Leonel menatapnya dengan kesal karena Alina tak menjawab. Ia melipat tangannya ke depan dada.
"Jika kita bercerai. Sesuatu akan terjadi pada perusahaan ayahmu. Apa kau tau itu?" Leonel berkata dengan sengaja.
Alina menolehkan kepala tak mengerti. "Kau mengancam dengan perusahaan ayahku." Ucap Alina dengan nada bertanya.
"Hahaha...." Leonel tertawa hingga matanya berair.
"Tanyakan hal itu kepada ayahmu." Leonel segera bangkit dari duduknya. Lalu membuka pintu yang telah ia kunci.
Tubuh Alina merosot ke bawah. Karena rasa kepanikannya yang menguasai tubuhnya sehingga ia merasa lemas. Dia tak percaya dengan kata yang dilontarkan Leonel. Alina segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi ayahnya yang berada di dalam negeri.
Telepon segera tersambung. Dengan cepat Ayah Alina segera mengangkatnya. "Ayah!"
"Alina? Apa yang terjadi?" Hendro merasa panik kala ia di telepon oleh putrinya. Suara Alina terdengar serak. Jadi ia menghawatirkan keadaan putrinya.
Alina meneteskan air matanya. Tetapi ia harus bertanya satu hal. "Ayah, aku tidak apa apa. Hanya saja ada pertanyaan yang harus kau jawab."
Hendro bernafas lega. Lantas terseyum meski Alina tak dapat melihatnya. "Katakanlah?" Sahutnya.
"Apakah pernikahanku adalah pernikahan bisnis?" Tanya Alina.
Hendro tertegun sejenak. Bagaimana dia menanyakan akan hal ini? Apa yang terjadi. Hendro menghembuskan nafasnya dengan perlahan. "Kenapa?" Kening Hendro berkerut dalam.
"Tidak apa apa. Hanya asal bertanya." Sahut Alina.
Hendro menatap lurus ke depan kemudian segera menjawab Setelah beberapa detik. "Jangan pikirkan apapun yang membuat pikiranmu terbebani. Lebih baik kau jalani kehidupanmu dengan baik."
Alina tidak mendapatkan jawaban pasti dari Hendro. Tetapi dari suaranya yang seakan terbebani. Ia merasa curiga. Ia menyimpan teleponnya kembali ke dalam tas. Ia segera keluar dari dalam kamar itu.
Saat keluar kamar. Ia tertegun sejenak kala melihat megahnya rumah itu. Tadi saat pertama datang, dia tidak memperhatikan hal ini. Di dalam pikirannya ia hanya ingin bercerai. Tetapi setelah melihat seluruh ruangan melalui lantai dua dia ternganga dengan isi rumah itu.
"Nona. Lewat sini. Anda sudah ditunggu tuan muda di meja makan. Tuan ingin mengajak anda makan siang bersama." Suara seorang pelayan menyadarkan lamunanannya. Alina mengerutkan alisnya.
Kenapa pria itu malah mengajaknya makan siang. Alina merasa ada tidak beres. Ia melirik ke arah pelayan itu. Pelayan itu masih membungkuk mempersilahkan. Alina mendesah pelan.
"Baiklah." Alina mengangkat kakinya dan mengikuti langkah pelayan itu. Mereka menuruni tangga dan menuju ke arah ruang makan yang berada di samping kanan. Ruang makan itu terlihat luas. Terlihat ada sepuluh pelayan yang berjajar di pinggir. Hidangannya juga beragam. Nampak Leonel sedang duduk di kursi kepala keluarga dengan kepala tertunduk sedang membaca koran.
Saat langkah Alina memasuki ruang makan. Pelayan segera membungkuk dan melaporkan kedatangannya. Leonel segera melipat korannya dan memberikannya kepada pelayan.
"Duduklah. Kita makan bersama." Ujar Leonel.
"Leonel. Aku tak mengerti pemikiranmu. Apa maksudmu semua ini." Alina tak mengindahkan perintah Leonel. Dia bertanya dengan kesal.
"Jika kau ingin tau jawabannya. Maka patuhi perkataanku." Leonel berkata dengan dingin. Alina menghembuskan nafas lelah lalu mengikuti perintah Leonel. Seorang pelayan menarik kursi di samping kanan Leonel. Alina segera duduk di sana.
Pelayan segera maju dan mengambilkan makanan ke hadapan Leonel. Kemudian beralih mengambilkan makanan kepada Alina. Setelah selesai. Leonel menaikkan tangannya tanda pelayan harus pergi dari sana. Leonel menaikkan kedua tangannya dan menautkannya di bawah dagunya. Ia menatap Alina dengan kedua bola matanya yang hitam.
"Kau ingin aku anggap sebagai istri, bukan? Seharusnya kau harus menyadari sesuatu. Kau harus patuh kepadaku. Jika tidak. Maka perusahaan ayahmu yang akan hancur."
"Jadi kau menekanku di bawah perusahaan ayahku. Pernikahan macam apa jika seperti ini?" Alina merasa kesal dengan jawaban pria itu.
