Hari pertama sekolah, Sheila bersyukur kehidupannya lancar tanpa kendala.
Meskipun dirinya sedikit menutup diri, tetapi pergaulan baru di kota yang baru tidak membuatnya menjadi orang yang kesepian juga.
Ada Cilla, Junaidi dan Andini. Teman baru yang mulai merapat berteman dengan Sheila meskipun di awal hanya karena kepo kehidupannya di kota Jakarta.
Anggara, teman sebangkunya juga tidak lagi terlalu mendekat seperti di awal jumpa. Walaupun senyum manisnya sesekali mengembang kala mengajak Sheila berbagi buku LKS setiap guru memulai pelajaran.
"Bagaimana hari pertama sekolah, Sheila?" tanya Sang Kakek penuh perhatian.
"Tidak terlalu buruk, Kek!"
"Syukurlah! Semoga kamu bisa menjalani hari-hari di sekolah dengan baik sampai tamat nanti!"
"Aamiin..." sahut Nenek Sheila.
Kedua pasangan romantis itu mendoakan Sheila dengan tulus. Tapi Sheila bukanlah anak yang mudah terharu dan berterima kasih secara terbuka selain lewat senyuman di bibir saja.
Kehidupannya yang lalu merubah karakter Sheila yang semula periang, ramah dan juga ramai orangnya.
Sejak kisah cintanya dengan Zeinul Abidin Taher kandas dan ada janin pemuda itu bersemayam di rahimnya, semua berubah.
Perjalanan hidupnya, karakter serta pemikiran Sheila, berubah seratus delapan puluh derajat Celcius.
Dari gadis remaja yang periang dan suka berceloteh apapun tentang kesehariannya, Sheila berubah menjadi gadis pendiam dan introvert luar biasa.
Bahkan jawabannya jika ditanya seseorang termasuk Mama Papa serta kedua kakak lelakinya hanya sepatah dua patah kata saja. Terkadang hanya dijawabnya dengan anggukan atau gelengan kepala saja. Tanpa suara.
Tepatnya ketika perut Sheila semakin terlihat membuncit karena ada sesuatu yang 'hidup' di sana.
"Siapa pria yang berani menanam saham di perutmu?" tanya Kak Fiko dengan wajah merah padam murka sekali.
Begitu juga Kak Abell, yang seorang mahasiswa fakultas hukum. Tangannya mengepal keras. Menatap wajah Sheila tegang.
Sheila sendiri tidak tahu, harus berkata apa dan bercerita mulai dari mana.
Hanya bisa menangis dan menangis menyesali nasib buruk yang menimpanya.
"Siapa lelaki itu, Sheila? Jawab!"
Kedua kakaknya sangat marah karena keadaan adiknya yang kini sedang berbadan dua. Akibat hubungan yang terlalu jauh antara Sheila dengan Zeinul Abidin Taher.
"Dimana rumah lelaki itu? Biar aku datangi dia dan minta pertanggungjawabannya!"
"Dia sudah pindah Kak!" jawab Sheila dengan isak tangis.
"Pindah? Kemana? Siapa namanya, anak mana? Biar kukasih pelajaran! Kalau perlu, biar mendekam di penjara sekalian!"
"Kakak... hik hik hiks! Sheila juga ga tau dimana Zein sekarang! Dia pindah sejak tiga bulan lalu. Nomor ponselnya juga ga aktif. Semua medsosnya, juga akses lainnya. Zein ga ada kabar berita!"
"Ya ampun, Sheila!!! Lo ini waras ga sih? Cowok Lo menghilang tanpa jejak setelah berani-beraninya bawa Lo naik ke atas ranjang? Dan Lo hamil begini masih bisa-bisanya diam ga mau bilang sama gua???"
"Fiko, sabar!"
"Gimana gua bisa sabar, Bel! Lo liat respon adik kita yang bisa-bisanya sepolos ini sedangkan perutnya semakin menggelembung gendut begitu! Apa kata Mama Papa nanti?"
"Sekarang antar kita ketemu pacar kamu!" kata Abel pada adiknya yang masih menangis tersedu.
"Sheila juga ga tau, Kak Abell! Beneran hik hiks..."
"Mana fotonya? Biar kita yang cari!"
Sheila hanya menangis ketika dua kakaknya menginterogasi menanyakan jati diri Zeinul Abidin Taher, Kakak kelas sekaligus pacar Sheila.
Hingga akhirnya kedua orang tua mereka mengetahui keadaan putri bungsu yang memang sudah dititipkan pada dua anak lelaki mereka yang telah lebih dewasa.
"Mama khan sudah pesan, jaga adik kalian baik-baik! Pergaulannya juga perhatikan! Teman-teman mainnya, siapa saja! Kenapa bisa jadi seperti ini?"
"Sudahlah, Ma! Ini bukan murni kesalahan Abell dan juga Fiko! Ini salah kita juga. Tidak bisa merawat dan menjaga Sheila karena kesibukan kita!"
"Tapi, Pa! Kita semua sudah berkomitmen untuk saling menjaga dan melindungi satu sama lain disaat orang tua sibuk bekerja!"
"Benar kata Papa, Ma! Ini adalah tanggung jawab semua. Tanggung jawab Mama Papa, Aku juga Fiko. Juga Sheila sendiri tentunya! Sekarang langkah apa yang mau kita ambil untuk Sheila? Terus itu cowok yang udah menghamilinya gimana?"
"Udah, lapor polisi aja! Ribet amat!" tukas Fiko kesal.
