Saat ini aku sudah berada setengah perjalanan menuju Kota Ringfelsental. Perjalanan menuju kota itu tidaklah terlalu jauh jika dijangkau dengan kereta kuda, mungkin hanya memerlukan waktu setengah hari jika tak ada halangan apa pun.
Perjalanan begitu membosankan hingga beberapa kali tanpa sadar aku tertidur. Kusir yang membawaku ini juga tidak terlalu banyak bicara dan itu sungguh membuatku merasa bosan.
"Hm, sudah jam 2 siang ..." gumamku sembari menoleh kanan-kiriku melihat ke luar jendela untuk memastikan sudah sampai dimana kah aku saat ini.
Kemudian aku kembali pada posisi semulaku karena tersadar bahwa aku tidak tahu jalan, jadi untuk apa aku memastikannya.
"Oi, apakah Kita sudah sampai di kota itu?" teriakku dari dalam kereta pada kusirku itu.
"Em, sebentar lagi tuan, kira-kira 3 jam lagi kita sampai di Ringfelsental," jawab kusir yang sungguh sangat hemat bicara itu.
Mengetahui hal itu, kukira aku akan sampai ke sana kurang lebih jam 5 sore, aku masih memiliki waktu yang sangat panjang untuk bertemu dengan Tuan Gremlyn Mcvoy dan membicarakan pekerjaan yang akan ia berikan padaku.
"Hehehe, lupakan soal pekerjaannya, yang kupikirkan saat ini adalah segepok uang yang sebentar lagi akan ada di genggaman tanganku! Hehehe," ungkapku dalam hati sembari menggosok-gosok kedua tanganku dengan pikiranku yang sudah gelap tertutup oleh uang yang begitu banyak di bayanganku.
Saat aku tengah asyik mengkhayal, tiba-tiba saja kereta kuda yang kunaiki itu berhenti, yang tentu saja hal itu karena kudanya berhenti berjalan.
"Hah?! Ada apa ini?" Aku bertanya-tanya sembari mendekatkan wajahku pada jendela kecil yang mengarah langsung pada tempat duduk kusir kuda di depanku.
Namun kusir itu tidak berbalik untuk menjawab pertanyaanku, pandangannya lurus ke depan karena sepertinya ada sesuatu yang membuatnya terpaku. "Tu ... Tuan, sepertinya Kita ada masalah," ucapnya.
"TURUN!" teriak seorang pria dari luar kereta dengan sangat keras dan menggema serta terdapat penekanan dalam nada suaranya.
Aku mendengar satu orang yang berteriak, tapi kukira di luar sana ada lebih dari seorang yang menghadang kami karena aku juga mendengar sayup-sayup suara orang lain di tengah padang yang luas ini.
Kusir di depanku langsung turun dari kereta karena kurasa mungkin ia merasa ketakutan. Namun tidak denganku, aku masih berada di dalam kereta, belum berencana keluar karena aku ingin tahu terlebih dahulu siapa orang-orang ini.
"Well, seperti yang kupikirkan, kami di kepung oleh bandit," gumamku setelah aku mengintip melalui jendela dan kudapati kereta kuda ini sudah dikepung oleh lima pria bersenjata yang menyeramkan.
Pandanganku langsung mengarah pada tasku. Tas yang berisi barang-barang tidak berharga tapi aku sangat yakin mereka akan merampasnya. "Arrgghh ... Tapi barang itu sangat berguna bagiku!" gerutuku dalam hati.
DUG!
DUG!
Salah seorang dari pria kekar menyeramkan itu menendang pintu kereta dengan sangat keras.
"KELUAR KAU!!" bentaknya dengan wajahnya yang ngeri sudah menempel di kaca jendela kereta.
Entahlah, aku merasa takut atau malah biasa saja, yang jelas aku sangat enggan keluar dari dalam sini karena kutahu jika aku keluar maka lenyaplah sudah semua barang-barang yang kupunya beserta kereta kuda dan kudanya juga tentunya.
Tapi tak sempat aku berpikir akan melakukan apa, tiba-tiba saja pintu dibuka paksa dan orang kekar itu langsung menarikku keluar dengan begitu mudahnya seakan aku hanyalah sebuah koper kosong.
BRUGH!
Tentu saja aku dilempar sehingga mendarat di atas tanah dengan kasar.
Saat itu aku tersadar dan sangat mengerti dengan situasiku saat ini. "Yap, sudah pasti Aku kalah kalau melawan," pikirku sembari menahan rasa sesak setelah tubuhku membentur tanah.
