Tiga hari kemudian.
Di pagi hari yang masih terasa dingin. Bahkan matahari masih belum terbit, seorang wanita telah berkutat dengan aktivitas rutinnya. Membersihkan rumah, memasak, mencuci piring dan lain sebagainya. Selesai melakukan kegiatannya, dia duduk di samping anak-anaknya yang masih terlelap dalam mimpi.
Ia pandangi wajah polos keduanya, ada rasa pedih yang hinggap di hatinya. Sampai kapan ia harus melakoni hidup semacam ini? Puluhan tahun bekerja keras namun rumah pun tidak punya dan hanya bisa kos, benda berharga juga hampir tidak ada. Semua ini karena pria yang menjadi suaminya bukan pria yang bertanggung jawab.
Wanita itu tidak lain adalah ibu dari Rima, ada sedikit rasa sesak di hatinya kala memilih pria itu sebagai suaminya. Pria yang hanya bisa menorehkan luka di atas pernikahan mereka.
"Ibu... Ibu kenapa menangis?" tanya Rima kala melihat ibunya menatap dirinya dan adiknya dengan air mata berlinang.
"Tidak apa-apa Sayang, hanya sedih saja dengan kehidupan kalian. Jika saja ibu tidak memilih ayah mu sebagai suami, mungkin hidup kalian takkan sengsara seperti ini," jawab ibunya.
"Ini sudah merupakan takdir, tidak perlu di sesali Bu. Jika Ibu dan Ayah tidak menikah belum tentu kita bisa melihat dunia ini," ucap Rima.
"Oh iya, kamu benar juga Sayang. Hari ini sudah hari ke-3, jika Rama belum datang juga kita harus segera bergerak. Besok pagi kita akan mengunjungi rumah orang tua Rama dan mengatakan yang sebenarnya," balas ibunya.
"Iya Bu, aku setuju. Tapi aku masih berharap Rama akan datang hari ini," ucap Rima.
Ibunya lalu berpamitan untuk bekerja. Sementara Rima karena semua pekerjaan sudah di lakukan ibunya, ia hanya membangunkan adiknya untuk bersiap-siap pergi ke sekolah.
"Rima buka pintunya,"
Brakk... brakk... brakk...
Suara pintu di gedor begitu keras, suara khas ayahnya menggema memekakkan telinga.
"Untuk apa lagi sih ayah pulang," gerutu Rima sembari melangkah dengan malas membukakan pintu untuk pria itu.
"Lama sekali sih buka pintu saja, malas-malasan saja,"
Rima merasa dongkol, dia yang pemalas tapi dia yang menyindir. Ia memilih diam dan mengacuhkan ucapan ayahnya.
"Cepat bikinan ayah kopi, lalu cuci baju-baju kotor di dalam tas," perintah ayahnya.
Karena tidak ingin ribut, ia menuruti ucapan pria itu. Tanpa bicara dan tanpa ekspresi. Ia merasa malas di rumah melihat tingkah ayahnya yang semaunya. Ia memilih berangkat kerja lebih awal. Setidaknya ia bisa jalan-jalan atau sekedar cuci mata daripada diam di rumah.
"Mau kemana kamu, belum waktunya kerja sudah mau pergi?" tanya ayahnya sinis.
"Malas di rumah, mau mampir ke rumah teman dulu sebelum berangkat kerja," jawab Rima jujur.
"Kenapa, apa karena ada ayah?" tanya ayahnya.
"Tidak juga, sedang malas saja Yah. Aku pamit dulu, assalamualaikum,"
Tanpa menunggu respon dari ayahnya Rima langsung bergegas pergi mengendarai motornya. Motor itu adalah hasil ibunya bekerja selama ini, itu juga hanya membeli bekas bukan baru. Yang penting masih bisa di kendarai. Sedangkan ibu dan adiknya memilih menggunakan sepeda untuk beraktivitas.
Rima terus melajukan motornya tak tentu arah, ia memang tidak punya tujuan. Yang penting keluar dari rumah.
"Danu..." panggil Rima ketika melihat temannya di perempatan.
"Hai Rima, sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabar mu?" tanya Danu.
"Alhamdulillah baik. Kita duduk di situ yuk, sambil minum es," ajak Rima.
"Enak kamu sudah kerja, lamaran kerja yang kita taruh tempo dulu itu sama sekali tidak ada yang nyantol. Sampai sekarang aku masih nganggur," ucap Danu.
