Sudah 3 hari aku mengurung diri di kamar. Aku benar-benar syok kehilangan uang yang begitu sangat besar itu hanya dalam waktu semalam. Selama itu aku terus memikirkan mengenai apa yang terjadi dan bagaimana itu bisa terjadi.
Saat ini aku duduk di sofa yang menghadap ke jendela kamarku, tempat yang kuerami selama 3 hari ini untuk merenungi masalah itu.
"AAARRRGGHHH ... BA****AN YANG MENGAMBIL SEMUA UANGKU ITU BR****EK?!" Teriakku yang membuat seisi ruangan dipenuhi oleh suara amarahku.
Setelah merenung cukup lama, aku akhirnya menyimpulkan sesuatu mengenai si br****ek itu. Aku ingat-ingat setiap hal yang terjadi selama di aku melakukan pekerjaan itu dan semua pemikiranku langsung tertuju pada beberapa orang yang mengetahui tentang pekerjaanku ini, yaitu Tristan, Gremlyn, Raphael, dan Dahlie.
Namun setelah itu aku berpikir lagi untuk menyaring kemungkinan-kemungkinan. Satu-satunya petunjuk yang kupunya adalah perkataan pegawai bank itu, ia memberikan sebuah nama padaku, yang mana itu adalah nama dari orang yang mencairkan cek itu.
"Ivony Scott ... Itu nama orang yang mengambil uangku! Si**an! Aku sungguh sangat asing dengan nama itu ... Bagaimana dia mendapat tanda tanganku? Aku sangat ingat sekali kalau aku tidak pernah menandatangani apa pun selama di kota itu ... Kecuali ... AH!" Seketika aku teringat kembali akan sesuatu yang kulakukan terakhir kali disana, yaitu menandatangani bukti pembayaran pada Dahlie.
"AH! PASTI WANITA ITU! PASTI DAHLIE YANG MENGAMBIL SEMUA UANGKU!" Teriakku yang dipenuhi dengan amarahku yang bergejolak.
BUAK!
Aku bangkit dari sofa yang sudah kuerami selama 3 hari itu, lalu kupukul dengan kuat tembok terdekat denganku.
"Wanita itu ... Dia memiliki banyak identitas, pasti dia yang melakukannya, Keh! Dasar wanita licik! Dasar rubah! DASAR JA**NG SI**AN! -#$_&@" Aku terus mengumpat dan menyumpah-nyumpahi wanita penggoda itu.
Setelah puas, aku pun diam sembari mengatur napasku agar pikiranku kembali tenang sehingga bisa berpikir dengan jernih.
"Huh~ Aku akan menemuinya lagi dan membawa kembali uangku! Aku harus mengumpulkan kembali perbekalan dan kembali kesana secepatnya meski harus berjalan kaki sekalipun!" Setelah tenang, aku mulai menata kembali jalan pikiranku dan membulatkan tekadku.
Setelah ku tenangkan otakku, tiba-tiba saja aku merasakan angin berhembus menerpa wajahku dari arah depanku.
Entah saking kuatnya pukulanku tadi atau karena memang dinding tembok rumah ini sudah sangat rapuh, saat kusadari ternyata dinding yang kupukul itu bolong sebesar kepalaku.
"Lu ... Lubang?! Eeerrgghh ... Se-bobrok apa sih rumah ini? dipukul sedikit saja sudah bolong!" Keluhku sembari menjambak rambutku sendiri karena tak habis pikir dengan kesialan yang menimpaku bertubi-tubi ini.
Karena sudah capek uring-uringan, dengan berlapang dada akhirnya aku pergi ke gudang untuk mengambil beberapa peralatan untuk menambal lubang yang tak sengaja kuciptakan tadi.
***
Setelah selesai menambal lubang di tembok kamarku itu, akhirnya untuk pertama kalinya setelah 3 hari aku mengurung diri di kamar, aku pun pergi ke luar.
Tujuanku keluar adalah tentu saja untuk mencari orang yang membutuhkan bantuanku dan tentu mereka harus membayar untuk itu.
