Keesokan harinya aku dan Tristan bersiap untuk kembali pulang ke kota tercinta kami, Yorksnall. Kami sudah menyewa sebuah kereta kuda beserta kusirnya, sangat lucu memang melihat Tristan yang di awal adalah kusirnya sekarang ia malah menjadi penumpang.
Kulihat pria itu masih tampak lesu, sepertinya masalah patah hatinya cukup serius sehingga sampai sekarang ia masih terpukul seperti itu. Ia masuk terlebih dahulu ke dalam kereta kuda dengan wajah yang masam dan tak mengatakan apa-apa.
"Well, sepertinya kami harus pergi, terima kasih atas pelayanannya selama ini!" ucapku pada pelayan penginapan kami.
"Sama-sama, Tuan, menginaplah lagi ke penginapan kami jika Anda berkunjung lagi ke kota ini," ucap pelayan itu dengan sangat sopan.
"Tentu saja! Di mana lagi aku bisa menemukan penginapan murah di kota Ringfelsental yang sangat menakjubkan ini? hahaha," timpalku dengan sangat riang. "Kalau begitu, kami pergi ya, sampai jumpa!"
"Tunggu!" seseorang berteriak di belakangku saat aku hendak menaiki kereta kuda itu. "Tunggu sebentar, Tuan Harald!" Sambungnya yang mana aku sangat tahu suara milik siapakah itu.
"Ah! Si orang kay - Eh, Tuan Gremlyn," sahutku setelah kupastikan siapa yang memanggilku itu.
Ia berjalan dengan berwibawa menghampiriku. Tapi selain dia aku juga melihat seseorang lainnya yang berjalan di belakangnya. Orang yang di belakangnya itu berjalan dengan lesu dan kepalanya tertunduk seakan tak semangat lagi untuk hidup. Jika melihat ciri-cirinya, aku berpikir bahwa orang itu adalah Raphael, putranya yang baru saja putus dengan wanita penggoda itu.
"Mau apa mereka kesini? ... AH! Apakah Si orang kaya itu mau menuntutku karena sudah menghajar putra kesayangannya kemarin? Sudah pasti si bocah labil itu mengadu padanya, ini sangat gawat ... Bagaimana jika orang ini ingin menarik kembali semua uang yang telah ia berikan padaku kemarin?" Aku terus berpikir hal-hal buruk yang mungkin terjadi sehingga membuat orang penting itu datang ke sini tepat sebelum aku pergi.
"Selamat pagi, Tuan Harald!" ucap Gremlyn yang tanpa kusadari sudah berdiri tepat di depanku.
"Oh ... Se ... lamat Pagi, Tuan Gremlyn ... " sahutku dengan perasaan gugup dan keringat dingin yang bercucuran di sekujur tubuhku.
"Tolong jangan katakan bahwa kau akan membawa kembali uangku! Tolong, tolong, tolong, tolong ..." Aku terus mengatakan hal itu dalam hati sembari menunggu perkataan apa lagi yang akan diucapkan orang kaya ini padaku.
"Anda sepertinya sudah siap untuk kembali ke Yorksnall, Tuan ..." ucapnya.
"I ... Iya ... Tuan," jawabku dengan singkat karena tak tahu harus berkata apa lagi.
"Ah syukurlah Saya masih sempat bertemu dengan Anda sebelum Anda pergi ..." Melihat raut wajah Gremlyn yang tampak biasa saja itu, aku jadi berpikir kalau dia datang bukan untuk mewujudkan hal buruk yang sedari tadi aku pikirkan dan itu membuatku cukup lega.
"Well, bagus kalau begitu Saya hanya ingin mengucapkan selamat tinggal saja dan terima kasih saja sebelum Anda pergi -"
"SYUKURLAH!" Teriakku sekeras-kerasnya yang tanpa sadar aku sudah memotong pembicaraan Gremlyn.
Saat aku sadar, aku lihat Gremlyn tampak bingung dengan sebelah alisnya terangkat seakan menunggu untuk mendapat penjelasan mengenai apa yang kuteriakkan itu.
"Ekhm ... Maafkan Saya Tuan, saya terlalu bersemangat melihat Anda, Saya terlalu tersanjung karena mengetahu orang penting seperti Anda mau repot-repot datang kesini hanya untuk mengucapkan selamat tinggal ..." Aku berusaha mengelak serapi mungkin agar Gremlyn tidak berpikir yang tidak-tidak mengenai diriku.
