‘Astaga… kenapa aku berpikiran sampai sampai sejauh itu?’ batin Alea seraya memukul pelan kepalanya.
Mendadak denyutan nyeri di kepalanya membuat kepalanya jadi eror dengan asumsinya.
“Apa kepalamu sakit, hm?”
Seruan yang terdengar lembut itu, membuat bola mata Alea mendelik. Tubuhnya mendadak membeku.
Alea menoleh ke samping pada sumber suara. Mendadak, nafasnya tertahan yang diiringi tatapannya semakin menajam.
‘Sejak kapan dia duduk di sofa itu?’ batin Alea bertanya.
Entah kapan datangnya, Evans sudah duduk di single sofa panjang yang tersedia di ruangan nya.
Alea menatap Evans dengan tatapan, bingung. padahal Alea merasa kalau Lucas baru saja pergi.
Tetapi, kenapa dia sama sekali tidak melihat kehadiran Evans Colliettie masuk dan sudah langsung duduk dengan santai tepat di depannya.
Sejenak, Alea memandangi pria tampan nan rupawan itu. Dia tersenyum dalam hati bagaimana tampannya wajah sang devil yang terlihat segar dengan kaos pendek berwarna hitamnya.
Evans mengeluarkan ponselnya. “Sialan! Seharusnya aku tidak mempercayakan kesembuhan wanitaku pada orang yang tak berguna seperti mereka,” decak Evans terdengar marah.
“Harusnya, wanitaku ditangani sekelas professor bukan dokter seperti mereka. Bukannya sembuh, tapi malah wanitaku seperti kesakitan!” sambung Evans, terus mengomel.
Kening Alea mengeryit, entah pada siapa pria itu berkata. Tetapi, dari perkataanmu sepertinya tengah berbicara padanya.
“Se—bentar.” Alea menyela, dia tersadar kalau Evans sedang berbicara dengannya.
“Aku baik-baik saja dan tolong kamu jangan salah paham, Ev,” kata Alea seraya menatap Evans.
Mungkin saja, pria itu melihat tingkahnya yang tidak disengaja itu membuat Evans beranggapan lain, hingga timbulnya kesalahpahaman ini.
“Salah paham?” ulang Evans.
Alea manggut-manggut cepat. “Aku baik-baik saja. Kepalaku juga tidak sakit,” kata Alea.
Hh—mungkin karena karena tadi Alea memukul kepalanya dan itu pun pelan yang membuat Evans terlihat marah.
“Mika,” bentak Evans keras, ketika panggilannya terhubung dengan orang kepercayaan.
Mata Alea kembali melebar dan menatap Evans.
“Panggil dua puluh dokter yang bertanggung jawab atas kesembuhan Lea,” seru Evans keras. Nada bicaranya terdengar marah.
“Lea?” ulang Alea diiringi kernyitan.
“Dua puluh?” ucap seraya mengulang.
Bola matanya sontak membuka lebar. Alea tidak percaya kalau Evans sampai berbuat sejauh ini padanya.
“Ev…” panggil Alea seraya meloncat dari atas tempat tidurnya.
Alea dengan cepat menahan lengan Evans yang memegang ponselnya.
“Aku baik-baik saja” kata Alea, tak mengizinkan Evans untuk melanjutkan panggilannya.
"Evans hanya diam seraya memandangi Alea. Kejadian beberapa detik lalu, sontak membuat Evans mengernyit heran.
Aksi Alea yang meloncat dan menahan perkataannya pada Mika membuat pria itu justru lebih bingung lagi.
Sementara di sisi lain, Alea mencoba menghentikan Evans sebelum ada korban lagi yang terbunuh karena hanya kesalahpahaman.
“Aku mohon dengarkan aku dulu,” kata Alea, pelan. Beruntung ketika dokter telah memeriksanya, infusan di tangan Alea sudah dilepaskan sehingga aksinya tadi tidak membuat kesalahannya lagi pada dokter maupun perawat.
Evans diam, menurut. “Aku baik-baik saja, Ev. Beneran deh, aku nggak bohong.”
“Aku sehat walafiat dan sama sekali aku tidak merasa sakit sedikitpun.”
Alea merentangkan tubuhnya untuk menunjukan pada Evans kalau dia baik-baik saja.
“Kamu percaya kan, Ev?” tanya Alea. Pria itu hanya diam bak patung yang terus menatapnya tanpa berkedip.
Satu alis Evans terangkat. “Apa kamu yakin kalau kamu baik-baik saja?
"Aku tadi melihatmu memukul kepalamu. Pasti kepalamu ini ada yang sakit kan?” tanya Evans terdengar lembut.
“Aku baik-baik saja, Ev. Bahkan kamu tadi juga lihat bukan aku meloncat dari atas tempat tidur?”