Setelah sekian lama berkeliling dengan tekad yang begitu besar, aku mendapatkan beberapa pekerjaan serabutan dari orang-orang yang membutuhkanku. Aku memalu, mengecat, mencabuti rumput, membenarkan atap rumah, memandikan kucing, menangkap ayam peliharaan yang lepas, dan membujuk seorang bocah untuk pulang ke ibunya kerena terlalu asyik bermain.
Aku melakukan semua pekerjaan itu seharian ini hingga akhirnya uangku terkumpul 530 Hapiah. Jumlah uang yang bahkan untuk menyewa si wanita penggoda itu pun tidak cukup.
Sekarang hari sudah malam, tepatnya pukul 11 malam. Aku baru saja selesai menyisir rambut seorang bocah perempuan yang tak mau pulang ke rumah karena ia kekeh masih ingin bermain bersama temannya, dia baru mau pulang dengan syarat aku ikut bermain salon-salonan bersama bocah-bocah perempuan itu di dalam sebuah rumah-rumahan sederhana yang mereka buat dari beberapa lembar kain yang diikat pada sebuah pohon di taman.
"Heh? Sedang apa aku saat ini?" pikirku yang diam terpaku sambil memegang sebuah sisir di tanganku di tengah-tengah permainan bocah-bocah perempuan itu.
"Kak, kau payah sekali menata rambutnya! Masa kau menata rambutku seperti ini?" protes bocah perempuan yang baru saja ku sisir rambutnya.
"Hah? APANYA YANG ANEH HAH?! AKU HANYA MENYISIR RAMBUTMU, BAGAIMANA BISA RAMBUTMU JADI JELEK?" aku memprotes balik bocah itu.
"Eh, eh, jeng ... Salon itu pegawainya galak sekali ya, mana dia menata rambutnya tidak becus lagi ... " Temannya mengkritikku seakan mereka adalah tante-tante bermulut pedas yang benar-benar sedang mengkritik pegawai salon sungguhan.
"Iya ih, jeng, padahal wajahnya tampan, tapi kenapa dia tidak bisa membuat pelanggannya jadi cantik atau tampan juga? Jangan-jangan wajah gantengnya itu palsu, hanya topeng saja ... Hih ... " Timpal bocah yang satunya, kompak mengkritik apa yang kulakukan.
"Oi! Wajahku ini sudah ganteng sejak lahir, tahu!" protesku setelah mendengar kritikan pedasnya.
"HAHAHAHA ..." Kudengar bocah satunya yang tadi rambutnya kusisir itu malah tertawa kegirangan melihat aku yang kesal dengan perkataan bocah-bocah yang asal bicara itu.
"Kenapa kau tertawa, bocah!" ucapku beralih pada gadis kecil yang tertawa di depanku itu.
Alih-alih diam, malah teman-temannya juga ikut menertawakanku bersamanya.
"He ... Hei! Kenapa kalian semua tertawa? Apa yang lucu?" Sambil clingukan seperti orang bodoh, aku memperhatikan ketiga bocah perempuan itu dengan wajah bingung.
Bocah yang tadi kusisir rambutnya itu menghapus air matanya yang keluar karena ia terlalu keras tertawanya. "Aduh, Tuan, menyenangkan sekali bermain denganmu ... hahaha," ucapnya.
"Ha aku tidak sedang ber-"
Baru saja aku hendak mengatakan protesku, Ia lalu menggandeng tanganku dengan tangan kecilnya, lalu berkata lagi. "Ayo pulang! Sekarang kita sudah selesai mainnya!"
"Akhirnya ... Baiklah, kalau begitu kita pulang setelah kita bereskan semua ini dan mengantar kedua bocah ini pulang ... Aku tidak bisa membiarkan bocah-bocah cilik ini pergi keluyuran seorang diri di malam yang sudah larut ini! Sangat berbahaya!" Seruku.
Setelah selesai membereskan apa yang mereka bangun di taman, kakak dari kedua bocah yang tadi bermain bersama anak dari orang yang menyewaku itu akhirnya datang dengan tampang khawatir untuk menjemput mereka. Sepertinya ketiga anak ini memang pergi tanpa mengatakan akan pergi kemana sehingga membuat semua orang khawatir.
"Hah~ Ada-ada saja ... Mengapa bocah-bocah ini main sampai tidak ingat waktu sih?" gumamku sembari memperhatikan ketiga orang yang sudah pergi menjauh itu.