"Hahahaha, jadi seperti itu ya ... Saya kira Anda tadi kenapa ..." Dia sepertinya percaya dengan perkataanku dan itu sungguh membuatku semakin lega.
"Ha ... Ha .. ha ..." Aku pun ikut tertawa garing sebagai formalitas dari reaksi Gremlyn itu.
"Well, Tuan Harald, sebenarnya Saya datang kesini bukan hanya untuk mengucapkan selamat tinggal saja, tetapi juga mengantar putra Saya untuk bertemu denganmu," Gremlyn pun akhirnya mengatakan maksudnya yang sesungguhnya datang menemuiku.
"O .. Oh baiklah," Aku pun memperhatikan pemuda yang berdiri di belakangnya itu dan sangat penasaran dengan mau apa bocah labil itu menemuiku.
Raphael lalu berdiri di depan ayahnya, lalu berbicara padaku dengan wajah yang tampak sudah cukup lumayan membaik setelah kuhajar wajahnya sehingga tampak seperti pantat selumbari yang lalu. "Tuan, bisakah kita bicara empat mata saja?"
"Tentu saja," Aku pun mengiyakan permintaannya itu.
Kami kemudian pergi ke bagian lain dari penginapan agar tak ada yang mendengar pembicaraan kami.
Raphael, lalu merogoh saku mantelnya, untuk mengambil sesuatu dari dalamnya.
"Merokok?" Tanyanya sembari menunjukkan sebatang rokok kretek dari bungkusnya yang baru saja ia keluarkan dari sakunya.
"Terima kasih," aku pun menerima sebatang rokok itu, lalu ia juga meminjamkan koreknya untuk membakar ujung rokok itu.
"Huuuhh~ Saya tidak menyangka kalau Anda merokok, Tuan," ucapku sembari melirik Raphael yang tengah menyalakan rokok di mulutnya.
Ia mulai menghisap rokoknya dalam-dalam seperti seorang pria yang sudah terbiasa melakukannya, kemudian menghembuskan asap yang mengepul banyak itu dari mulutnya secara perlahan.
"Well, beginilah Saya untuk menghilangkan stress," ia menjawabku setelah semua asap itu keluar dari mulutnya.
"Fuuuuhhh~ Benar, merokok seakan membuang stres di kepala bersamaan dengan asap yang keluar dari mulut," timpalku mengiyakan apa yang ia katakan.
Kami tak berbicara lagi dan hanya menikmati masing-masing rokok kami untuk beberapa saat.
"Terima kasih," ucap Raphael tiba-tiba.
Aku menoleh dengan heran dan rokok yang masih di mulutku belum habis kuhisap.
"Berkat pukulan bertubi-tubi darimu itu membuatku tersadar bahwa aku sudah membuat Liliana terluka parah ... Memang sangat aneh, aku tidak biasanya seperti itu, bahkan semarah-marahnya aku pada seorang wanita, aku tidak pernah sampai memukulnya ... Tapi entah mengapa malam itu aku seperti hilang kendali, aku menjadi merasa sangat marah, aku menjadi gelap mata, lalu memaksanya untuk melayaniku, tapi dia menolak dan malah mengatakan ingin putus denganku dengan alasan bahwa dia jatuh cinta pada pria lain, itu semakin membuatku murka sehingga aku pun melepas sabuk celana yang kupakai, lalu mencambuknya berkali-kali sehingga ia terluka parah ... Aku sungguh sangat menyesali hal itu," tuturnya seperti tengah menjawab apa yang membuatku heran.
"Hm ... Mendadak jadi temperamen ya ..." pikirku sembari memandangi Raphel yang sedang mengambil napas untuk melanjutkan penuturannya.
"Memang sangat sakit mengingat aku dan dia sudah putus ... Tapi aku mengerti mengapa dia memutuskanku ... Sebenarnya setelah kau menghajarku bertubi-tubi, aku masih sadarkan diri, aku mendengar semua percakapan kalian berdua ..." ucapnya sembari memandangi langit di atasnya yang begitu cerah.
"Hm, begitukah?" Komentarku sembari menghisap kembali rokokku.
"Ya, mendengarkan bagaimana ia mencurahkan semua isi hatinya padamu, membuatku berpikir bahwa keputusannya untuk memutuskanku adalah hal yang tepat, dia tidak akan mendapat apa pun jika dia terus bersamaku mengingat ayah juga tidak merestui kami ... Sebenarnya aku pergi dari rumah selama satu bulan itu untuk mengancam ayah agar ia luluh sehingga merestui kami berdua, tapi kenyataannya adalah dia malah menyewamu untuk membawaku pulang ... " ia kembali menuturkan isi hatinya.