Evans mengangguk pelan, dia pun melihatnya sekalipun ada sesuatu yang ingin meledak karena marah. Alea menarik kedua tangannya yang memegang tangan Evans.
Evans menarik nafas pelan, dia sudah tahu kalau Lea nya itu takut bila nantinya amarahnya memuncak dan berakhir membunuh orang.
“Jangan meloncat lagi, kamu bukan anak kera yang meloncat karena ketakutan nanti kakimu sakit,” kata Evans.
Namun, entah kenapa perkataan Evans itu membuat Alea langsung freeze.
Evans mengamati Alea seraya memeriksa keadaan wanitanya dengan sendiri. Tentunya, Evans memberi kesempatan untuk Alea memandangnya.
Wanitanya itu terlihat menatapnya, seraya mengamati keadaanya.
Ya, sekalipun keadaanya kini sudah membaik. Tetapi, masih ada bekas memar di wajah dan juga di kedua tangannya.
Alea pun bisa melihat sendiri bahu Evans yang terbungkus perban yang melingkar karena luka tembak.
Tanpa sadar, tangannya sudah terulur menyentuh permukaan perban yang melingkar di bahu Evans.
Dengan sangat hati-hati Alea mengusap yang diiringi ringisan seolah dia ikut merasakan peluru yang menembus lapisan kulitnya, tanpa sadar Evans di depannya menikmati ekpsresi wajah Alea yang memperlihatkan kekhawatiran.
“Panggil dua puluh dokter itu, Mika. Sekarang juga!” kata Evans kembali menghubunginya untuk memberikan perintah.
Alea tersentak dan menarik tangannya untuk menjauh.
“Ev. Kenapa kamu berlebihan seperti itu? Kenapa juga kamu harus memanggil dua puluh dokter ke sini?
"Apa mereka akan memeriksaku semuanya?”
“Ya. Lea!
Alea mendesah pelan. “Panggilan Dokter Cristine untuk datang kemari,” kata Evans seraya menutup panggilannya.
Alea mendengus pelan, ia pun kembali menarik tangannya untuk menjauh. Wanita itu terdiam dalam dengan pikirannya.
‘Evans memang menyebalkan. Kenapa juga harus dua puluh dokter yang memeriksaku?’ bibir Alea memberengut.
‘Apa yang akan dilakukan Evan setelah memanggil dua puluh dokter itu? Apa pria itu langsung memarahi seperti biasanya dan membunuhnya?’ tanya Alea dalam hati.
Bila seperti itu, Alea bisa marah besar kalau Evans membunuh orang lagi.
Otaknya yang terus berpikir perihal dua puluh dokter yang akan segera tiba, Alea tak sadar kalau Evans menarik tangannya perlahan dan mendudukkannya di atas pangkuannya.
Sontak, Alea terkejut. “Apa yang mau kamu lak—”
“Sssttt…. Aku hanya ingin tahu. Apa yang sedang kamu pikirkan, Lea,” sela Evans cepat seraya mengamati dengan seksama.
Alea menarik nafas sejenak. “Oh itu.”
Evans manggut-manggut bersabar menunggu jawaban sang calon istri. “Bukan hal yang menarik juga, sih,” bohong Alea.
“Benarkah?”
“Ya,” jawab Alea singkat.
“Tapi, bagiku—”
Ada nada yang terjeda, membuat degupan jantung Alea berdetak tak karuan.
Apalagi, saat Evans melingkarkan kedua tangannya di pinggang dan perlahan pelukan Evans semakin erat dan juga membuat rasa nyaman.
Belum lagi tatapan teduh Evans dan senyuman yang melukis tampan itu membuat jantung Alea rasanya hampir saja terlepas dari rongganya. Senyuman langka dari seorang Evans Colliettie.
“Kenapa terkejut begitu, hmm?”
Pipi Alea memerah. Alea canggung apa lagi ketika Evans mengecup keningnya.
“Kamu membiasakan diri berada di dalam pelukanku seperti ini, karena tempatmu di sini!” tunjuk Evans pada dada sebelah kirinya, tepatnya di jantung Evans.
Heart of The Mafia.
“Agar semua orang bisa melihat kalau kamu adalah milikku seorang, tidak ada yang bisa dan berani menyentuhmu sedikitpun,” tegas Evans pada Alea.
Bola mata Alea membulat lebar. Hampir saja, dia tidak bisa bernafas saking terkejutnya mendengarkan ungkapan hati dari sang mafia kejam.
Tatapan lembut sang mafia pun ternyata benar-benar ditunjukan untuk dirinya saja.
“Apa kamu baik-baik saja, Ev?” tanya Alea, pelan seraya mengalihkan pembicaraan Evans.
Bisa-bisa Alea terkena serangan jantung bila mendengarkan perkataan Evans yang begitu lembut di dengar.
