Saat ini hari sudah malam. Ini sudah waktunya aku menemui Dahlie di rumah itu. Kulihat Tristan juga sudah terlelap, mungkin karena dia sudah terlalu lelah merasakan patah hati selama harian ini.
"Ck, ck, ck, pria malang ... Jatuh cinta itu memang merepotkan!" gumamku sembari menggelengkan kepala memandangi Tristan yang sedang tidur sebelum kututup pintu kamar.
Setelah itu aku pun pergi meninggalkan penginapan untuk bertemu dengan Dahlie di tempat yang tak akan kudatangi lagi di masa depan itu.
***
Saat aku sampai di tempat itu, seorang pelayan menghampiriku yang tampak seperti anak hilang ketika masuk ke dalam tempat pria dewasa bersenang-senang.
Ia sepertinya mengenaliku, karena ia langsung saja menyuruhku untuk mengikutinya menuju sebuah ruangan dimana Jasmine menungguku.
"Silakan, Tuan, nona Jasmine sudah menanti Anda di dalam ... Kalau begitu, Saya permisi," kata pelayan itu dengan sopan meninggalkan aku sendiri di depan pintu yang sungguh tak asing bagiku. Ini kedua kalinya berada di tempat ini, tapi meski begitu, tetap saja aku merasa gugup.
Tanpa menunggu lama, aku membuka pintu ruangan itu. Ketika ku buka pintu aku langsung disambut oleh harum semerbak bunga Dahlia yang menenangkan dan sebuah pemandangan yang begitu sangat indah di dalamnya. Dahlie duduk di ujung tempat tidur menghadap padaku dengan rambut hitamnya yang terurai serta dengan tubuhnya dibalut oleh pakaian panjang dan dengan wajahnya yang begitu cantik mempesona, serta bibir merahnya yang tersenyum manis itu menyambut kedatanganku di bawah sinar kuning remang-remang ruangan yang menimbulkan kesan yang sangat luar biasa saat aku melihat sosoknya.
Penampilannya tidak seperti saat pertama aku masuk ke sini yang mana ia berdandan dan berpakaian dengan sangat sensual untuk menyambutku, saat ini ia menyambutku dengan keanggunan dan kecantikan yang luar biasa sehingga tak mungkin aku tega untuk merusaknya.
Aku pun memasukkan seluruh tubuhku ke dalam ruangan itu, lalu menutup pintunya kembali.
Ia tidak mengatakan apa pun selain menunjukkan senyum manisnya padaku, seakan ia menungguku untuk memulai pembicaraan.
Dan entah mengapa, kali ini aku mendekatinya dengan suka rela tanpa ia harus menggodaku terlebih dahulu.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku yang sekarang sudah duduk di sebelahnya.
"Saya baik-baik saja, Tuan, tentu saja berkat Anda mengobati luka-luka Saya ..." jawabnya dengan tanpa memudarkan senyumnya yang manis. "Saya ... Saya sangat senang Anda perhatian pada Saya, Tuan ..." Sambungnya dengan malu-malu dengan pipinya yang merona dan mata indah beriris hijau kebiruan bak batu emeraldnya yang berbinar.
Aku hanya diam sembari memandangi keindahan ciptaan Tuhan ini. Bagaimana bisa ada wanita yang secantik ini dan aku tidak pernah melihat yang seperti ini - eh pernah deh, istrinya William juga sangat cantik. Ku ganti saja ... dan aku tidak pernah melihat wanita cantik lajang yang seperti ini.
Ia tampak malu sendiri saat aku memandangnya tanpa bersuara dan itu membuatnya semakin terlihat imut, aku sungguh menikmatinya.
Tiap kali ku lihat wajahnya, tatapanku langsung tertuju pada bibir merah yang indah itu. Bibir itu seakan ingin diperhatikan karena ia terlalu menonjol dibandingkan dengan yang lainnya.
Tidak tahu kenapa kepalaku bergerak sendiri mendekati bibir indah itu, sepertinya ini karena bibirku ingin bereuni dengan miliknya yang menggoda itu.
"Tu ... Tuan, Apakah Anda sudah mulai tertarik pada Saya," bisiknya dengan suara yang menggoda, tepat sebelum bibirku menyentuh bibirnya.
