Z o m b i e!

“Evans keluarlah!”

Seseorang itu berteriak keras seraya berjalan lebih dalam lagi pada mansion pribadi Evans Colliettie.

“Tuan, maaf. Tuan Evans tidak bisa diganggu. Beliau sibuk!” kata Mika menghadang tiga orang di depannya.

“Ck! Sibuk apa hah? Sibuk menyiksa istrinya, hah?” serunya keras. Orang itu tidak terima.

“Panggil tuanmu atau aku sendiri yang akan menghampiri tuan mu itu, hah?” tegasnya dengan nada marah.

Tak butuh lama, keributan itu pun didengar langsung oleh sang empu. Evans pun akhirnya keluar dan berjalan dengan gontai menuju ruang tengah di mana terdengar suara keributan yang mengganggu harinya.

“Ck! Tamu tak di undang! Kenapa kalian datang ke sini, hmm?”

Evans berdiri tidak jauh dari ketiga orang di depannya dengan tangan bersedekap. Jangan lupakan wajah angkuh Evans yang menatap ketiga orang di depannya.

“Pergilah sebelum aku marah dan mengusirmu. Sama sekali kalian tidak di undang di mansionku!” kata Evans, tegas.

“Ck! Sombong sekali kau, hah!”

“Ah—apa kalian minta di usir dengan cara kasar, hmm?”

Suara Evans terdengar begitu keras diiringi tatapan marah karena ketiga orang itu seolah mengantarkan nyawa datang ke mansionnya dan membuat keributan.

“Aku tidak pernah takut dengan ancamanmu, Evans. Aku sudah membawa para pengawalku cukup banyak.”

Evans mendengus menatap geram. “Aku datang ke sini hanya ingin menolong Alea. Aku tidak ingin wanita malang itu mati di dalam mansion mu ini!” tegasnya.

Sementara di lantai dua, wanita yang tengah diperdebatkan pun menggeliatkan tubuhnya seraya menarik nafas dalam-dalam dengan kedua mata yang masih terpejam.

Jangan ditanya lagi bagaimana keadaannya saat ini. Sudah tentu jawabannya tubuhnya begitu remuk dan juga lelah.

Suara Evans yang diiringi keributan di mansion ini membuatnya terbangun.

Alea mendelik, ketika tidak mendapati Evans yang berada di sampingnya seperti kebiasaan sang suami yang selalu menunggunya terbangun.

“Ev….” Lirihnya.

Sebelah tangan Alea menepuk tempat di sampingnya yang terasa dingin dan juga sepi.

Tidak ada suara Evans yang menyahut panggilannya seperti biasanya pria itu selalu sigap.

“Ev…” Panggil Alea, lagi.

“Apa maksudmu, hah?” seru Evans, marah.

“Apa kau pikir aku akan membunuh istriku sendiri hah?”

“Ev…” panggil Alea di atas sana.

Alea kembali memanggil suaminya dengan memegang kepalanya yang berdenyut nyeri. Lagi-lagi suara keributan itu membuat kepalanya semakin berdenyut.

Alea mengenal suara yang tengah berdebat dengan suaminya.

“Apa Leo datang ke sini?”

“Ya Tuhan, sebenarnya apa yang sedang kedua pria itu perdebatkan.”

“Astaga, Van. Apa kamu tidak sadar hah kalau semua yang kamu lakukan itu bisa membuat Alea mati, hah?” seru Leo, kesal.

Pria muda itu bersedekap dengan mata yang memandang Evans geram.

“Apa kamu tidak sadar juga, Evans Colliettie? Kamu sudah mengurung istrimu sendiri selama dua minggu ini hah? Apa kamu kini sudah gila?”

Alea mendelik. “Dua minggu? Jadi a-aku—"

“Kau ini siapanya Alea, hmm? Kenapa aku harus izin padamu untuk melakukan apapun yang aku inginkan bersama dengan istriku sendiri?!”

Evans menatap Mika penuh isyarat. “Sudahlah, lebih baik kau pulang sekarang juga.

“Aku sedang tidak bermurah hati lagi padamu!” usir Evans pada saudaranya.