Alea memalingkan pandangannya dan melihat luka di bahu Evans.
Pria itu pun hela nafas panjang, lalu berikan Alea senyuman mansi membuat Alea semakin terpesona.
Evans meletakkan satu tangan Alea tepat di dada sebelah kirinya, tepatnya di jantungnya.
“Bagiku, luka ini tidak ada artinya Lea. Kamulah yang sangat berarti di dalam hidupku saat ini,” ungkapnya.
Alea memejamkan tatapannya. “Kamu sungguh selalu bisa membuatku frustasi sampai aku rasanya hampir gila dibuatnya, Lea.”
Evans menyandarkan kepalanya di punggung Alea dan itu rasanya begitu nyaman bila wanita ini berada di dekatnya.
Alea terdiam sejenak dengan pikirannya sendiri. “Aku ingin tahu, setiap hal yang kamu pikirkan itu.”
“Hm?”
Alea menatap Evans dengan deheman, dia tersadar dari pikirannya. Tidak percaya hal itu di perhatikan oleh Evans sendiri.
“Hmmm?” Ale berdehem tersadar dari pikiranya.
“Hah, Ev—”
Alea sontak terkejut, kedua tangannya reflex melingkar di leher Evans ketika pria itu berdiri sambil membawa tubuhnya ke dalam gendongan. Evans, membawanya ke tempat tidur.
“Ev…”
Alea menatap pada luka di bahu Evans. “Aku bisa berjalan sendiri. Bahumu pun terluka, Ev,” mohon Alea. Sayangnya, langsung diabaikan oleh Evans.
“Aku tanya sekali lagi padamu, Lea. Apa kepalamu baik-baik saja, hmm?”
Evans membaringkan tubuh kecil itu di atas ranjang rumah sakit.
“Aku baik-baik saja.”
Evans menghembuskan nafasnya lalu kembali berjalan menuju sofa dan duduk.
“Ev…”
“Ya, Lea.”
Kedua alis Alea saling bertautan seraya menatap Evans.
“Lea adalah panggilan kesayangan, untukmu.”
Bibir Alea mengatup dengan wajah yang bersemu merah menahan malu.
Ah, kenapa devil itu bisa-bisa membuat hatinya jumpalitan seperti ini.
“Bolehkah aku bertanya, Ev?”
“Silahkan.”
“Apa yang kamu lakukan ini tidak berlebihan? Bila kamu seperti ini bukannya akan menunjukkan pada semua orang?
“Perhatianmu ini akan memperlihatkan kepada dunia kalau pada akhirnya seorang Evans Colliettie kini punya kelemahan.”
“Kelemahan?” ulang, Evans dengan tangan yang bersedekap.
“Ya. kelemahan. Di mana kamu mati-matian mengucapkan bahwa cinta itu hanya omong kosong dan kini kamu—”
Alea mendadak tidak ingin melanjutkan perkataannya. Evans menghembuskan nafas seraya menatap Alea.
“Ya. Cinta hanya sebuah lelucon yang diperuntungkan bagi pria lemah di luaran sana.”
“Apa kamu tahu, Lea? Kalau aku tidak akan pernah mau menjilat ludahku sendiri untuk mengakui kalau selama ini apa yang aku yakinkan itu salah.”
“Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana jika cinta itu selalu penuh omong kosong dan juga sangat merepotkan.
"Lebih jauh dari membunuh banyak penjahat berdarah dingin yang penuh dendam yang begitu nafsu ingin menghabisi nyawaku?”
“Haah?” Mulut Alea menganga, dia heran dengan kata-kata yang baru saja didengar.
“Maksudmu apa merepotkan?”
Evans bungkam, lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela kaca dimana ruangan inap berada. Evans enggan menjawab pertanyaan Evans.
“Sebenarnya pria itu kenapa? Merepotkan macam apa coba?” gumam Alea menatap punggung Evans yang berdiri di jendela kaca tersebut.
“Bukannya aku mendengarkan kalau pria itu mengatakan mencintaiku? Apa aku yang terlalu berhalusinasi?” batin Alea lagi.
“Tidak usah memusingkan hal itu, Lea. Persiapkan lah dirimu.”
“Untuk apa?”
Evans membalikan tubuhnya lalu menatap Alea. “Tentunya, menikah denganku!”
Alea menarik nafas sejenak. “Bila aku menikah denganmu, lalu bagaimana dengan Ruby?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
mikhayla
Akhirnya Evan sama alea..seru lanjut Thor 💪
2023-02-02
0
Rizki Mawardah
lanjutan eonni buat mereka bucin akut hehe semangat eonni
2023-02-01
0
Aini Uzumaky Giuventciny
akhirnya bucin jg tu devil, wkwk, seneng deh bacany
2023-02-01
1