Mendengar bisikannya, aku langsung menghentikan apa yang akan kulakukan.
"TUNGGU DULU?! INI TIDAK BENAR!" aku langsung menjauh dan seketika pikiranku kembali jernih.
"Tuan, kenapa?" tanya wanita itu dengan raut wajah yang tampak kecewa.
"Ekhm ... Tidak apa-apa, maaf ... Well, kalau begitu langsung saja selesaikan urusan kita, aku akan membayarmu, lalu pergi!" kataku yang sungguh sangat malu dengan apa yang hampir saja kulakukan pada wanita ini.
Aku lalu mengeluarkan uang yang sudah aku pisahkan untuknya di saku bajuku. "Ini, 650 Hapiah, sesuai dengan perjanjian kita," ucapku sembari menyodorkan uang itu padanya.
Ia menerima uang itu dengan senang hati. Ia memandangi uang itu, lalu kembali beralih padaku. "Tuan, jumlah uang ini adalah bayaran Saya untuk menghibur Anda, bukan untuk membantu Anda menyelesaikan pekerjaan Anda ..." ucapnya.
"Kenapa? Masih kurang, hm?" tanyaku. "Bukannya aku tidak memakai jasa mu yang 'itu'? Untuk apa aku membayar lagi?" protesku.
Wanita itu tertawa sembari memasukkan uang itu ke sela-sela antara pakaiannya dengan dadanya karena memang di bagian itu tampak ketat dan sesak sehingga jika menyelipkan sesuatu disana pun tidak akan terjatuh.
"Saya tidak mengatakan kalau uang ini kurang, Saya hanya tidak enak saja menerima uang ini sedangkan Saya belum benar-benar menghibur Anda seperti yang seharusnya ..." ucapnya sembari tertawa menggeser tubuhnya mendekat padaku sehingga paha kami bersentuhan.
Merasa tidak nyaman, aku pun menggeser tubuhku menjauh darinya hingga sampai pada bagian paling ujung tempat tidur yang kami duduki. "Tidak usah, aku tidak perlu hiburan, satu-satunya yang bisa menghiburku adalah uang!" tegasku dengan sepenuh hati tanpa melirik padanya.
Tapi dia tidak menyerah, ia mendekatkan diri lagi padaku, lalu memeluk lenganku dengan erat sehingga lenganku diapit oleh dua gundukan bulat besar yang sangat empuk.
"Apakan Anda yakin, Tuan? Karena setelah Anda keluar dari ruangan ini, Anda harus membayar lagi jika ingin Saya menghibur Anda," ucapnya dengan nada menggoda dan semakin mengeratkan pelukannya itu.
Tak sengaja aku melirik pada lenganku yang ia peluk itu dan kedua mataku seketika terbelalak ketika aku melihat gundukan yang sangat besar dan indah itu terpampang jelas di depan wajahku. Tapi aku langsung sadar diri sehingga dengan cepat aku mengalihkan pandanganku ke arah lain agar pikiranku tidak semakin kotor.
Namun, alih-alih merasa tenang, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang tegak, tapi bukan keadilan di bagian bawah dari tubuhku.
"S**l! Aku tidak bisa berpikir tenang lagi, wangi tubuhnya dan harum ruangan ini mengacaukan pikiranku sehingga mungkin aku akan kehilangan kendali terhadap wanita ini," pikirku yang terus mencoba menjernihkan pikiranku agar tetap waras. "AKU HARUS KELUAR DARI SINI!"
Dengan paksa aku membebaskan lenganku dari pelukannya, lalu berdiri menjauh darinya dengan kepala yang sangat panas tanpa mau melihat pada wanita itu.
"Aku sangat yakin, aku tidak perlu kau hibur!" tegasku.
"Karena urusan kita sudah selesai, jadi aku akan pergi!" Lanjutku sembari berbalik untuk keluar dari ruangan itu.
Akan tetapi, saat aku hendak keluar, wanita itu menghentikanku.
"Tuan, tunggu sebentar! Ada sesuatu yang Saya lupakan!" panggil wanita itu di belakangku.
