agar Luna tidak malu di sekolahnya. Namun mama Keiko bersikeras jika Luna bukanlah anaknya. Hingga akhirnya bukannya memberitahu seperti apa ayahnya, mama Keiko malah mencabut Luna dari sekolahnya dan ia mendapat pendidikan home schooling sampai lulus SMA.
"Makanlah, Lun. Jangan melamun," tegur Ellard ketika Luna hanya diam memegang sendoknya dan menatap lama piring didepannya.
"Emm... Iya, Pa." Luna menjawab dengan gugup dan terpaksa menyendok beberapa suap makanan yang sama sekali tidak menarik baginya. Bahkan perutnya sama sekali tidak bisa menerima makanan itu. Tanpa merasakannya, Luna hanya menelan saja apa yang ada didalam mulutnya.
"Bagaimana perkembangan usahamu dengan Stefan, Ag?"
"Lumayan, Pa. Stefan memang cakap dalam bisnis ini. Tidak salah kita mengajaknya bekerjasama." Aglen yang sedari tadi diam menunjukkan senyum kecilnya ketika ditanya masalah pekerjaannya.
Dalam hidup Aglen, tidak ada yang menarik selain bisnis sang ayah yang juga ia geluti. Lelaki tampan yang belum juga menikah itu gila kerja.
"Pa, Luna sudah kenyang. Luna keatas dahulu." Mendadak Luna memotong perbincangan ayah dan anak itu.
"Kenyang? Bahkan kau belum menghabiskan seperempatnya, Sayang?" Ellard menatap heran pada anak gadisnya. Selama ini, Luna tidak pernah seperti ini. Meskipun Ellard tahu kedua anaknya itu tidak akur. Tapi mereka juga tidak pernah berseteru.
"Biarkan saja, Pa. Mungkin dia sedang tidak napsu makan. Kita teruskan saja pembahasan kita tentang pekerjaan, ini jauh lebih penting."
Ellard menatap kepergian Luna, sedikit merasa aneh dengan anak gadisnya itu.
"Apa kau tidak berangkat ke kampus, Sayang?" tanya Ellard sebelum Luna menghilang di balik tangga.
"Hari ini libur, Pa. Karena ada perayaan ... kemarin." Mendadak dadanya nyeri mengingatnya. Luna naik ke lantai dua dengan terburu-buru. Dia takut membayangkan nasibnya jika sampai sang ayah tahu apa yang terjadi.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Hemm...."
"Kau belum bangun? Astaga Stefan! Sudah jam berapa ini? Aku tidak banyak waktu untuk menunggumu," teriak Aglen melalui telepon genggamnya pada sang sepupu, Stefan.
"Apa kau sedang PMS? Teriak-teriak tidak jelas seperti itu padaku." Jawaban dari Stefan membuat Aglen semakin naik darah.
"Apa kau lupa janji kita pagi ini? Baiklah kita batalkan saja," ucap Aglen enteng. Meski sebenarnya Aglen hanya menggertak. Karena ia tidak akan mendapatkan orang seperti Stefan dengan mudah jika mereka bukan saudara.
Stefan adalah sosok pekerja keras yang pantas diperhitungkan di dunia usaha yang digeluti Aglen dan sang ayah, Ellard. Ide- ide cemerlangnya serta tangan dinginnya telah banyak menyukseskan berbagai proyek milik pamannya itu.
"Kau mengancamku?"
"Untuk apa? Diancam seratus kalipun tidak mempan jika itu dirimu," ketus Aglen kesal.
"Setengah jam lagi. Aku pasti datang!" teriak Stefan bangkit dari tidurnya.
"Setengah jam? Kenapa tidak sepuluh menit, aku sudah bosan disini," sahut Aglen keras.
"Kau pikir aku tukang sulap? Sudah tunggu saja jangan banyak protes!"
Stefan meraih handuknya. Tunggu, sepertinya ada sesuatu yang tertinggal. Tas wanita ada di sofanya. Pasti ini miliknya. Tapi tidak mungkin untuk mengembalikannya.
Stefan segera masuk ke kamar mandi. Di depan cermin lelaki itu tersenyum sendiri membayangkan kejadian semalam. Ia memang menyesalkan perbuatannya. Tapi ia sangat bahagia menjadi yang pertama. Bahkan bekas gigitan di beberapa bagian tubuhnya terlihat memerah. Sepertinya gadis itu tidak sadar melakukannya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Seharian ini, Luna hanya di rumah saja. Tidak ingin pergi kemanapun atau melakukan apapun. Meski ia bolos kuliah dan beralasan libur pada sang ayah, tapi bagaimana dengan besok. Alasan apa yang harus ia buat lagi?
Hatinya kalut, sangat. Otaknya berpikir cepat, ingin menyelesaikan masalah ini. Namun tidak ada satu solusi pun yang terlintas disana.
Satu- satunya penyelesaian adalah menikah, karena laki- laki itu telah menodainya. Tapi, dirinya sendiri telah membenci lelaki itu, dan tidak akan sudi menjadi istrinya. Ataukah ia harus menghadapinya seorang diri?
Luna menelan salivanya berkali-kali. Segelas minuman yang disediakan pelayan belum sama sekali disentuhnya. Padahal tenggorokannya sangat kering sejak tadi, akibat kerasnya si otak berpikir.
Setiap kali mengingat kejadian semalam, matanya terasa panas kemudian bulir-bulir bening itu jatuh tanpa bisa ia kendalikan.
Mengingat? Bahkan ia tidak sadar sama sekali semalam. Apa yang ia ingat dari tindakan lelaki laknat itu. Yang ia rasakan hanya sakit dari akibatnya tadi pagi, karena baginya ini adalah pertama kali.
Luna seperti orang linglung. Sore nanti saat sang ayah pulang, ia harus menutupi kesedihannya lagi dengan keceriaan. Seperti pagi tadi saat sarapan, berbuat sedemikian rupa hingga orang-orang rumah beranggapan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Apakah ia harus pura-pura menjadi kuat? Sedangkan di rumah ini hanya sang ayahlah yang paling dekat dengannya. Jika ia bercerita dengan mama Keiko, sudah pasti penyelesaiannya dengan kekerasan.
Wanita yang membesarkannya itu tidak pernah berpikir panjang jika ada orang menyakiti Luna. Jahat ia balas jahat. Baik ia balas baik.
Mama Keiko, mendadak ia rindu dengan wanita itu. Penyelamat hidupnya setelah sang ibu tiada, meskipun atas nama persahabatan dan balas budi.
Amici💕
Maafkan saya merevisi semuanya. Ada beberapa bagian yang saya tambahi. Dan ada beberapa bagian yang saya hilangkan, berdasarkan saran editor saya harus mengganti beberapa yang dirasa terlalu memperlama cerita. 🙏
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 298 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
wah karena baru baca jadi baru tahu ada revisi
2024-04-23
0