Bab 7 Kau tulis batasanku Dan aku juga akan menuliskan batasanmu

Bibi Muna telah menyiapkan makan malam yang enak. Berbagai makanan telah di sajikan di atas meja. Aroma harum sup iga daging sapi memenuhi ruangan, dia juga memasak ikan asam manis, semuanya merupakan makanan kesukaan Leonel.

Alina menatap satu persatu hidangan makan malam di atas meja itu sambil mengernyitkan kening. Di atas meja itu tidak ada daging ayam sedikitpun. Semuanya berbahan daging sapi dan juga makanan ala luar negeri.

Semua makanan itu mengingatkannya sewaktu dia datang menemui Leonel di luar negeri tempo hari. Alina hanya menatapi hidangan itu tanpa selera.

Tak berapa lama Leonel datang, Alina menarik kesadarannya setelah terdengar kursi yang ditarik.

"Kenapa diam? Ayo makan." Leonel berkata dengan datar.

Alina sesekali memandangi wajah Leonel. Dia benar benar sangat takut setelah kejadian tadi.

Leonel tidak berkata apapun selain menikmati makanannya dengan diam. Sedangkan Alina menikmati makan malamnya dengan perasaan gelisah.

Leonel telah menghabiskan makanannya dalam sekejap, dia menarik tisu dan mengelap sudut mulutnya. Kemudian tatapannya tertuju pada Alina yang berada jauh dihadapannya. Meja ini memiliki panjang 2,5 meter. Tentu saja pada ukuran meja tersebut sangat sulit untuk menjangkaunya.

Gadis bodoh ini selalu membuat jarak kepadanya. Tetapi Leonel berusaha untuk tetap tenang. Diliriknya makanan dihadapan gadis itu masih separo.

"Alina!" Leonel memanggilnya dengan suara rendah.

Alina yang masih menikmati makanannya segera mendongak kala namanya disebut. "Hm." terlihat sebutir nasi menempel pada pipinya. Matanya yang coklat membola dengan bibir tipisnya sedikit mengerucut.

Leonel menatapnya dengan tatapan geli. Gadis ini, selain bodoh juga sangat jorok.

"Selesai makan, pergi temui aku ke ruang kerja." Dia segera beranjak dari kursinya dan meninggalkan meja makan.

Alina menggigit sendoknya dan menatap punggung lebar itu menjauh.

Oh gawat! Apa yang akan ia bicarakan sampai harus berbicara di ruang kerja.

Alina menarik sendoknya dan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Dia sudah gelisah semakin gelisah. Tiga hari yang lalu, pria itu menolak untuk bercerai. Sekarang, apa lagi yang akan ia bicarakan.

Selesai menghabiskan makanannya, ia minum air putih hingga setengah. Kemudian ia bergegas ke lantai dua dan menuju ruang kerja. Selama bertahun tahun tinggal di rumah itu, dia tidak pernah memasuki ruang baca yang dimiliki Leonel. Tetapi dia juga tidak perduli.

Sampai di depan pintu ruang kerja. Alina menjulurkan tangannya dan mengetuk pintu.

"Masuk!" terdengar perintah Leonel dari dalam ruangan itu.

Alina menekan handle pintu dan mendorongnya. Terlihat ruangan itu sangat bersih, tetapi Leonel hanya menyalakan lampu temaram. Jadi dia tidak dapat melihat dengan jelas isi ruangan itu.

"Kemarilah." Leonel berkata dengan datar lalu menepuk sisi sofa yang berada di sampingnya.

Alina dengan ragu pergi ke sana. Ia melirik tangan besar itu sambil menepuk sofa di sebelahnya. Hatinya sangat merinding. Dia menghentikan langkahnya di hadapan Leonel yang terhalang oleh meja.

"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan kepadaku. Tidak perlu duduk berdekatan." Ucap Alina.

Leonel menaikkan alisnya dan memandangnya. Dia tidak mengerti gadis ini selalu memberi jarak kepadanya, atau mungkin dia masih tetap meminta sebuah perceraian dengannya?

Leonel akhirnya menyerah. Mengambil sebuah kertas dan meletakkannya ke atas meja.

Alina melihat kertas yang di letakkan oleh Leonel. Kemudian Dia menaikkan alisnya.

"Jika ada sesuatu, coba katakan dengan jelas dan tulis pada kertas itu. Namun tidak untuk sebuah perceraian." Ucap Leonel.

"Kau yakin?" Tanya Alina.

Leonel mengangguk. "Sejak aku kembali, kau tidak mau tidur denganku terlebih kau memilih tidur di kamar tamu. Dan aku juga menghargai keputusanmu jika belum siap memiliki anak. Tetapi sebagai pasangan suami dan istri tidak baik jika harus tidur terpisah."

Leonel mengucapkannya tanpa ada emosi di dalam perkataannya. Alina justru merasa panik ketika Leonel memiliki sisi lembut seperti ini. Alina memandangnya dengan tatapan aneh.

Pria ini beberapa jam yang lalu terlihat sangat menakutkan, tetapi saat ini pria itu berkata lembut.

"Kau tulis batasanku selama kita berada di dalam kamar yang sama. Dan aku juga akan menuliskan batasanmu selama kau menjadi istriku." Lanjut Leonel.