“Ya Tuhan, Van. Kamu ini keterlaluan! Alea sudah seperti saudara kita bahkan istrimu itu kini telah resmi menjadi bagian keluarga kita.

“Masa iya kamu tidak mengizinkan kita semua untuk bertemu dengan Alea, istrimu!” sela Massimo seraya menghampiri Leo yang tengah bersitegang dengan Evans.

Mafia itu memang harus diperingatkan. Evans sudah sangat keterlaluan.

Pria itu mengurung istrinya sendiri di dalam kamarnya, sampai sanak saudaranya begitu juga Alberto sendiri pun kesusahan walau hanya ingin mengucapkan satu atau dua kata untuk menantunya.

Dan hal ini tidak bisa dibiarkan lagi, karena Evans sama sekali tidak membawa istrinya ke luar kamar.

“Van. Aku mohon. Kami semua ingin bertemu dengan Alea. Kami semua belum sempat mengucapkan selamat pada Alea karena kamu sudah membawa istrimu menjauh!”

Cassandra pun ikut angkat bicara. Nada bicaranya yang lembut dan sopan berbicara dengan mafia yang disegani mungkin saja hati pria itu sedikit iba dan mengizinkannya untuk bertemu dengan istrinya.

“Ka Evans. Please, sebentar saja. Apa Kakak bisa membawa Alea sehari saja keluar dari dalam kamar kakak.

“Aku ingin bertemu, Ka. Kami hanya ingin memberikan hadiah pernikahan kalian dan membukanya bersama,” bujuk Olivia seraya menghampiri saudaranya dengan tatapan memohon.

Evans mendengus pelan. “Kembalilah dua minggu lagi! Kalau kamu ingin bertemu dengan istriku!” decak Evans tidak ingin dibantah lagi.

“Hah?!”

“Aku izinkan kalian bertemu dengan istriku dua minggu lagi atau tidak sama sekali!”

“Sinting kamu, Van!” umpat Leo, jengah sudah rasanya menghadapi Evans Colliettie yang keras kepala.

“Kamu memang sudah gila, saudaraku!”

Evans bekacak pinggang menatap saudaranya. “Kenapa kalian begitu pusing-pusing dan mendebatku hah?

“Istriku saja sama sekali tidak pernah menolaknya!”

“Ya, jelas. Alea tidak bisa menolakmu karena sudah aku duga kalau kamu mengancamnya dengan kematian jadi dia tidak bisa menolak keinginanmu!” tekan Leo!

Bug!

Evans meninju wajah saudaranya tanpa ragu yang diiringi jeritan dua wanita yang terkejut. Evans marah dan dia tidak terima dengan perkataan Leo yang sudah kelewat batas.

Bila Evans ingin membunuhnya, mungkin sudah jauh hari dan tidak harus terus menyelamatkan wanita itu dari bahaya yang dibuatnya.

 “Oh, ****!” umpa Leo seraya memegangi ujung bibirnya yang sobek dengan darah yang keluar.

“Brengsek kamu, Van!”

Leo mendekat dan hendak membalas, namun pria itu di cekal oleh Massimo agar tidak berakhir perkelahian.

Suara pukulan dan juga jeritan dari arah bawah membuat Alea langsung terbangun dengan spontan duduk hingga membuat kepalanya berdenyut pusing.

Dia menggeser tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang agar kepalanya tidak terus berputar yang diiringi denyutan nyeri yang sewaktu-waktu muncul dan mereda sendiri.

Setelah dirasa membaik, Alea pun menurunkan kedua kalinya kelantai dengan satu tangan yang menarik jubah tidurnya yang diletakkan di sofa tak jauh dari tempat tidurnya.

“Ya Tuhan, kepalaku!”

Alea pusing. Kepalanya berputar kencang ketika dia berdiri. Tubuhnya luar bisa remuk dengan tubuh yang seolah tak punya tenaga.

Alea terasa lelah walau hanya untuk berdiri seperti ini. Alea berjalan pelan dan berpegangan ke dinding tepat di depan cermin besar yang menjulang tinggi.

Bola matanya sontak terbuka lebar ketika melihat pantulan dirinya. Alea terkesiap dengan tubuh yang terpaku setelah melihat keadaannya yang begitu berantakan.

