Anggara di bawa ke dalam rumah pak Abas. Papanya mengoleskan minyak kayu putih ke hidungnya. Sedangkan ibunya memijit tangan dan kakinya. Berharap anaknya cepat sadar.
Beberapa kerabat dekat juga mengelilingi Anggara, dan berharap pemuda itu lekas sadar. Tsamara juga ikut berada disampingnya.
Ia menangis sesenggukan melihat kondisi calon suaminya yang tak kunjung sadar. Ia juga membantu calon ibu mertuanya, memijit pelan badan Anggara.
Anggara sebenarnya sudah sadar dari pingsannya. Tapi ia sengaja menutup matanya lebih lama, sampai orang-orang yang mengerubunginya satu persatu meninggalkan dirinya. Termasuk Tsamara.
Wanita itu ijin pergi ke toilet, karena tidak bisa menahan keinginannya untuk buang air kecil.
Dan kini hanya tinggal kedua orang tua Anggara saja yang menemaninya. Di saat itulah, Anggara membuka matanya perlahan. Ia menyipit melihat ke arah papa dan mamanya.
"Anggara. Kamu sudah sadar, nak." pekik Bu Ambar bahagia.
Tapi Anggara segera membekap mulut mamanya, dan jari telunjuknya menempel di bibirnya sendiri. Sebagai isyarat menyuruh ibunya diam.
"Pa, ma. Tolong jangan beritahu pada mereka kalau aku sudah sadar." bisik Anggara pelan.
Kedua orang tuanya saling beradu pandang sambil mengernyitkan dahi.
"Memangnya ada apa?" tanya Bu Ambar dengan berbisik pula.
"Anggara ingin membatalkan pernikahan ini, Bu."
"Apa!" seru kedua orang tuanya bersamaan. Bu Ambar bahkan sampai membekap bibirnya.
"Sssstttt... Jangan keras-keras dong, ma, pa." lirih Anggara lagi, sambil menempelkan ujung jari telunjuk di depan bibirnya sendiri.
"Kenapa kamu mau membatalkan pernikahan ini?" kini papanya yang bertanya.
"Apa papa dan mama mau, kalau punya menantu yang gendut dan badannya mirip seperti ikan paus itu? Di tambah lagi, dia juga tidak bekerja. Pekerjaannya hanya menjadi sopir pribadi untuk adiknya."
Anggara mengeluarkan uneg-unegnya, sekaligus mempengaruhi kedua orang tuanya. Tak lama kemudian, mereka menggeleng bersamaan.
"Tahu gitu, lebih baik kamu papa jodohkan dengan anak rekan papa. Sudah cantik, badannya langsing, dan juga ikut membantu orang tuanya bekerja di perusahaan." ucap pak Anwar mulai terpengaruh.
"Betul. Mama juga malu, kalau kamu menikah dengan Tsamara. Apa kata teman-teman arisan mama nanti. Dijodohkan dengan anak mereka, kamu ngga mau. Eh, taunya dapat Gorilla." imbuh Bu Ambar, dengan penuh sesal.
Anggara tersenyum melihat kedua orang tuanya yang berhasil ia pengaruhi.
"Jadi, bagaimana. Anggara tidak salah kan kalau mau membatalkan pernikahan ini?"
"Tidak." balas kedua orang tuanya serempak, sambil menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, kita gagalkan acara ini."
"Bagaimana caranya?" kembali kedua orang tuanya bertanya.
Anggara lalu menyuruh kedua orang tuanya lebih mendekat, dan membisikkan sesuatu di telinga mereka.
"Okay." kedua orang tuanya mengangguk bersamaan.
Setelahnya, mereka mulai melakukan sandiwara. Anggara pura-pura pingsan, mamanya berusaha terlihat sedih dan terisak, sedangkan papanya keluar untuk mencari pak Abas.
"Bas, aku mau bicara penting dengan mu." ucap pak Anwar, ketika melihat pak Abas tengah duduk bersama dengan kerabatnya yang lain.
"Anwar. Bagaimana keadaan Anggara? Kalau masih pingsan, sebaiknya di bawa ke rumah sakit saja."
"Iya, aku juga mau membawanya ke rumah sakit."
"Kalau begitu biar sopir ku yang mengantarkan."
"Tidak usah, Bas. Aku kesini kan juga bawa mobil. Ada saudara ku juga. Sebaiknya aku ke rumah sakit bersama mereka. Dan kamu tetap disini, menemani para tamu mu."
"Aku rasa itu adalah ide yang bagus. Tapi kamu beneran tidak apa-apa kan, kalau keluarga ku tidak ada yang menemani?" ucap pak Abas setelah terdiam sekian detik.
"Tidak apa-apa. Biar sama-sama enak. Ya sudah, sekarang tolong bilang ke saudara ku untuk membantu ku mengangkat tubuh Anggara, dan juga menyiapkan mobilku."
"Okay." pak Abas bangkit dari duduknya, dan bersiap melakukan apa yang di minta temannya.
Senyum sinis terkembang di wajah pak Anwar, ketika melihat sahabatnya yang menuruti permintaannya.
Tak lama kemudian, keluarga Anwar sudah berhasil keluar dari kediaman pak Abas, dengan mulus. Tanpa ada satu pun yang curiga dengan tingkah mereka.
"Huft. Akhirnya bisa bebas juga dari kandang gajah." gumam Anggara lega, sambil menyandarkan tubuhnya di kursi bagian belakang.
"Lagian, kamu itu kenapa ngga coba ngajak, Tsamara ketemuan dulu sih? Kalau begini caranya, buang-buang uang dan tenaga namanya." gerutu mamanya.
"Iya. Betul apa kata, mama." timpal pak Anwar, sambil menganggukkan kepalanya.
"Untung saja, rumah kita belum di pasang tenda. Tapi uang DP untuk dekorasi, catering dan lainnya, tetap saja ngga bisa balik." keluh mama menyesal.
"Tenang, ma. Meskipun uangnya ngga bisa balik. Kalau Anggara menikah, kita tinggal membayar kekurangannya saja kan? Dari pada jadi menikah, dapat menantu seperti tong sampah." ucap pak Anwar menenangkan istrinya. Dan istrinya itu mengangguk.
Saat baru separuh perjalanan menuju ke rumahnya, Bu Ambar mengirim pesan di grup anggota keluarganya. Ia menyuruh mereka untuk meninggalkan tempat acara. Agar acara itu semakin kacau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Kamiem sag
wah bukan maen Rangga sekeluarga
ayo Tsa semangat
2025-01-16
0
meMyra
semoga kalian sekeluarga dapat balasan setimpal!
2024-05-24
2
Sulaiman Efendy
BENAR2 GK ADA AHKLAK...
BNAR2 MMPERMALUKN KLUARGA TSAMARA..
2024-03-01
3