"Ah~ Sungguh kemunculan yang menyedihkan, padahal baru chapter 3, tapi Aku sudah terlihat sangat menyedihkan," gumamku sembari tersenyum simpul dengan mata tertutup.
Aku pun berdiri lalu menyapu-nyapu dan menepuk-nepuk mantel beserta baju bagusku dengan tanganku untuk membersihkannya dari debu dan tanah.
"Ah, kotor," gumamku.
"Woi, kau! Kenapa Kau tampak begitu santai seperti itu? Lihatlah betapa ketakutannya kusirmu ini! Apakah Kau sedang meledek kami hah?!" bentak seorang pria yang tadi melemparku.
"Mungkin dia hanya ingin terlihat keren saja sehingga dia menutupi rasa takutnya!" teriak salah satu rekannya yang membawa golok.
Aku hanya diam, tapi dalam hati aku mengatakan sesuatu. "Sial! Kenapa dia bisa tahu!" batinku.
"AHAHAHAHA, DIA DIAM, BERARTI ITU BENAR!" teriak yang lainnya sembari menertawaiku dengan puas.
Aku hanya diam sembari memperhatikan wajah-wajah bodoh mereka yang menertawakanku. Selain itu, kuperhatikan sekitarku dan memang aku dan kusirku itu dikepung dari segala arah sehingga sangat sulit bagi kami untuk melarikan diri.
"Sudah cukup!" seru seorang pria berpedang yang sepertinya adalah pemimpin mereka karena setelah menyerukan itu, semua orang yang tertawa langsung terdiam. "Woi Kau tidak lihat bagaimana orang ini bersikap? Harusnya Kau juga mengangkat tangan dan menyerah pada kami! Atau Kau ingin merasakan bagaimana tajamnya pedang yang ada di tanganku ini?!" lanjutnya sembari mengacungkan pedangnya padaku.
Karena aku sadar aku hanyalah orang kecil, aku pun melakukan apa yang dikatakan pemimpin bandit itu. "Cih, jika ada koran yang memuat, pasti judul artikel yang sangat menggambarkan aku saat ini adalah 'DITEMUKAN SEORANG PEMERAN UTAMA SEBUAH NOVEL MENYERAH DI TANGAN PEEPSQUEAK! SUNGGUH MEMALUKAN! AKANKAH AUTHOR AKAN MEMECATNYA?' ... Eh, tunggu yang membuatku seperti ini kan si Author si**an itu, mengapa juga dia memecatku?" ucapku dalam hati.
Tapi mungkin karena aku tampak sedang bengong di mata ba**ngan itu, orang yang mengacungkan pedangnya padaku itu mulai menempelkannya pedangnya pada leherku, mungkin dia butuh perhatian.
"Kau kenapa diam hah?! Serahkan semua yang Kau punya!" seru orang itu.
"Kalian itu bandit?" tanyaku dengan polosnya.
Ia lalu menggoreskan pedangnya pada leherku sehingga darah pun mengalir dari goresan itu.
"Kau main-main dengan Kami hah?! Kau meremehkan kami? Lihatlah di sekelilingmu semua adalah pria bersenjata yang kapan saja bisa mencabik-cabik tubuh lemahmu dan kusirmu yang penakut itu! Jadi ketahuilah posisimu saat ini, jika Kau ingin tetap hidup, maka serahkan semua barang-barang kalian dan Kami akan membiarkan kalian bebas! Jika tidak, Kalian hanya akan mati!" tutur pria berpedang itu dengan arogan.
Aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum sinis. "Tuan, sepertinya Kau ini salah sangka, Aku hanyalah orang miskin, begitu pun dengan orang itu, kereta kuda itu juga sewaan dan Aku menyewanya juga dengan cara berhutang, jadi percuma saja kalian mau merampok Kami, buang-buang energi saja," ujarku.
"Hehehehe, tak ada yang tidak berguna, mencegat Kalian sudah pasti minimal kami mendapatkan kereta kuda itu beserta kudanya, tapi Aku ingin lebih! Aku ingin segala sesuatu yang kalian miliki!" ucap pemimpin bandit itu sembari menyeringai padaku. "Lagi pula kau bilang Kau miskin? Lihatlah betapa bagusnya pakaian dan mantel yang Kau kenakan, jika dijual itu akan sangat mahal! Aku tidak percaya ucapanmu!" Lanjutnya sembari melirik pakaian yang kukenakan.
"Kalau pria kecil ini yang bicara baru kami percaya, hahahahahaha," ucap seorang pria di antara gerombolan yang mengerumuni kami sembari menunjuk kusirku yang sampai sekarang aku tidak tahu siapa namanya.