Karena penasaran, aku berbalik tapi masih tetap enggan untuk melihatnya. Ia menghampiriku lalu menyerahkan 3 lembar kertas kecil dan sebuah pena.
"Apa ini?" Tanyaku penasaran.
"Ini tanda bukti bahwa anda sudah membayar Saya," jawabnya. "Well, bukannya zaman sekarang segala sesuatu harus ada buktinya? Jadi ini memang prosedur disini, tiap kali ada yang membayar, maka harus ada tanda buktinya," sambungnya.
Aku memperhatikan dengan seksama kertas itu untuk memastikan dan ternyata memang benar itu hanyalah kertas yang berisi tanda bukti pembayaran saja.
"Lalu untuk apa pena ini?" Tanyaku.
"Kita berdua harus membubuhkan tanda tangan beserta nama jelas kita di kertas itu agar bukti pembayaran ini sah," jawabnya.
"Aku hanya perlu tanda tangan saja?" Tanyaku untuk memastikan.
Wanita itu mengangguk mengiyakan perkataanku.
Setelah itu aku pun langsung menanda tangani ketiga kertas itu, lalu menyerahkannya kembali pada Dahlie agar ia juga bisa menandatanganinya.
Setelah selesai menandatangani kertas itu juga, tak lupa ia menuliskan nominal uang yang kuberikan padanya. Ia memperhatikan sebentar salah satu kertas itu, lalu tersenyum lebar.
"Inglebert Ivory Harald ..." Ia mengucapkan namaku sembari memandangiku. "Tuan, jadi itu nama Anda ... Sangat menggambarkan sekali sosok Anda," sambungnya.
Aku hanya diam sembari memperhatikan apa lagi yang akan dia katakan.
"Bolehkah Saya memanggil Anda, Tuan Ing?" pintanya.
"Orang-orang memanggilku Ebert, jadi kau juga memanggilku seperti itu," jawabku.
Wanita menggeleng dengan pelan, lalu berkata. "Tidak, Saya tidak mau seperti yang lainnya! Saya ingin panggilan dari Saya berbeda dari yang lainnya."
"Hah~ terserah kau saja, yang jelas aku ragu di masa depan kita akan bertemu lagi, jadi aku tidak terlalu peduli," timpalku dengan malas.
Ia lalu memberikan salah satu dari ketiga kertas itu padaku sebagai bukti pembayaran sehingga tak akan ada kesalahpahaman di masa depan.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi -" ucapanku terjeda setelah ku masukan tanda bukti pembayaran itu ke dalam saku bajuku karena seketika aku teringat akan mantelku yang kupinjamkan padanya kemarin.
"Oh sebelum itu, tolong kembalikan mantelku!" pintaku pada wanita itu.
Ia tersenyum, lalu berjalan menghampiri lemari pakaiannya dan mengeluarkan mantelku yang sudah tampak sangat rapi itu.
"Saya kira Anda akan melupakannya, tadinya Saya akan menyimpan mantel Anda itu sebagai kenang-kenangan jika Anda benar-benar melupakannya," ucapnya.
"Hahaha, tidak, aku tidak akan pernah melupakan mantel kesayanganku ini!" timpalku sembari memakaikan mantel itu pada tubuhku.
"Em ... mantel ini sekarang sangat harum, sama seperti harum tubuh wanita itu! Sepertinya ia mencucinya dengan baik, lalu menyemprotkan parfum yang ia gunakan pada mantelku ini," pikirku setelah ku kenakan mantel itu dan setelah itu langsung mencium wangi yang teramat sangat.
"Sekarang benda kesayangan Anda sudah tercampur dengan wangi Saya sehingga tiap kali Anda memakai mantel itu, maka Anda akan mengingat Saya," kata wanita itu sembari tersenyum penuh arti.
"Tenang saja, dalam beberapa hari aku yakin wangimu akan hilang dan aku tidak perlu repot-repot teringat akan wanita menyebalkan sepertimu!" ucapku yang penuh dengan keyakinan. "Baiklah, kalau begitu, aku pergi!" sambungku pada akhirnya.
