"Selamat pagi, Nona."
Selepas mengetuk pintu, bibi Ofelia langsung masuk ke kamar gadis yang tengah termenung di depan jendela itu.
Luna menoleh karena mendengar suara asing di kamarnya.
"Iya." Luna menegakkan postur tubuhnya, gadis itu mengerjap bingung ada orang asing masuk ke kamarnya.
"Saya, Bibi Ofelia. Pelayan lama kepercayaan Tuan Ellard dan Nyonya Rosalie. Saya dengar Tuan Besar dan Nona Luna akan ke Kanada, dan mengajak saya ikut serta. Semoga saya bisa membantu disana," sapa bibi Ofelia ramah.
Pelayan yang cocok disebut sudah tua ini, berucap santun. Bahkan setiap kata-katanya terdengar halus. Sesuai dengan usia dan pengalaman kerjanya.
"Oh, iya. Papa kemarin bercerita sedikit tentang Bibi. Aku senang sekali jika Bibi bersedia ikut kesana." Tanpa sadar Luna menghapus jejak air mata yang tadi menggenangi pipinya.
Bibi Ofelia mendekat, ia melihat kesedihan mendalam sedang dialami majikan yang baru dikenalnya itu. "Apa ada yang erlu saya bantu sekarang, Non? Berkemas mungkin, atau memilih beberapa pakaian yang dibawa nanti."
"Tidak usah, Bi. Biar saya sendiri saja. Maukah Bibi duduk disini sebentar. Aku ingin bertanya sesuatu." Wanita paruh baya itu mendadak was- was. Semoga saja pertanyaan Luna bukan sesuatu yang sulit untuk ia jawab.
"Tentu, Non. Apapun." Bibi Ofelia mengambil duduk di sebelah Luna. Ia pikir anak gadis sang majikan itu seperti gadis-gadis lainnya yang baru memasuki kehidupan mewah, hingga memiliki sifat yang rata-rata ekstrim dan seenaknya sendiri. Namun ternyata Luna sangat jauh berbeda.
"Bibi sudah lama ikut keluarga ini?"
"Lama sekali, Non. Sejak Tuan Besar dan Tuan William masih remaja, sampai Tuan Muda setua sekarang. Ups, maaf Non. Saya keceplosan." Bibi Ofelia membungkam mulutnya segera.
"Kak Aglen belum setua itu, Bi."
"Sudah Non. Tigapuluh lima tahun belum tua dari mana? Masih jomblo lagi," celetuk bibi Ofelia.
"Berarti Bibi mengetahui masa kecil kak Aglen?"
Wanita paruh baya berkaca mata itu mengangguk. "Tuan Muda Stefan juga. Mereka menghabiskan masa kecil mereka bersama-sama, malah sampai sekarang."
Gluk!
Pahit menjalar di tenggorokan Luna yang tercekat mendengar nama sepupunya itu disebut.
"Apa ... Kak Aglen memang seperti itu sifatnya?"
"Kenapa bertanya seperti itu, Non? Apa Tuan Muda tidak bersikap baik dengan Nona? Setahu saya, Tuan muda sangat baik. Tetapi saya tidak tahu jika diluar. Dulu, Nyonya Besar selalu cerewet jika Tuan Muda diluar batas." Bibi Ofelia mengerjap pelan mengingat masa lalu.
"Kakak tidak menerima kehadiranku, sepertinya. Tapi aku paham, karena aku ... bahkan ibuku tidak pernah menikah dengan Papa. Aku tidak tahu apa statusku, Bi."
"Jangan bicara seperti itu, Non." Bibi Ofelia mengusap punggung tangan luna. "Nona tetaplah anak Tuan Besar. Dan beliau sangat menyayangi Nona, saya bersumpah melihat itu dimatanya. Untuk Tuan Muda, mungkin beliau tidak mengetahui sifat baik Non Luna, makanya dia bersikap buruk."
"Bibi baru sekali ini bertemu denganku. Tapi Bibi mengatakan aku baik. Bagaimana jika aku sebenarnya jahat, dan yang kulakukan hanya sebuah kamuflase? Hanya agar Bibi berpikir aku baik."
Bibi Ofelia tersenyum masam. "Saya sudah banyak makan asam garam kehidupan, Non. Hanya dengan mengobrol saja, saya sudah tahu sifat seseorang. Orang baik akan selalu menyembunyikan kebaikannya. Sementara orang jahat, akan selalu mencari pengakuan bahwa dirinya baik."
"Apa menurut Bibi, Kak Aglen akan berubah sikapnya padaku suatu saat nanti?" Sungguh dimata Bibi Ofelia, Luna seperti anak kecil yang butuh perhatian, perlindungan dan kasih sayang.