Mulut Alea menganga, ketika melihat tanda di lehernya. Disibakan sedikit jubah tidurnya.

Bola mata Alea lagi lagi terbalak semua tubuhnya dipenuhi dengan jejak merah yang berada di sekujur tubuh bagian atas Alea.

 “Evannnnnns Colliettttieeeeee!!!” teriak Alea kencang.

Mendengarkan serua itu sontak suara langkah kaki terdengar begitu keras.

Massimo dan juga Mika pun sudah siap siaga dengan senjatanya yang menyusul langkah Evans yang lebih cepat menuju arah kamar pribadinya ketika mendengarkan teriakan Alea di dalam kamarnya.

Evans banting pintu hingga terbuka lebar-lebar. Jantungnya tak berhenti berdegup kencang, bahkan menggila walau hanya mendengarkan teriakan sang istri.

Ketika Evans masuk ke dalam kamarnya, yang dilakukan pria itu pertama kalinya hanya diam dengan wajah kaku menatap Alea, sementara Leo dengan wajah lebamnya pun sudah tiba dengan kedua wanita dibelakangnya pun sama paniknya dan teriakan Alea.

“Sayang.”

Evans yang sama mengenakan jubah tidurnya pun berjalan pelan seraya mendekat dengan hati-hati.

“Kamu tidak apa kan sayang?”

“Ev—kamu—”

Alea menarik nafas dalam-dalam. Alea sudah tidak bisa berkata-kata lagi pada suaminya.

“Ya, sayang. Kamu kenapa?”

“Apa kamu tidak melihatnya hah?”

Evans jelas melihatnya dari pantulan cermin di depannya dengan kernyitan bingung, tidak tahu dengan pembicaraan sang istri.

“Kamu sudah membuatku seperti zombie, Ev,” seru Evans.

Alea membalikan tubuhnya dengan dengusan marah. “Lihatlah perbuatanmu ini!”

Evans langsung bernapas lega, karena istrinya tidak ada apa-apa. Itu hanya sebuah lukisan indah yang dipahat di tubuh istrinya karena begitu terpesona.

Hh—begitu menakjubkan sekali bukan lukisan yang dia buat. Namun, bagi Alea ini tidak indah sekali.

Leo, Cassandra, Oliva, Massimo dan juga Mika pun berseru lega. Ternyata teriakan itu karena hal itu rupanya toh. Jejak merah di tubuh Alea karena ulah Evans.

“Lain kali, Al. Pukul saja wajahnya bila dia selalu nyosor terus kaya soang!

“Gila banget sampai pahatan karya Evans Colliettie begitu indah di tubuhmu!”

Alea menatap sedih sekaligus malu, sementara Evans melayangkan tatapan nyalang pada saudaranya.

“Ahh—sepertinya aku baru tahu kalau selain menjadi Mafia terkejam seantero Italia, ternyata seorang Evans Colliettie pun seorang seniman handal!” sindir Leo keras.

Pria itu tak gentar mengejek Evans sekalipun di tatap membunuh oleh saudaranya.

Massimo yang berada di ambang pintu pun hanya terkekeh melihat kelakuan sepasang pengantin baru.

 “Sebuas itukah saudaraku, hmm?”

Evans mendekat dan merengkuh tubuh sang istri ke dalam pelukannya.

Evans menyembunyikan wajah sang istri di bidang dadanya. Dia tahu kalau Alea malu luar biasa karena semua saudaranya tahu bahkan melihat lukisan yang dibuatnya.

“Kalian semua keluar dari kamarku!” tegas Evans.

Evans mengecup kening sang istri.

“Tunggulah kami di ruang tengah!” sambung Evans membuat dua wanita cantik di belakang sana pun ikut tersenyum senang.

“Ah—akhirnya kita diizinkan bertemu denganmu, Alea,” kata Leo berseru lega.

Massimo pun ikut mengangguk, dia pun ikut senang karena Evans mengizinkannya untuk bertemu dengan Alea sekalipun ya, kedua pria itu kesal atas perbuatan Evans yang begitu sangat menyebalkan.

Keempat orang di belakang sana pun menatap Alea prihatin sebelum keluar. Dia tidak tahu kalau Evans akan sebuas itu pada istrinya.

