Hari pun silih berganti.
Tidak terasa telah seminggu sejak dirinya pergi ke dokter bersama Rama waktu itu. Rima belum juga berani mengatakan yang sebenarnya kepada orang tuanya. Begitu pun Rama, ia juga bercerita jika orang tuanya belum tahu masalah mereka.
Semakin hari Rama makin susah di hubungi, di telepon hampir tidak pernah di angkat. Di kirimi pesan juga lama sekali membalasnya. Rima kian kuatir, ia takut pria itu akan mengingkari janjinya.
"Apa sebaiknya aku langsung ke rumahnya saja ya nanti, mumpung sekarang dapat jatah libur," ucap Rima.
Gadis itu mengambil kesempatan saat ayahnya sedang keluar, namun ibunya ada di rumah karena hari ini juga libur.
"Bu, aku mau keluar sebentar. Mau beli kebutuhan ku di minimarket," pamit Rima.
"Iya Nak, hati-hati jangan ngebut ya," balas ibunya.
Rima mengangguk, gadis itu bergegas ke rumah kekasihnya. Sesampai di sana rumah Rama terlihat sepi, ia memberanikan diri memencet bel. Beberapa saat kemudian ibunya Rama membukakan pintu untuknya.
"Eh Rima, ayo masuk," ucap ibu Rama dengan ramah.
"Terima kasih, Tante," balas Rima.
"Sudah lama sekali tidak pernah main kesini, semenjak kalian lulus sekolah. Kata Rama kamu sudah bekerja ya sekarang?"
"Iya Tante, tapi hanya menjaga konter handphone. Bukan bekerja kantoran,"
"Tidak masalah yang penting ada kesibukan, daripada Rama hidupnya hanya main-main saja. Bekerja baru 2 hari sudah berhenti, mudah bosan dia. Tunggu ya Tante bikinin minum dulu,"
Ibu Rama bangkit untuk membuatkan minum namun Rima mencegahnya.
"Tidak perlu repot-repot Tante, saya kesini mau bertemu dengan Rama," ucap Rima.
"Loh memangnya Rama tidak cerita ya sama kamu? Dia sedang ke desa neneknya, baru 2 hari yang lalu berangkat. Mungkin agak lama di sana. Memang agak pelosok tempatnya jadi jarang ada sinyal juga sih,"
Jantung Rima terasa berhenti berdetak, bagaimana bisa pria itu pergi di saat ada masalah besar yang sedang mereka hadapi. Ingin rasanya ia berteriak dan memberitahu ibunya Rama tentang kebenaran ini, namun tak sepatah kata pun yang mampu terucap dari bibirnya saat ini.
Kepalanya tiba-tiba pusing, tubuhnya limbung tak ada kekuatan sama sekali. Ia tidak dapat mendengar lagi ucapan ibunya Rama. Ia terbangun setelah mencium aroma menyengat minyak kayu putih di hidungnya.
"Syukurlah kamu sudah sadar, kamu kenapa tiba-tiba pingsan Rima?"
Ternyata dia masih hidup walaupun sebenarnya ia sudah ingin mati saja, ada ibunya Rama di sampingnya.
"Aku kenapa, Tante?" tanya Rima.
"Kamu tadi pingsan, apa kamu sedang sakit?" tanya ibunya Rama.
Rima menggeleng pelan.
"Mungkin hanya kelelahan. Aku pamit dulu ya Tante, maaf sudah merepotkan," ucap Rima.
"Tapi keadaan kamu masih lemah, istirahat saja dulu di kamar Rama. Kalau sudah baikan, baru nanti pulang," pinta ibu Rama.
Rima berpikir sejenak, mungkin dirinya bisa mencari sesuatu di kamar Rama. Sebuah diary atau petunjuk lain tentang perasaan pria itu terhadapnya.
"Baiklah, aku akan istirahat sebentar. Terima kasih ya, Tante,"
Rima mengikuti ibunya Rama, ia berbaring di tempat tidur kekasihnya itu. Rasa rindu mulai terasa di dalam sanubarinya.
"Istirahat saja dulu ya, tante tutup pintunya agar kamu bisa tidur dengan tenang,"
Sepeninggal ibunya Rama, ia segera bangkit. Ia mulai mengamati semua yang ada di kamar kekasihnya. Buku, mainan, lemari pakaian semua tidak lepas dari pengamatannya. Mungkin dia memang lancang, namun ia hanya berupaya mencari petunjuk tentang perasaan pria itu yang sesungguhnya.