Leonel tersenyum mengejek. "Tiga tahun yang lalu, perusahaan ayahmu bangkrut. Dia datang kepadaku di saat semua perusahan lain tidak mau membantunya. Saat itu dia mengatakan aku harus menikahi putrinya dengan imbalan menginfestasikan uangku satu triliun ke dalam perusahaanmu. Sekarang apa kau sudah menemukan jawabannya?" Alis Leonel terangkat sebelah.
Alina terperangah. Ayahnya berkata demikian hanya demi mendapatkan uang satu triliun. "Jadi ini adalah sebuah pernikahan bisnis?" Alina tak menyangka jika ayahnya tega seperti itu.
"Tepat sekali!" Saut Leonel dengan tegas. Ia mengerti sekarang jika pria itu tidak menghiraukannya selama ini. Alina merasa punggungnya tidak ada tulangnya. Tangannya terkepal erat karena hal yang tak terduga ini.
"Sekarang kau pilih, bercerai atau tidak?" Leonel berkata dengan penuh arti.
Alina menaikkan tatapannya dan mata coklatnya kembali bertemu dengan mata hitam Leonel. Leonel tertawa sinis, membuat Alina merasa terpojok dan tidak mempunyai harga diri. Alina hanya mampu meremas tangannya dengan kuat.
"Kau harus menerima setiap momen di mana aku harus membawa wanita lain ke dalam rumah setiap harinya. Alina!" Ujar Leonel.
Alina membeku.
Leonel kemudian bangkit dari tempat duduknya setelah menyesap kopinya yang mendingin. Ia juga tak mempunyai selera makan sama sekali setelah melakukan perbincangan. Leonel meninggalkan Alina yang termenung sendirian di meja makan.
Sekarang ia mengerti. Alina meneteskan air matanya tanpa ia sadari. Alina segera bangkit dari tempat duduknya tanpa mau menyuap makanan yang dihidangkan dihadapannya. Ia keluar dari rumah mewah itu dan pergi menuju ke bandara internasional. Ia akan kembali ke negaranya malam ini tanpa mau memikirkan lagi pembahasan perceraian.
Saat tiba di negara kelahirannya sudah tengah malam. Alina langsung masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan untuknya.
Mobil melaju meninggalkan pelataran bandara menuju ke area perumahan elit di tengah kota metro. Dia adalah nyonya muda di keluarga Louis. Meskipun begitu, ia tak pernah kekurangan apapun. Hanya saja selama tiga tahun itu dia tidak dapat bertemu ataupun berbicara langsung dengan suaminya.
Ini adalah pertemuan pertamanya setelah tiga tahun tak pernah bertemu. Namun keinginannya untuk bercerai harus dipupuskan oleh pria itu yang menolaknya dengan keras. Satu trilirun! Di dalam benaknya sedang memikirkan hal ini. Jika satu triliun ini bisa ia dapatkan. Kemungkinan untuk bercirai pasti ada peluang.
Lalu? Apa yang akan dia lakukan untuk mendapatkan uang satu triliun itu. Satu triliun adalah uang yang tidak sedikit.
Mungkin karena hal inilah, Leonel tidak mau menceraikannya. Pria sepertinya tidak mau rugi. Jika dipikirkan kembali. Dibandingkan dengan perusahaan ayahny, satu triliun ini tidak bisa di dapatkannya dari perusahaan ayahnya meski sudah diakuisisi. Sebab itu Leonel enggan melepas dirinya.
Sampai disini. Alina merasakan sakit kepala. Kenapa dia tidak tau? Sampai di kediamannya. Mobil telah terhenti di depan rumah elit yang biasa ia tinggali. Sang sopir membukakan pintu, Alina segera keluar.
Saat memasuki rumah, Bik Muna yang ditugaskan untuk melayaninya segera menyambutnya dan bertanya.
"Nona, apakah perlu saya menyiapkan makanan?" tanya Bik Muna.
Sejak kejadian di luar negeri itu, ia tidak selera makan. Sekarang ia merasa sangat lapar. "Iya." Sahut Alina mengangguk.
Bik Muna mengangguk dan segera pergi setelah menjawab. Alina segera menaiki tangga menuju kamar utama.
Di dalam kamar utama itu, terpajang sebuah foto pernikahannya tiga tahun yang lalu bersama Leonel. Dirinya yang saat itu masih belia harus dinikahkan dengan pria dewasa yang berusia 29 tahun. Tentu saja umur mereka memiliki jarak 9 tahun.
Sebuah pasangan yang tidak setara. Dia seperti anak kecil yang masih memerlukan ibunya. Sementara Leonel adalah pria dewasa yang mapan dan sukses dalam bisnisnya. Alina tertawa mengejek dirinya sendiri.
Dia terlalu naif sehingga harus mendatangi pria itu meminta pertanggungjawabannya tanpa memikirkan hal lain. Seharusnya ia mempertimbangkan terlebih dahulu sebelum menemui pria itu.
Pria itu sangat sulit dihadapi.