"Jangan! Jangan lapor polisi! Papa sedang ada penaikan golongan ini! Lebih baik kita selesaikan secara damai!"
"Papa?" Abell meradang.
Bagaimana bisa dirinya yang seorang mahasiswa fakultas hukum semester lima hanya diam berpangku tangan melihat adik bungsunya mendapatkan pelecehan seksual dari seorang laki-laki yang kabur dan tidak mau bertanggung jawab atas benih yang ditanam di rahim Sheila.
"Sudahlah. Cepat cari bocah tengik yang sudah berani menghamili adikmu! Bawa dia dihadapan Papa. Kita selesaikan secara damai!"
"Sebelum itu, lantas bagaimana dengan Sheila? Perutnya semakin membesar, Pa!" timpal Fiko yang seorang mahasiswa fakultas kedokteran tingkat dua dengan wajah cemas.
"Apa... sebaiknya digugurkan saja kandungan Sheila?"
"Mama?!? Bagaimana bisa Mama punya pemikiran seperti itu!?" pekik Sheila histeris.
Dia yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara.
"Dimana bocah itu?" desak Papa pada Sheila.
"Tidak tahu, Pak! Hik hik hiks... Sungguh Sheila tidak tahu!"
"Abell sedang mencoba melacak keberadaannya! Urusan menstalker biar Abell yang handle. Tapi ini gimana Sheila!?"
Sheila yang sebenarnya juga sangat kebingungan dibawa Mamanya periksakan kandungan.
Ternyata kehamilannya sudah memasuki usia 24 minggu. Dan kondisi janin yang diperkirakan berjenis kelamin laki-laki itu dalam keadaan baik-baik saja tanpa ada keluhan.
Usia Sheila baru 16 tahun kala itu. Sehingga Mama khawatir jika kehamilannya diteruskan sampai tiba waktunya lahiran. Dan menginginkan putri bungsunya menggugurkan kandungan.
"Tidak bisa, Bu! Kehamilan putri Ibu sudah terlalu besar. Beresiko jika dilakukan aborsi, selain dosa hukumnya."
Gina, Mama Sheila akhirnya hanya bisa menghela nafas dengan mata menatap wajah Sheila.
Puk
"Bodoh! Kenapa tidak pakai pengaman?" sesal Gina membuat Sheila balik menatap mata Sang Mama.
Mama! Harusnya Mama lah yang bertanggung jawab memberikan pelajaran **** padaku sejak dini, Ma! Bukan justru kini menyalahkan apa yang kadung terjadi setelah selama ini hidup tanpa kontrol orang tua.
Sheila hanya diam. Matanya sembab. Dadanya sesak. Fikirannya kembali menerawang pada terakhir kali pertemuannya dengan Zeinul Abidin Taher di sebuah kafe taman kota.
"Sheila, kamu percaya aku kan?" tanya Zein yang langsung dijawab anggukan kepala, begitu yakin dan percaya diri.
"Dengar! Aku, ada kerjaan lain di luar kota. Ini untuk masa depan kita nantinya. Lagipula, kita gak bisa terus-terusan seperti ini. Kamu masih harus sekolah, aku juga... ingin lanjut kuliah sambil bekerja."
Sheila merebahkan kepalanya di bahu Zein.
"Kita... LDR-an gitu?" tanya Sheila mulai cemas.
"Ini semua demi masa depan kita, Sheil! Kamu cinta aku kan?"
"Ya iya lah! Kalo ga cinta, ga mungkin aku mau lakukan semua ini sama kamu Kak!" jawab Sheila.
Matanya mulai terlihat berkaca-kaca. Terlebih setelah dua minggu yang lalu mereka melakukan perbuatan yang dilarang agama untuk pertama kalinya di sebuah motel.
Sungguh tempat ketemuan yang aneh buat pasangan seperti mereka jikalau tidak berbuat asusila.
Zein memang telah memacarinya selama setahun bahkan mereka semakin intens berhubungan meskipun dia telah lulus dan bekerja walaupun masih serabutan sana-sini jajal lowongan kerja.
Zein sendiri nyaris tidak pernah menceritakan keluarganya. Jati dirinya yang Sheila tahu hanyalah seorang anak tunggal dari orangtua yang konon kabarnya pengusaha kecil di bidang travel.
Zein tidak suka bila Sheila bercerita tentang keluarga. Terlebih jika sudah menanyakan keadaan keluarga Zein yang super tertutup.
Tiga tahun bersekolah di SMA PRAMUKA 01, tak pernah sekalipun Mama ataupun Papa Zein mendatangi sekolah putranya meski hanya sekedar mengambil raport ataupun menanyakan perihal anak dan pembayaran SPP. Zein selalu lakukan itu sendirian.
Sheila terlalu polos diusia mudanya yang beranjak remaja.
Zein baik. Memang. Tidak pernah membuat janji palsu. Kalaupun dia ragu, Zein selalu bilang tak bisa janjikan apa-apa.
Tapi ketika bilang cinta pada Sheila. Tidak ada sedikitpun keraguan.
Mata Zein terlihat begitu meyakinkan, hingga Sheila percaya sepenuhnya pada pria cinta pertamanya itu.
BERSAMBUNG
Like + komentar 🙏✌️😇 semoga kita semua selalu sehat, bahagia dan dipenuhi cinta serta keberkahan Allah SWT. Aamiin 🤲😇
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
lina
pesan yang percuma
2023-02-18
0
lina
kaga waras
2023-02-18
0
lina
😭 kasian
2023-02-18
0