"Well, jika ayah sampai sebegitunya itu menolak mentah-mentah hubungan kami, itu berarti wanita itu sungguh tidak baik untukku ... Ayah selalu bilang dia hanyalah ja**ng yang ingin memeras hartanya saja, lalu setelah mendengar Liliana mengatakan semuanya padamu mengenai ia mendekatiku agar bisa memeras uang ayah, aku jadi percaya perkataan ayah ... fuuuuuh~ tapi sayang sekali aku sangat mencintai ja**ng ini, bahkan meski kutahu kebenarannya," sambungnya.
"Bung, ja**ng yang kau cintai itu berciuman denganku semalam, dia benar-benar tidak pantas untukmu," ucapku dalam hati.
Kualihkan pandanganku pada langit cerah di atas kepalaku, untuk menenangkan pikiran.
"Kau pantas mendapat wanita yang jauh lebih baik dari dia," gumamku.
"Ya, kuharap demikian," timpalnya yang lalu membuang puntung rokoknya ke tanah, kemudian menginjaknya.
"Hanya itu yang ingin aku katakan, sekali lagi terima kasih, Tuan Harald," pungkasnya.
Aku hanya mengangguk kemudian membuang juga puntung rokokku, lalu menginjaknya.
"Kalau begitu, mari kembali! Aku tidak bisa berlama-lama mencium wangi tubuh wanita itu ..." katanya.
"Hah? Apa maksudmu?" tanyaku bingung dengan perkataannya.
"Wangi tubuh wanita itu sudah menempel di mantelmu ... Kau bersamanya kan, semalaman tadi?" Setelah mengatakan itu, Raphael berjalan terlebih dahulu kembali ke tempat semua orang, meninggalkanku di belakang dengan wajah yang sangat merah karena malu.
Aku langsung memeriksa bau mantelku untuk memeriksanya. "A ... Apakah memang wanginya terlalu pekat sehingga dia bisa menyadarinya?" pikirku dengan butir-butir keringat dingin mulai muncul di keningku.
***
Setelah semuanya siap dan aku serta Tristan sudah berpamitan pada Gremlyn, akhirnya kami memulai perjalanan kami kembali ke Yorksnall.
Seperti yang diduga, selama perjalanan Tristan hanya diam saja. terasa aura galau darinya sehingga bisa langsung tebak bahwa ia masih memikirkan masalah percintaannya.
"Diamnya orang pendiam sih aku tak apa, tapi diamnya orang yang patah hati sungguh menyebalkan!" pikirku dengan gigi yang bergemeretak karena gemas pada pria dewasa ini.
Tiba-tiba ia menoleh padaku dengan ekspresi datar.
"Tuan, kemarin Anda bilang cinta satu malam itu tidak ada yang benar, Saya pikir Anda tidak datang ke tempat seperti itu," katanya yang entah apa yang merasukinya tiba-tiba saja ia berbicara.
"Ya, tentu saja, aku tidak datang ke tempat tidak bermoral seperti itu!" Tegasku dengan sangat percaya diri sembari menggosok-gosok hidungku.
Ia malah menatapku dengan datar, seakan tak percaya dengan ucapanku. "Lalu mengapa bau Anda seperti tercampur dengan wangi wanita? Oh ... Jangan-jangan semalaman Anda diam-diam -"
"DIAM KAU!" Selaku dengan nada suara meninggi. "Ekhm... Sudah kukatakan bahwa aku ada urusan yang harus kuselesaikan-"
"Ya, ya, saya mengerti," selanya sembari menundukkan kembali kepalanya seakan menyuarakan bahwa ia merasa dikhianati.
"Yap, itulah mengapa orang patah hati itu menyebalkan," pikirku.
Aku kesampingkan semua hal yang berhubungan dengan percintaan itu, sungguh membuatku muak dan memusingkan saja. Oleh karena itu, untuk menghiburku, selama sisa perjalanan menuju kota tercintaku, yang kupikirkan adalah bagaimana caraku menghabiskan uang sisa 5,9 juta Hapiah di rekening tabunganku. Memikirkan itu saja sudah membuatku senyum-senyum sendiri. Aku sungguh tak sabar untuk berjumpa dengan uang tercintaku itu.