"Tentu saja. Bukankah kebaikan itu harus ditanam. Dia akan terus tumbuh dan berbuah pula kebaikan. Tidak usah mengkhawatirkan hal itu. Semua ada waktu terbaiknya. Bibi tunggu sarapan di bawah,ya."
"Aku tidak lapar, Bi."
"Tapi Bibi memaksa. Bibi akan menunggu Nona sampai turun, hemm...." Wanita paruh baya itu melepaskan kacamatanya dan mengerling pada sang majikan. Luna sampai menggeleng heran dibuatnya.
Tuhan begitu baik, dengan adanya bibi Ofelia yang sangat menghiburnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Stefan menatap Aglen. Lelaki setampan ayahnya itu, nampak mondar-mandir sibuk menghubungi dan dihubungi seseorang yang entah siapa.
Stefan sampai jengah melihatnya.
Baru sejenak membahas proyek mereka, lelaki itu langsung berdiri ketika terdengar suara ponselnya. Kemudian berbicara dengan penelepon yang kadang sebentar kadang juga lama.
Jika begini terus, pekerjaan yang harusnya cepat selesai bisa tertunda, dan malah terancam tidak selesai sesuai jadwal.
"Sepertinya kau sangat sibuk?" celetuk Stefan yang membuat Aglen menoleh namun hanya sebentar. Karena detik berikutnya, Aglen larut kembali dengan ponselnya.
Stefan menyeruput kopi yang ada di meja kecil di dekatnya. Tenggorokannya sampai kering. Bukan karena membahas pekerjaannya dengan Aglen, tetapi menunggu lelaki yang tidak kunjung selesai dengan urusan pribadinya itu.
"Kita lanjut nanti saja kalau kau sibuk." Stefan sudah berdiri saat Aglen telah mengakhiri urusannya dengan seseorang yang meneleponnya.
"Lanjut nanti bagaimana? Besok papa harus menandatanganinya dan itu berarti waktu kita tinggal hari ini." Aglen memicingkan matanya mendengar ucapan Stefan.
Lelaki itu hampir saja marah jika tidak bisa menguasai dirinya. Aglen baru tersadar, jika sejak tadi dialah yang memperlama selesainya pekerjaan ini.
"Aku harus mengurus Visa dan pasport Papa dan adik tiriku itu, Stef. Ayolah, aku sudah pusing karena Papa meminta cepat sedangkan pekerjaan yang lain juga menumpuk." Aglen menyugar rambut klimisnya hingga ujung. Dengan tangan bersiku sebelah di pinggangnya.
"Memang mereka mau liburan kemana? Bukankah banyak orang yang bisa kau suruh kenapa kau mengerjakannya sendiri? Kau ini bos, Ag!" sindir Stefan.
Memang benar apa yang diucapkan lelaki bergelar playboy ini, Aglen memiliki banyak anak buah yang bisa disuruhnya melakukan apapun.
"Entahlah. Papa meminta aku yang harus mengurusnya sendiri. Mereka bukan liburan, tapi Luna meminta pindah kuliah ke luar negeri tiba-tiba. Merepotkan saja! Kenapa tidak dari awal tahun, dia ingin kuliah disana." Aglen nampak kesal dengan adik tirinya itu.
"Pindah kuliah!? Kenapa?" Stefan hampir saja menampakkan rasa terkejutnya pada sepupunya itu. Untung saja ia bisa mengendalikan dirinya.
"Aku tidak tahu, Stef. Aku tidak ingin tahu urusan adik tiriku itu. Tapi yang membuatku heran, kenapa Papa harus menemaninya. Dia bukan anak kecil kemarin sore yang harus digandeng kesana kemari. Dan Papa masih sangat dibutuhkan disini, sialan gadis itu!" umpat Aglen tidak bisa lagi menahan emosinya.
Stefan mengerjap. Jika ia tidak salah menebak, berarti Luna sudah bercerita pada sang paman tentang kejadian malam itu.
Terbukti sang paman tidak melepaskan anak gadisnya sendirian di negeri orang. Namun apakah Luna juga sudah mengatakan jika pelakunya adalah dia?
Pikiran Stefan yang sibuk menebak membuat napas lelaki itu memburu.
💞Semangat!!!!!!
Ya ampun emak-emak seperti saya ini kalau sudah menemani tidur bocil sudah pasti susah bangunnya. maafkan saya ya readers tersayang. love u
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 275 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
Luna sudah benar dengan tidak memberitahu siapa orang yang uda melecehkannya, soalnya disamping ada pertumpahan darah antara papa nya sama saudara kandungnya, mungkin juga sang kakak tiri semakin membencinya
2024-04-23
0