Ia mengembalikan semua barang ke tempat semula. Tidak ada hal berarti yang ia temukan, hanya buku-buku berisi nama mereka berdua. Ia memutuskan untuk segera berpamitan.
"Betapa teganya kamu meninggalkan aku sendiri di sini Rama, kamu begitu kekanakan," ucap Rima.
Gadis itu pergi dengan sejuta rasa kecewa di hatinya. Pria yang seharusnya mendampinginya dalam menyelesaikan persoalan ini justru lari menghindar. Sekarang ia benar-benar rapuh, lemah dan tidak berdaya.
☆☆☆
"Lama sekali perginya Rima, loh mana belanjaannya?"
Rima lupa akan alasannya tadi keluar, ia tidak membawa apapun di tangannya. Rasa kecewa yang teramat dalam membuat dirinya sedikit linglung.
"Yang mau aku beli sedang kosong, Bu," jawab Rima sekenanya.
Hari ini rasanya dirinya malas melakukan hal apapun. Ia hanya ingin rebahan.
Tring... tring...
Sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya, dengan malas ia membukanya. Matanya menjadi berbinar tatkala muncul nama kekasihnya di pop up pesan wa.
[Rima, kata ibu tadi kamu ke rumah ya. Maaf aku tidak memberi kabar pada mu. Aku sedang mendapat masalah besar, aku harus sembunyi sementara waktu. Setelah kembali, aku berjanji kita akan segera menikah. Aku tidak bisa sering menghubungi mu. Aku takut ponsel ku di sadap. Jaga diri baik-baik ya, aku sayang kamu.]
Walau hanya sebuah pesan namun mampu menentramkan hatinya yang sedang cemas. Setidaknya prasangka buruknya salah, Rama bukan menghindar dari masalah mereka namun pria itu pergi karena masalahnya sendiri. Ia berharap itu bukan hanya sebuah alasan untuk mengulur-ulur waktu.
"Sebenarnya apa masalah mu Rama? Mengapa sampai pergi dari kota ini? Apakah begitu berat sehingga orang tua mu bahkan tidak mampu melindungi mu?"
Hati Rima di penuhi tanda tanya. Namun ia sedikit merasa lega karena ternyata Rama tidak meninggalkannya.
"Siapa wanita itu, kenapa kamu bawa kemari?"
"Itu bukan urusan mu, minggir kamu,"
Rima yang mendengar suara keributan di depan segera bangkit.
"Ada apa Bu, kalau bertengkar jangan di luar. Malu jika di lihat tetangga," ucap Rima.
"Ayah mu tadi membawa wanita kesini, banyak tetangga yang mengatakannya tapi dia tidak mau mengaku," ibunya menjawab dengan berurai air mata.
"Apa benar itu, Yah?" tanya Rima.
"Kamu masih kecil, jangan ikut campur urusan orang tua. Cepat masuk," hardik ayahnya.
"Tidak mau. Berhenti menganggap ku sebagai anak kecil, aku sudah cukup dewasa untuk mengerti. Mengapa ayah selalu membuat ibu terluka?"
Kali ini Rima tidak dapat menahan diri lagi. Ia tidak ingin berdiam diri terus-menerus menghadapi kesewenangan ayahnya yang selalu membuat ibunya menderita. Sudah membanting tulang sedemikian rupa, sering di pukul dan sekarang begitu tega ayahnya membawa wanita lain ke rumah mereka.
"Jangan mentang-mentang sudah bisa cari uang sendiri, kamu berani menentang ayah mu. Cepat masuk!"
Dengan kasar pria itu menarik dan mendorong tubuhnya untuk masuk ke dalam rumah.
"Hentikan, jangan ganggu putri ku,"
Ibunya berusaha menolong dirinya namun justru di pukul oleh ayahnya. Tetangga yang takut hanya bisa menonton dan menyuruh mereka untuk tidak melawan.
"Bunuh saya kami semua Yah, supaya ayah puas. Setelah itu tidak ada yang akan menghalangi ayah untuk berbuat semaunya," teriak Rima.
Plakkk... plakkk...
Sebuah tamparan dan pukulan mendarat di tubuh gadis itu. Ia terhuyung, jatuh lalu tidak sadarkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Zenun
waduh si Rama
2023-07-10
1
Alifia Najla Azhara
jahat bgt ayahnya. pgen tak cincang ae
2023-02-19
0
Alkenzie
mungkin, mungkin juga iya
2023-02-12
0