Em...Kening Alina berkerut. ItKau tulis batasankuu sama saja dengan mengancam. hanya saja dia mengucapkannya dengan lembut.

"Oke." Alina hanya bisa menyetujuinya asalkan dia bisa mematuhinya.

Dia mengambil kursi dan meletakkannya didekat meja kemudian dia duduk di sana. Mengambil pulpen dan kertas yang tergeletak di atas meja.

Leonel yang melihatnya hanya mencibir dalam hati. Dasar bodoh!

Alina menuliskan beberapa yang boleh dan tidak boleh. Poin pertama, dia tidak ingin berhubungan intim termasuk **** hubungan suami istri meski berada di dalam satu kamar meski hubungan mereka adalah pasangan suami dan istri.

Poin kedua. Selama dia masih menganggap istrinya, dia tidak boleh pulang terlambat atau membawa perempuan lain ke dalam rumah itu.

Sementara Leonel juga menuliskan keinginannya.

Poin pertama, Alina harus memasakan makanan untuknya selama dia berada di rumah.

Poin kedua, saling berkomunikasi.

Poin ketiga, tidak boleh menjalin hubungan dengan pria manapun.

Setelah selesai menulis, Leonel maupun Alina bertukar kertas itu.

Alina membaca satu persatu persyaratan yang diminta oleh Leonel.

"Aku tidak bisa memasak. Kenapa tidak bibi Wati saja yang memasakkannya untukmu." Alina mengomentari poin pertama milik Leonel.

"Setidaknya kau harus berusaha untuk menyenangkan suami melalui makanan." jawab Leonel.

Alina memandangnya sekilas sambil mengerucutkan bibirnya kemudian tatapan matanya kembali memandang kertas ditangannya dan membacanya. Tanpa pikir panjang ia pun meminta nomer telepon Leonel.

"Untuk poin yang kedua, tolong beri nomer kamu." Setelah membaca poin yang kedua, Alina pun mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku celananya ke hadapan Leonel. Leonel mengambil ponsel itu dan mengetikkan nomer pribadinya selanjutnya menekan tombol hijau yang tentu saja terhubung langsung ke dalam ponselnya.

Suara dering telepon terdengar nyaring. Leonel dan Alina sama sama melirik ponsel yang tergeletak di atas meja kerja yang sedang menyala. "Sudah masuk." pungkasnya kemudian mengembalikannya kepada Alina.

"Oke." Alina memasukkan kembali ponselnya di dalam saku. Kemudian melanjutkan untuk membaca poin yang ketiga. Dia tidak masalah dengan poin yang ketiga. Karena pada poin terakhir yang ia tulis juga mengarah ke arah sana. Dia meletakkan kertas itu ke atas meja.

"Baiklah, tidak masalah. Aku setuju." Saut Alina.

"Oke. Kini giliran aku."

Leonel membaca satu persatu tulisan Alina. Saat membaca poin pertama ia mengerutkan kening. "Apakah ini termasuk bergandengan tangan?" Tanya Leonel.

"Ya." Alina mengangguk pasti.

"Bagaimana jika berhadapan dengan ayah dan ibu? Apakah masih tidak boleh?"

"Kecuali dihadapan kedua orang tua kita." balas Alina.

"Oke., Dan untuk ****, aku tidak bisa janji. Aku terbiasa melakukannya saat diluar negeri." Leonel menautkan alisnya.

"Apa maksudmu? Kalau begitu aku akan tetap tinggal di kamar sebelah."

"Tidak boleh."

"Kenapa tidak boleh?"

"Apapun yang terjadi suami dan istri tetap tinggal bersama."

"Kau memaksaku!" Alina menaikkan dagunya.

"Tidak." Leonel menggelengkan kepalanya.

"Lalu..." Alina menaikkan alisnya.

"Diamlah!" Leonel tidak bisa menahan lagi kesabarannya. Ia menaikkan nada suaranya membentak Alina. Dia juga tidak ingin berdebat dengan gadis keras kepala seperti Alina. Alina yang mendengar bentakan Leonel langsung terdiam. Suasana menjadi hening.

Leonel berusaha menahan amarahnya, ia pun menghela nafas dan menghembuskannya dengan perlahan kemudian lanjut berkata.

"Lanjut poin kedua, aku tidak masalah dengan poin kedua. Tetapi jika di luar, aku tidak janji untuk membawa wanita lain. Dan selanjutnya Aku akan berusaha pulang tepat waktu."

Alina mengangguk.

Setelah itu, Leonel mengambil pulpen yang tergeletak. Membubuhkan tanda tangan di atas nama lengkapnya. Setelah selesai, ia memberikan lembaran kertas itu kepada Alina.

"Tanda tanganilah bahwa kau setuju dengan perjanjian ini." Ucap Leonel.

"Baiklah." Alina menggapai kertas yang diberikan oleh Leonel dan membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Dan itu berulang pada kertas kedua.

Semua telah selesai di tanda tangani.

"Malam ini, kau harus tidur denganku." Ujar Leonel sebelum Alina beranjak dari kursinya.

"Ya." Alina menjawab seadanya dan berbalik pergi.

Terpopuler

Comments

Rahma Adinda

Rahma Adinda

makin seru....thor buat leonel bucin

2023-02-01

0

Evi

Evi

up lagi thoor

2023-02-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!