Melihat mereka sudah pergi, aku pun akhirnya mengantar anak dari orang yang menyewaku itu pulang setelah selama 2 jam aku bermain bersama mereka.
Jarak antara taman dengan rumah anak ini cukup jauh. Aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa pergi sejauh itu, padahal mereka bertiga baru berumur 8 tahun.
"Tuan, Tuan, Apakah kau sedang berada dalam masalah? Oh, oh, atau kau sedang bermasalah dengan orang lain?" Tanya bocah itu tiba-tiba.
Aku melirik padanya, lalu berkata. "Hah? Apa maksudmu?" Tanyaku, tak mengerti dengan perkataannya.
"Raut wajahmu begitu tidak enak dilihat, kau tampak kesal saat menemani kami bermain," jawabnya dengan polos.
Aku meliriknya, lalu berkata. "Hm, well ... Kau benar, aku saat ini sedang sangat kesal pada seseorang yang begitu menyebalkan, dia mencari masalah denganku sehingga selama beberapa hari ini aku merasa sangat kesal dan marah ..." entah mengapa aku lancar sekali mencurahkan isi hatiku pada bocah perempuan ini.
"Hoo, aku juga pernah sekesal itu," ucapnya dengan senyum polosnya memandangku.
"Hah, kau masih kecil, apa sih masalah kalian, palingan cuman perebutan siapa yang paling cantik, boneka siapa yang paling bagus, kan," timpalku dengan malas.
"Ck, ck, ck, Kau salah paham, Tuan, masalah anak kecil tidak se-sederhana itu, hah~ dangkal sekali pikiranmu ..." ucap anak ini sambil geleng-geleng kepala seakan berkata 'kau ini tidak bisa diharapkan, Tuan.'
Aku hanya diam mendengarkan, menunggu bocah ini selesai berbicara.
"Aku punya saran untukmu agar orang yang membuatmu kesal itu tidak membuatmu kesal lagi," ucapnya yang terdengar seperti sedang menasehatiku.
"Hoo ... Apa itu?" tanyaku ingin mengetahui apa yang dipikirkan seorang anak kecil untuk mengatasi masalah seperti itu.
"Balas orang itu dengan kesakitan yang luar biasa sehingga dia tidak berani lagi memandang kita, hehehehe," jawab anak itu sambil menyeringai ngeri seperti seorang psikopat.
"Woi!" aku sungguh terkejut dengan pemikiran bocah ini yang entah dari mana ia mendapat pelajaran seperti itu.
"Well, saran yang bagus ... Sepertinya aku juga harus melakukannya pada orang itu," timpalku.
"Ya! Aku harus melakukannya pada wanita penggoda itu agar ia tidak berani macam-macam padaku lagi di masa depan," ungkapku dalam hati yang entah mengapa semakin termotivasi setelah anak itu mengatakan itu.
"Hahaha, Tuan kau tersenyum! Apakah apa yang ku katakan mengispirasimu?" kedua mata anak itu berbinar sembari memandangiku yang sebenarnya tidak sadar bahwa aku tersenyum.
"Tidak! Kau terlalu percaya diri, bocah!" elakku.
"Tak apa, yang penting Aku tahu kalau wajahmu lebih ganteng kalau sedang tersenyum," ucapnya sambil tertawa sampai kedua matanya menyipit.
"Mau bagaimana pun wajahku tetap tampan kok," ucapku sembari tersenyum pada anak itu.
Berbicara dengan seorang bocah kecil seperti ini membuatku melupakan sekejap amarahku yang selama ini menyelimuti hati dan pikiranku.
"Bocah polos ini pandai sekali mengubah suasana hati seseorang," pikirku.
Tak lama, kami pun sampai di depan rumah bocah perempuan ini. Ibunya yang merupakan seorang janda sudah menunggu kami di depan rumah sembari memasang wajah masam pada bocah perempuan itu.
"WAH! TUAN! SELAMATKAN AKU!" teriak bocah itu sembari melompat bersembunyi ke belakangku setelah melihat ekspresi ibunya yang tampak sangat siap untuk memarahinya.
"Selamat malam, Nyonya, Saya sudah membawa putri Anda kembali ..." ucapku dengan santai setelah kami berada tepat di depannya.