Namun, saat aku hendak beranjak pergi, wanita itu menarik tanganku dengan kuat sehingga wajahku mendekat padanya, kemudian tanpa aba-aba ia langsung mencium bibirku dengan lembut dan berulang sehingga aku yang merupakan seorang pria normal pun sudah tidak bisa menahan lagi. Ku raih pinggang ramping wanita itu lalu menariknya sehingga tubuh kami sangat dekat, lalu membalas ciumannya itu. Kami berciuman cukup lama hingga akhirnya berhenti saat kami mulai kehabisan napas.
"Hah ... Maafkan Saya ... Saya terbawa suasana ... hah ... Tuan Ing ... Saya hanya merasa sedih memikirkan bahwa Anda benar-benar akan pergi," ucap wanita itu dengan napas yang tersengkal-sengkal setelah bibir kami terpisah satu sama lain.
"Hah ... Maafkan aku, aku juga terbawa suana, anggap saja itu sebagai tanda perpisahan ... hah ..." timpalku dengan kepalaku yang makin panas ini.
Aku berdiri, lalu pergi menuju pintu untuk keluar dari ruangan itu. Namun, saat tanganku sudah meraih gagang pintu, aku melirik sebentar ke belakang, lalu berkata. "Selamat tinggal, Dahlie Scottlyn Elaorine."
Setelah itu aku langsung pergi tanpa melihat lagi ke belakang karena tak ingin terhalangi lagi oleh sesuatu yang menghalangi aku untuk meninggalkan ruangan itu.
***
Setelah Ebert meninggalkan ruangan itu, tinggallah Dahlie seorang diri di ruangan tempat mereka bertemu barusan.
Raut wajahnya tampak datar dengan tangannya yang meremas seprai tempat tidurnya dengan gemas.
"Heh~ dia tahu namaku ... Ah~ Dia pria yang aneh, bahkan meski aku memasukkan obat perangsang pada pengharum ruangan ini, dia masih tidak bernafsu melihatku ... Sungguh pria yang sangat aneh sehingga membuatku sangat tertarik untuk menaklukannya!" Gumamnya sembari menyeringai dengan wajah yang berubah menjadi sangat merah dengan sekujur tubuhnya yang berkeringat dan napasnya menjadi tidak teratur.
"Hah ... Hah ... Sepertinya aku harus segera menyingkirkan obat itu dan aroma ruangan ini! Ini sungguh membuatku tidak waras karena terlalu lama menghirupnya," ucapnya yang ternyata terpengaruh oleh obat yang ia pasang sendiri itu.
"Inglebert Ivory Harald, aku sangat yakin suatu hari nanti kita akan bertemu lagi, HAHAHAHA," Dahlie tertawa begitu keras sehingga orang yang berada di luar ruangan kedap suara itu samar-samar bisa mendengar tawanya.
***
POV Ebert.
"HATCHIMMM ... Brrr, aku tidak mengira bahwa suhu saat ini bisa sedingin ini ... Untung saja mantel kesayanganku ini kembali! Terima kasih kau telah memberiku kehangatan, sayangku ... Mmmuach!" aku seperti orang gila saja berbicara sendiri dan mencium mantel kesayanganku yang akhirnya kembali lagi ke tanganku.
Benar saja, setelah mencium mantelku itu, aku langsung teringat akan wanita itu, karena wangi mantel ini benar-benar sama dengan wangi tubuhnya. Menciumnya seperti tadi membuatku merasa seperti aku mencium tubuhnya dan itu membuat pikiran kotorku kambuh lagi.
BUAK!
BUAK!
Aku memukul diriku sendiri dengan sangat keras untuk menghilangkan pikiran tidak berguna itu.
"Hah! Si*l!!! Aku harus segera membuat mantel ini memiliki bau yang berbeda dengannya!" gerutuku.
Setelah berkelakuan seperti orang gila, aku pun kembali melanjutkan perjalananku kembali ke penginapan dengan segera karena pagi nanti aku akan kembali ke pulang ke Yorksnall.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Imamah Nur
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2023-07-25
0
Imamah Nur
Awas kena pelet cinta
2023-07-25
0
Pink Blossom
wngi'y bs sj hilng,, tp knngn yg d buat mantel itu akn trs mlekat stiap saat kau mmbwa'y
2023-05-06
2