“Kamu tenang saja, Alea. Kami datang kemari akan membawamu pergi dari pria gila itu,” decak Leo.

Sepertinya pria muda itu masih dendam pada Evans yang sudah membuat wajah tampannya menjadi lebam dan ketampanan berkurang beberapa persen.

“Seret mereka semua keluar dari kamarku, Mika!” perintah Evans dengan suara yang menggelegar.

Kompaknya, Leo, Massimo, Cassandra dan Olivia pun langsung ngacir pergi dari kamar pribadi Evans Colliettie.

Sementara Alea hanya diam dengan nafas yang terasa berat atas kelakuan Evans yang amat menyebalkan. Tidak tanggung-tanggung Evans memberikan jejak merahnya menghiasi seluruh bagian tubuhnya.

“Maafkan aku, sayang,” ucap Evans seraya mengecup kening istrinya. Dia tahu kalau istrinya terlihat kesal padanya.

Alea memekik dengan eksprsi terkejut saat Evans melepaskan jubah yang dikenakan lolos begitu saja tanpa sehelai kain pun menempel di tubuhnya.

Evans terkekeh akan pahatan bibirnya di tubuh sang istri.

“Aku kesal sama kamu, Ev.”

“Haah—kalau begitu lampiaskanlah, sayang.”

Alea membuang nafas beratnya dengan wajah yang nampak sedih. Dilampiaskan pun rasanya percuma bukan?

Jejak merah ini tidak akan hilang dengan sekejap, juga. Tak lama, Evans menggendong sang istri menuju kamar mandi.

“Sudah saatnya kita membersihkan diri, sayang,” ucap Evans seraya mengecup puncak kepala sebelum meletakan tubuh Alea di dalam bathtub berisi air hangat yang sudah disiapkan lengkap.

Sejak tadi Evans sudah menyiapkan semua keperluan mandi untuk sang istri dan tidak ketinggalan dengan sebotol wine dan juga segelas susu hangat beserta buah-buahan yang segar.

Mawar hitam dan putih seolah wajib harus ada di dalam kamar mandi mereka. Alea memandangi kamar mandi Evans yang telah siap seperti biasanya. Entah kapan pria itu menyiapkan semuanya dan hal kecil itu membuat Alea merasa senang dan juga nyaman berada dengan sang suami.

Bola mata Alea terbelalak, ketika Evans melepaskan jubah tidurnya.

Padahal bentuk tubuh Evans dari atas hingga adiknya yang sedikit berkembung pun sudah pernah Alea lihat sebelumnya.

Tetapi, kenapa dia merasa malu ketika melihat tubuh atletis itu ikut bergabung di dalam bathup dan duduk saling berhadapan.

“Kenapa melihatku seperti itu, sayang? Kamu masih marah, hmm?” tanya Evans seraya memberikan satu gelas susu hangat dan tangan satunya memegang segelas tinggi berisi wine.

“Kamu menyebalkan, Ev. Sungguh, aku kesal padamu.”

Evans terkekeh. “Menurutmu, bagaimana pendapatmu dengan dua minggu ini, sayang?” tanya Evans.

Sialnya, pertanyaan itu membuat wajah Alea merona bukan marah karena sikap Evans yang menyebalkan.

Alea pun memeluk kedua lututnya sendiri dengan helaan nafas panjang membuat pria di depannya tersenyum mempesona.

“Aku kesal karena kamu sudah membuatku seperti, zombie, Ev!”

Tanpa terduga, jawaban Alea membuat Evans tertawa lepas tanpa bisa tertahan membuat Alea di depannya menatap Evans dengan tatapan terkesima.

‘Ya Tuhan, aku baru pertama kalinya melihat seorang Evans Colliettie, The Black Rose yang di takuti itu bisa tertawa lepas begitu saja,’ batin Ale tersenyum menatap sang suami.

“Maafkanlah lukisanku yang begitu sangat kacau itu!”

Alea tertawa kecil, sebenarnya ia tidak keberatan akan lukisan Evans yang begitu banyak ini yang sudah membuatnya malu.

Tetapi, kelakuan Evans yang kelewat menyebalkan itulah yang membuatnya sampai terlupa hari dan juga waktu hingga dia tidak sadar sudah dua minggu sudah dia berada di dalam kamar.