"Baiklah, jika Kalian tidak memili apa-apa untuk diserahkan padaku, tanggalkan semua pakaian yang kalian kenakan dan berlarilah sejauh mungkin seperti seorang pecundang!" ucap pria berpedang dengan nada meremehkan.
"Terutama semua pakaianmu! Mereka terlihat sangat mahal, dan Aku ingin itu!" sambungnya sembari memegangi mantel coklat kesayanganku.
"Lepaskan tangan kotormu dari mantelku!" Seruku yang kali ini tatapanku langsung berubah pada orang ini.
"Kau boleh mengambil semuanya, tapi jangan Kau sentuh mantelku!" Aku sudah mulai menggila saat pria itu memegangi mantel yang kukenakan.
Harus kuingatkan bahwa aku sangat tidak suka apabila orang jahat menyentuhnya dengan tangan kotor mereka yang penuh dengan dosa. Jika hal itu terjadi, aku akan menggila dan bisa saja menghabisi orang itu tanpa ampun.
"Apa-apaan dengan tatapan i -"
GREB!
Tanpa rasa gentar, aku pun mencengkram pedang yang kapan saja bisa menebas leherku itu sampai-sampai telapak tanganku bercucuran darah karena terkena mata pedang yang ternyata sangat tajam itu.
KREK!
PRANG!
Kekuatan cengkeramanku yang begitu kuat membuat pedang itu hancur sehingga leherku bisa terbebas dari ancaman pedang yang sedari tadi mengancamku.
BUAK!
Semua orang tampak terbelalak melihat aksiku. Namun aku tidak menyia-nyiakan saat-saat itu dan dengan sekeras-kerasnya langsung menendang seperangkat telur dan sosis diantara paha pemimpin bandit itu sehingga ia pun menjerit kesakitan.
"AAARRGGHHHHHH!!!!" teriaknya dengan sekeras-kerasnya sembari memegangi bahan makanan di bagian bawah perutnya.
Bukannya langsung menyerbuku, semua bawahannya dengan bodohnya malah menghampiri pemimpinnya yang sedang kesakitan setengah mati setelah ku habisi adiknya.
"Untung mereka bodoh," batinku.
Melihat kesempatan itu dengan cepat, aku langsung berlari menuju kusirku yang tampak sangat terkejut melihat aksiku dengan mulut menganga. Ku tarik tangannya dan ku ajak dia berlari secepat-cepatnya menjauh dari bandit-bandit itu.
DRAP
DRAP
DRAP
Kami berlari begitu sangat cepat. Kusir ini sungguh payah, jika bukan karena aku menariknya, ia mungkin akan berlari dengan sangat lambat.
"Ku ... Kudanya!" ucap kusir di tengah pelarian kami.
"Tak usah pikirkan kudanya! Kita berlari saja!" seruku.
Kami berlari cukup jauh, saking jauhnya aku merasa bandit-bandit itu sudah kehilangan jejak kami sehingga akhirnya kami pun berhenti berlari.
"Hah ... hah ... hah ..." Kami pun berhenti untuk mengatur napas kami yang sudah terengah-engah karena berlari cukup jauh tanpa berhenti.
"Ah~ Dasar sial?!" gerutuku setelah merasa cukup kuat untuk mengeluh.
"Tuan, Kita meninggalkan kereta kuda dan kudanya di sana, bagaimana Mita akan menjelaskannya pada tuan Philip nanti?" ucap pria itu dengan tampang yang begitu khawatir.
"Hah? Philip? Siapa itu?" Aku sungguh tak tahu si pemilik nama itu.
"Pemilik rental yang berdebat dengan Anda itu," jawabnya.
"Oh si pelit itu ..." Hanya itu reaksiku. Aku memang baru tahu nama pria pelit itu dari pegawainya ini.
"Tuan, Anda lebih marah saat dia menyentuh mantel anda dari pada saat mengetahui bahwa mereka akan merampas kereta kuda Kita, Anda sungguh tidak masuk akal!" komentarnya yang akhirnya mengeluarkan banyak kata setelah ia selama perjalanan tadi hanya diam saja.
"Well, kereta kuda beserta kudanya itu bukan milikku, untuk apa aku meratapinya! Tapi mantel ini ... Ini milikku dan aku akan melindungi apa yang menjadi milikku!" seruku dengan rasa bangga dan sok yang tergambar di wajahku.
"Oi Tuan, apa Anda lupa bahwa barang-barang MILIK Anda yang lainnya juga berada dalam kereta yang mereka rampas?" tanya pria itu dengan sinis.