"YORKSNALL AKU DATANG!!! AKU AKAN MENAKLUKANMU DENGAN UANGKU! HAHAHAHAHAHA," Teriakku dalam hati sambil tertawa yang tentunya juga dalam hati.
***
Satu minggu kemudian.
Setelah uang 100 ribu Hapiahku habis, aku akhirnya memutuskan untuk mengambil uangku di bank. Aku berencana untuk membeli kuda sendiri beserta dengan kereta kudanya yang keren. Aku berangkat dengan riang gembira, hingga ...
"Maaf Tuan, saldo Anda 0 Hapiah, saldo rekening Anda kosong," ucap pegawai bank yang melayaniku.
"APA?!" Teriakku yang begitu menggema sampai pandangan semua orang dalam ruangan itu tertuju padaku.
"I ... Iya Tuan, tabungan Anda sudah benar-benar habis," kata pegawai bank itu dengan gugup, mungkin karena diriku yang tampak tidak percaya dengan apa yang ia katakan.
"A ... Apa? Bagaimana bisa? Aku bahkan hanya mengambil 100 ribu Hapiah, bagaimana bisa uangku langsung habis begitu saja? AKU HANYA MENGAMBIL 100 RIBU LOH, 100 RIBU!" teriakku histeris, masih tak percaya bahwa uangku raib begitu saja, bahkan di bank sekali pun.
"Ka .. Kalau begitu Tuan, biar Saya periksa sebentar transaksi terakhir Anda," pegawai bank itu mulai melakukan inisiatif dan aku harap itu ada suatu kesalahan sehingga sebenarnya uangku masih utuh.
Beberapa saat kemudian, pegawai bank itu kembali, lalu berkata. "Tuan, transaksi terakhir Anda ada pada hari kemarin yaitu penarikan uang sebesar 5,9 juta Hapiah dan itu ditarik menggunakan surat cek yang sudah Anda bubuhi tanda tangan Anda dan tanda tangan itu asli jika anda tanya, sehingga tak ada kesalahan dari pihak bank."
Aku hanya diam mematung mendengar penjelasan pegawai bank itu. Sungguh tak bisa kuberkata karena uang jutaan Hapiah itu lenyap begitu saja dari tanganku. "U ... Uangku ..." gumamku.
"AARRGGGHHHH ... UANGKU #$@#^t#*&@^%&^^*^*&^*%&^$^," aku mengamuk di bank itu sampai akhirnya keamanan menendangku dari sana.
Dengan langkah yang lunglai, aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah kecilku sembari menggumamkan 'kemana uangku, kemana uangku,' seperti orang tidak waras.
"Ah~~~~ Kesialanku belum berakhir ... Eeerrgghh aku harus memburu si Author si***n itu!" gumamku.
***
Sementara itu.
Dahlie di ruangannya sedang menyisir rambutnya di depan cermin sembari tersenyum manis memandangi wajah cantiknya di sana. Setelah itu ia menuliskan sesuatu di atas sebuah kertas berwarna merah muda, kemudian memandanginya sambil senyum-senyum sendiri.
"Terima kasih, tuan Ing ..." gumamnya.
MMMUACH!
Ia mencium kertas itu dengan kuat sampai bekas lipstiknya tertinggal disana. Ia lalu melipatnya dan memasukkannya ke dalam amplop yang juga berwarna merah muda yang sudah ia semprot dengan parfumnya.
Kemudian ia meletakkan amplop itu di atas meja riasnya, lalu pergi meninggalkannya disana.
Bersambung ...
...----------------...
Tristan : Tuan, Kenapa wajah Anda sangat merah sambil membawa tongkat kasti?
Ebert : Mana - si - author - si***an itu?!
Tristan : Entahlah bahkan kami semua tidak ada yang melihatnya semenjak Chapter 8, di Chapter 9 dia sudah hilang.
Ebert : Keh! Beritahu aku jika kau melihatnya!
Tristan : Dia pun pergi, se ... sepertinya dia sedang sangat marah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Imamah Nur
Kupikir Dahlie yang ambil uang itu pakai tanda tangan yang dibubuhkan di kertas, tapi emang bisa begitu?
2023-07-25
0
Sylius
udah cemas...ketar ketir duluan kan? 🤣
2023-06-18
2
Sylius
😌orang kaya...iya..orang sugih duit datang menghampirimu
2023-06-18
2