Evans hendak menyesap winenya, namun tangan kecil itu memegang lengan kekar Evans membuat Evans mendelik.

“Ada apa sayang?”

“Kamu tidak adil, Ev!"

“Hm? Apanya yang tidak adil sayang?”

"Kenapa kamu meminum wine sedangkan aku susu hangat?

“Aku juga mau minum yang sama sepertimu, Ev,” ujar Alea menunjukkan gelas wine di tangan Evans.

“Tentu tidak, sayang. Susu lebih bagus untuk tulang dan juga kesehatanmu, sayang.

“Aku tidak mengizinkan kamu meminum wine lagi. Aku tidak mau kamu tersiksa nantinya dan tidak bangun karena minum wine sialan ini.”

“Minumlah susu hangat ini agar tubuhmu sehat agar aku bisa kembali melanjutkan pekerjaanku yang tertunda karena mereka.”

Alea mendengus kesal, dia tahu maksud dari perkataan Evans. Entah kenapa kini otak sang suami selalu messsum

“Kalau begitu. Aku tidak mau kamu selalu minum wine, Ev.”

Alea mengambil paksa wine yang berada di tangan Evans dan memberikan segelas susu hangat yang ia pegang untuknya.

“Kenapa kamu memberikan susu hangat ini padaku, sayang? Aku tidak suka dengan susu hangat ini karena aku mau yang lebih hangat lagi.”

Evans tersenyum jahil yang diiringi lirikan mata yang tertuju pada salah satu dua melon besar yang sudah menjadi favoritnya.

Alea mendelik dengan desahhaan pelan, tubuh Alea mendadak lesu mendengarkan jawaban suaminya.

“Sayang….”

Evans mencolek lengan sang istri dengan kerlingan mata. Alea mendelik dengan ekspresi menahan tawa.

Sumpahnya, ia baru tahu kalau mafia yang ditakuti itu covernya saja yang terlihat seram dan juga menakutkan. Namun, di dalamnya Evans punya pribadi yang lembut dan penyayang.

“Bolehkah aku meminta jatahku yang tertunda tadi karena ulah mereka,” bujuk Evans.

Alis Evans naik turun meminta persetujuan sang istri yang hanya diam.

“Ya, sayang. Satu ronde saja. Janji nggak akan lama,” bujuk Evans lagi.

Alea mendengus pelan.

"Sayang…. Leaku…. My Queen… ya, ya, ya… satu ronde saja….”

Alea menatap sang suami. ‘Ya Tuhan, suamiku ternyata ma ni ak!” batin Alea.

“Nggak ada jatah untukmu, Ev!” decak Alea dengan mengerutkan dahinya.

Evans terkejut mendengarnya, bahkan wanita yang sudah menjadi istrinya selama dua minggu ini sebelumnya tidak pernah menolaknya. Lea nya tidak pernah menolak ajakannya. Lalu kenapa kali ini sang istri jadi seperti ini?

“Kok, gitu sih, sayang. Kenapa emangnya, sayang?” tanya Evans penasaran.

“Aku lagi marah sama kamu Ev dan aku ingin menghukummu tidak memberikan jatah untuk malam ini!”

Evans menatap lesu mendengarkannya perkataan istrinya sementara Alea kembali mendengus pelan.

“Apa kamu lupa kalau kita punya tamu, hmm?”

“Tamu?”

“Kamu tadi menyuruh saudara untuk menunggu di ruangan tengah bukan?”

“Haaah, si Leo menyebalkan,” desah Evans kesal. Saudaranya itu selalu saja mengganggu kegiatan pengantin baru.

“Mereka sudah menunggu kita lama, Ev. Sebaiknya besok-besok saja.” Perkataan Alea membuat Evans menghela nafas panjang dengan hati yang bergerutu kesal.

“Ah! Sialaan, Leo! Dasar mereka saudara yang tidak tahu diri! Pengganggu!”

Terpopuler

Comments

Kurnia Wijayanto

Kurnia Wijayanto

mentang dpt perawan dihajar trz van😂

2023-02-12

0

Rusme Juthec

Rusme Juthec

syukurin km Evan gak dapat jatah

2023-02-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!