Alina mengalihkan padangannya dari foto pernikahannya. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. Setelah ini, ia harus mencari sebuah pekerjaan. Dia harus mengumpulkan uang sebanyak yang ia bisa.
Seusai mandi dan berganti pakaian. Ia kembali menuruni tangga. Di ruang makan Bik Muna masih setia menunggu sambil tangannya meletakkan susu hangat di atas meja. Di atas meja itu terdapat beragam hidangan makanan lezat.
Alina menarik sebuah kursi dan duduk di sana. Ia segera menyantap makanan yang disiapkan oleh Bik Muna kepadanya. Bik Muna setelah meletakkan segelas susu di hadapan Alina, ia hendak pergi namuan dicegah oleh Alina.
"Bik Muna. Temani aku makan." Ucap Alina.
Bik Muna tertegun sesaat kemudian membalikkan badannya. Dan ia segera menolak permintaan Alina. "Tidak Nona. Saya tidak diperbolehkan tuan untuk ikut duduk ataupun makan bersama majikan." Tolak Bik Muna.
Alina mengerutkan dahi. Pantas saja setelah menyiapkan makanan Bik Muna memilih pergi dan makan di tempat yang sudah disediakan khusus pembantu.
Alina melirik seluruh meja makan yang penuh hidangan. "Bik Muna, aku tinggal seorang diri disini selama bertahun tahun. Aku merasa kesepian tanpa ada keluarga yang menemani. Bik Muna adalah orang tua yang tinggal disini. Bisakah Bik Muna menganggap aku anakmu. Jangan pandang aku sebagai majikan." Ucap Alina dengan sedih.
Setelah pertemuannya dengan Leonel, hati Alina terasa rumit.
Bik Muna terdiam sesaat menimang perkataan Alina. Alina memang terlihat menyedihkan. Bik Muna teringat ketika pertama kalinya gadis itu datang dengan pakaian pengantin yang indah. Wajahnya terlihat berseri seri dan bersinar cerah. Tetapi setelah acara pernikahan selesai, Leonel meninggalkannya selama bertahun tahun.
Gadis itu saat itu masih berumur dua puluh tahunan dan dipaksa menikah dengan pria dewasa seperti Leonel. Alina selalu kesepian menunggu suaminya pulang setiap malam. Hati Bik Muna merasa iba ketika melihat pemandangan ini setiap malam.
"Bik Muna. Bagaimana?" Lamunan Bik Muna seketika buyar oleh panggilan Alina. Tatapannya tersirat penuh harapan. Bik Muna adalah wanita paruh baya yang sudah berumur. Jika diperkirakan mungkin umurnya saat ini sudah hampir lima puluh tahunan.
"Nona Alina, seharusnya anda tidak pantas berbuat seperti ini. Saya sudah belasan tahun merawat rumah ini dengan baik. Peraturan di rumah ini cukup jelas untuk tidak melakukan hal yang tidak boleh dilanggar. Terlebih menganggap majikan sendiri sebagai putrinya ataupun sebagai teman." Meskipun ada rasa iba di dalam hatinya, tetapi Bik Muna mengatakan hal itu dengan tegas.
Di dalam peraturan itu, ia hanya boleh bekerja dan melayani rumah ini dengan baik. Jika memiliki pemikiran lain di batas kendalinya maka dia tidak boleh lagi bekerja di sana. Selain itu, pemilik rumah itu menawarkan gaji yang tinggi. Jika ia melanggar peraturan itu maka batas waktunya untuk bekerja akan terhenti. Dan dia tidak akan mempunyai penghasilan lagi.
Terlebih Bik Muna memiliki anak di desa. Anaknya memiliki penyakit kronis selama bertahun tahun. Dia berjuang selama bertahun tahun itu untuk menngobati anaknya yang sakit. Jadi, selama ia mematuhi peraturan ini. Maka dia akan tetap tinggal. Dan uangnya dapat ia kirim ke desa dan menyelamatkan anaknya yang sakit.
Setelah berkata dengan tegas, Bik Muna segera meninggalkan Alina sendirian di ruang makan. Alina tertegun sesaat dengan perkataan Bik Muna. Apalagi ia mengatakannya dengan wajah yang tanpa ekspresi. Persis dengan Leonel yang tidak mempunyai Ekspresi.
Mungkin, Selama di sini Bik Muna selalu mendapatkan ketegasan dari Leonel sehingga dia juga mempunyai ketegasan yang sama.
Alina menatap kosong punggung Bik Muna yang menjauh. Ia merasa kesepian. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya dan memulai makan.
Dalam keheningan itu, dia merasa hampa. Di ruang makan yang luas itu serta meja makan yang besar. Dia seorang diri memakan makanannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dinihari. Setelah selesai makan, ia lekas kembali menuju kamarnya. Bik Muna yang merapikan meja makan dan memasukkan makanan yang tersisa ke dalam kulkas.
Setelah perbincangannya dengan Bik Muna, Alina tidak lagi meminta Bik Muna untuk menemaninya. Dia terus merasa kesepian setiap hari di dalam rumah yang besar itu tanpa memiliki kegiatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 13 Episodes
Comments