Mereka segera meneguk es yang mereka pesan, suasana yang begitu panas membuat mereka kehausan.
"Ya alhamdulilah, aku nikmati saja walau gajinya tidak besar. Yang penting bisa membantu orang tua. Kamu yang sabar saja, jangan pantang menyerah ya," hibur Rima.
"Terima kasih, semoga aku juga segera dapat kerjaan. Selama ini sih aku membantu ayah jualan cilok keliling, daripada berdiam diri di rumah. Malu anak pria jika hanya mengandalkan orang tua," ucap Danu.
"Kerja apa saja tidak masalah, yang penting halal insyallah berkah," balas Rima.
"Amin. Oh iya, kamu dengar tidak kabar tentang Rama?"
"Memangnya ada kabar apa, Dan?"
"Dia itu sedang jadi buronan polisi, dengar-dengar karena ikut-ikutan saudaranya mengedarkan obat terlarang," bisik Danu.
"Apa? Serius kamu Danu? Kamu tahu darimana?"
Rima terperanjat, ia tidak percaya dengan berita yang ia dengar. Pasalnya Rama bukanlah orang miskin sehingga harus mencari uang sendiri, orang tuanya cukup mampu untuk memenuhi kebutuhannya.
"Benar, aku tahu dari orang yang dapat di percaya. Itu sudah sekitar seminggu yang lalu kejadiannya, apa benar kamu tidak tahu?"
Rima menggeleng, beberapa hari yang lalu ia datang ke rumah Rama namun ibunya tidak menceritakan apapun.
"Kabarnya dia melarikan diri ke desa kerabatnya yang jauh agar tidak terlacak, semoga saja masalahnya segera selesai,"
Rima tidak terlalu mendengarkan ucapan Danu lagi. Ia sedang memikirkan keadaan kekasihnya. Pantas saja ia tiba-tiba menghilang, ternyata masalahnya sangat berat. Haruskah ia menunda memberi tahu orang tua Rama tentang masalah ini, setidaknya sampai tahu kondisi Rama sudah aman?
☆☆☆
Keesokan harinya.
"Aku mau pergi, jika kalian pergi kunci taruh di tempat biasa,"
Ayah Rima lantas pergi melajukan motornya tanpa menunggu respon dari orang lain.
"Apa ayah sudah seperti itu dari dulu, Bu?" tanya Rima.
"Sebelum punya anak dia tidak begitu, tapi setelah kamu lahir kelakukannya makin menjadi. Apalagi beberapa tahun ini, kamu tahu sendiri bagaimana sikapnya," jawab ibunya.
Keduanya menghela napas dalam. Tidak dapat mengatakan apa-apa lagi.
"Oh iya, kamu cepatlah bersiap. Mumpung ibu masuk sore, kita harus segera ke rumah orang tua Rama," imbuh ibunya.
"Tapi, Bu..."
"Kamu mau menunggu apa lagi, perut mu akan makin membesar. Kamu harus segera menikah, ibu harap orang tua Rama juga menginginkan solusi yang sama,"
Rima setuju dengan ibunya, hanya saja ia masih merasa kasihan dengan masalah yang Rama hadapi saat ini.
"Baiklah, aku siap-siap dulu. Tapi nanti bicaranya hati-hati ya Bu, aku takut orang tua Rama menolak ku," ucap Rima ragu.
"Mereka harus menerima, tidak mungkin menggugurkan bayi itu,"
☆☆☆
"Assalamualaikum,"
Rima memencet bel rumah Rama. Tak berapa lama, adik perempuan Rama membukakan pintu untuk mereka dan mempersilahkan masuk.
"Eh Rima, ini ibunya Rima ya?" tanya ibunya Rama.
"Iya Bu, saya ibunya Rima,"
"Sebentar ya, saya buatkan minum dulu,"
"Tidak perlu repot Tante, kita hanya sebentar,"
"Ya sudah kalau begitu. Tumben kesini sama ibunya, apa ada hal serius?" tanya ibunya Rama.
"Begini Bu, sebenarnya..."
"Bu, nenek telepon katanya Mas Rama tidak ada di sana. Dia pergi katanya,"
Belum selesai berbicara, adik perempuan Rama muncul dengan kabar mengejutkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Alifia Najla Azhara
waduh jangan 2 Rama kabur
2023-02-19
0
SBY army
huh gemes, lanjut thor
2023-02-11
0