Kami pun berbincang sebentar dengan bocah itu terus berdiri di belakangku sembari menggenggam erat mantelku. Aku membujuk ibunya agar ia tidak memarahi bocah itu, untungnya dia mengerti dan mengatakan bahwa ia tidak akan memarahi anak itu, tapi tetap memberinya hukuman agar bocah itu tidak pergi sampai malam seperti tadi.
Setelah aku mendapat bayaran dari janda itu, aku pun berpamitan pulang pada mereka berdua, lalu melanjutkan langkahku untuk kembali pulang untuk beristirahat karena besok aku masih harus berkeliling mencari orang yang membutuhkan jasaku.
"Balas orang itu dengan kesakitan yang luar biasa sehingga dia tidak berani lagi memandang kita kah ... Hm, perkataan anak itu memberiku inspirasi untuk membalas pada wanita itu ..." pikirku, mengingat kembali apa yang bocah perempuan itu katakan padaku.
"Keh! Aku sudah sangat tidak sabar untuk pergi ke tempat itu lagi, mengambil uangku kembali dan tentu saja memberi wanita cantik itu pelajaran!" ungkapku dalam hati di tengah perjalanan pulang.
***
Setelah 3 hari bekerja serabutan kesana-kemari, akhirnya uang yang kudapatkan terkumpul cukup banyak sehingga cukup untuk aku pergi menemui wanita itu kembali dan melancarkan semua rencanaku.
Namun, saat sampai di rumah bordil itu, aku mendapatkan kejutan yang sangat mencengangkan.
"Oh, Tuan, nona Jasmine sudah tidak berada disini lagi," ucap pelayan yang melayaniku.
"A ... Apa?! Kau bercanda kan!" Aku sungguh tak percaya dengan apa yang kudengar ini.
"Tidak, Tuan, saya bersungguh-sungguh ... Em, tapi tenang saja Tuan, disini masih banyak wanita yang lebih cantik dan menggoda yang bisa membuat Anda puas," jawab pelayan itu.
"TIDAK! YANG AKU INGINKAN ADALAH WANITA ITU! AKU INGIN WANITA ITU!" Bentakku.
"Tidak bisa, Tuan, Nona Jasmine sudah tidak disini lagi, dia sudah menebus dirinya dengan sejumlah uang sehingga ia bisa pergi," tutur pelayan itu, yang berusaha setenang mungkin meladeniku.
Ia tersenyum, lalu sedikit tersentak beberapa saat kemudian. "Oh, Tuan, apakah Anda ini Tuan Ing?" Tanyanya untum memastikan.
"Hah? Tuan Ing?" Aku mengingat-ingat panggilan itu dan langsung teringat pada Dahlie yang bersikeras untum memanggilku dengan panggilan menggelikan itu.
"Ya, itu panggilanku!" jawabku dengan tegas. "Apakah dia menitipkan pesan yang ingin disampaikan padaku, hah?" Tanyaku.
"Oh Baiklah ... Akhirnya Anda datang juga ... Sebenarnya iya, nona Jasmine menitipkan pesan pada saya bahwa ketika Anda datang lagi kesini, maka Anda disuruh untuk datang ke kamarnya," jawabnya.
"Tuh kan! Kau tadi berbohong kan? Dia sekarang pasti masih berada disini kan?" simpulku yang sedikit lega mengetahui hal itu.
Tapi pelayan itu menggelengkan kepala, lalu berkata. "Tidak Tuan, Saya tidak berbohong, dia memang sudah pergi dari tempat ini setelah ia menebus dirinya sendiri."
"Mari Tuan, Saya antarkan Anda ke kamar nona Dahlie ..." pelayan itu lalu berjalan di depanku, menunjukkan jalan menuju kamar tempat aku dan wanita itu bertemu.
"Eeerrgghhh ... Si Dahlie ini ... Apa lagi yang dia inginkan? Membuatku makin kesal saja!" Gerutuku dalam hati sembari mengikuti langkah pelayan itu di belakangnya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Imamah Nur
Dikasih tahu authornya yang resek 😁
2023-07-25
0
Pink Blossom
mmndikn kucing?? aman gk tuh bang😁
2023-05-20
1
Pink Blossom
wkwkkk jd yg ambil ivony ap dahlie 🤦🏼😅
2023-05-20
1