Aku diam membeku mendengar itu karena memang aku baru menyadarinya. Itu membuatku makin malu karena mengingat semua yang kulakukan di dalam kereta itu hanyalah memandangi barang bawaanku saja tanpa sempat memikirkan cara untuk membawanya bersamaku.
Tapi penyesalan itu tidak berlangsung lama setelah kuingat tidak semua barangku tertinggal di kereta itu.
"Hehehe, Aku tidak kehilangan begitu banyak kok ... Jeng jeng!" Kutunjukan amplop berisi sisa uang yang sangat sedikit itu dari saku di dalam mantelku tepat di depan muka kusir itu.
"Aku masih punya uang! Hehehehe, asal masih ada benda ini aku tidak peduli dengan benda lainnya!" sambungku dengan riangnya.
"Pantas saja dia sangat marah saat bandit itu memegang mantelnya," gumam kusir itu.
"Tuan, bagaimana jika Anda pikirkan saja bagaimana cara Anda mengganti rugi pada Tuan Philip atas hilangnya kereta kuda beserta kuda miliknya itu, Saya yakin jumlahnya tidak akan sedikit," ucapnya padaku.
"Ah, Kau benar! Well, bagaimana pun juga Aku tidak akan membuat pria pelit itu memegang sisa uangku yang sangat sedikit ini ... Sudahlah, yang lebih penting sekarang adalah Kita pikirkan saja cara untuk sampai ke penginapan itu!" ungkapku sembari memasukkan kembali amplop yang berisi uang itu ke dalam saku bagian dalam mantelku.
Tanganku yang terluka karena pedang tadi mulai terasa nyeri. Aku baru merasakannya sekarang setelah dari tadi aku hampir saja tidak merasakan apapun. Sadar-sadar aku baru melihat bercak darah di mantelku bekas tadi saat aku mencari amplop itu di dalamnya.
"Ah, Anda akhirnya sadar juga dengan luka itu," ucap kusir itu yang memandangiku tengah diam meratapi luka yang cukup dalam itu.
Ia lalu merobek lengan bajunya yang panjang, lalu menjadikannya perban sementara untuk telapak tanganku.
"Terima kasih!" ucapku sembari menaikan kedua alisku.
Dia hanya mengangguk sembari menyelesaikan memerban tanganku.
Pria ini memang tidak banyak bicara, tapi dia orang yang sangat baik. Dia ini tipe orang yang tidak banyak bicara tapi banyak bekerja, sungguh sangat efisien dari pada orang yang banyak ba**t.
"Well, Kau pasti masih tahu jalan untuk kesana kan? Jadi jika dengan berjalan kaki, berapa jam lagi Kita akan sampai ke kota Ringfelsental?" tanyaku setelah lukaku tertutup dengan sempurna.
"Well, mungkin 6 jam jika Kita tidak beristirahat," jawabnya.
"6 jam ya ..." gumamku sembari melihat jam tanganku untuk memperkirakan jam berapa kita akan sampai di kota itu.
"AH! KITA TIDAK PUNYA WAKTU LAGI! AYO CEPAT KITA HARUS BERGEGAS!" teriakku yang seketika panik setelah memperkirakan kami akan sampai di tempat yang dijanjikan pada sekitaran tengah malam.
"Tunggu dulu! Aku tidak bisa memanggilmu sebagai kusir lagi mengingat sekarang Kau sudah tidak berkuda ... Jadi, siapa namamu?" tanyaku yang akhirnya terpikir untuk bertanya sesuatu yang penting pada teman perjalananku ini.
"Tristan, Tuan," jawabnya dengan tegas.
"Baiklah kalau begitu Tristan, ayo Kita bergegas menuju ke sumber uangku!" seruku dengan semangat berjalan di depannya.
Di mulai dari sini, aku dan Tristan pun melanjutkan perjalanan kami dengan berjalan kaki.
Bersambung ...
...----------------...
Author : Tenang, tenang aku tidak akan memecatmu kok.
Ebert : Tentu saja! Pasti karena aku sangat berguna disini dan cerita ini tidak akan jalan tanpa adanya aku kan.
Author : Bukan, bukan! Tapi karena aku masih belum puas mengerjaimu!
Ebert : APA?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Radiculous😸😸
Kerjain aja thor sampe dia mengering🤣
2023-10-28
1
Radiculous😸😸
Tuh tahu sendiri
2023-10-28
1
Radiculous😸😸
Wah, logis sekali😂
2023-10-28
1