"Aku yang punya kendali terhadap Anja dibanding siapapun! Termasuk semua yang ada di rumah ini. Aku anak lelaki yang memiliki kuasa penuh terhadap kalian. Berani menentang, silakan angkat kaki dari sini!" Guntur berkata begitu congkak, seakan kedua orang tuanya tidak berarti apapun.
Tapi, memang begitulah aturan dalam keluarganya. Jika anak lelaki itu sudah dewasa menikah dan mapan, maka dialah penguasa dalam keluarga tersebut. Karena, sejatinya seluruh harta milik orang tuanya secara otomatis telah menjadi miliknya. Puspita bahkan tidak berhak menuntut karena dirinya wanita. Apalagi, harta yang Guntur punya adalah warisan dari ayah kandungnya.
Lalu kenapa ia seakan tak punya kuasa untuk menolak pernikahannya dengan Anja?
Tentu saja, ia merasa keluarga wanita cantik yang telah pernah sekalipun berarti dimatanya itu merugikan dirinya. Guntur tak rela mengeluarkan harta sedikitpun jika tak ada timbal balik.
Apakah iya seperti itu?
Tak ada yang menjawab lagi, hingga Guntur berlalu pergi.
Tak lama kemudian, Mega naik ke lantai atas berniat memerintahkan Anja untuk bekerja membersihkan rumah mereka. Sementara dirinya akan pergi arisan dengan kawan-kawan sosialitanya.
"Anjali, pingsan?"
"Wah, banyak sekali uangnya. Darimana kau dapat? Apa dia melacuur?" Mega segera menghambur ketika tatapannya menangkap uang tergeletak di atas lantai. Wanita paruh baya dengan sanggul tinggi serta anting besar di telinganya, secara mengambil beberapa lembar uang yang berserakan di sekitar Anja. Tanpa memperdulikan menantunya yang pingsan dari semalam.
Anja seketika bergerak pelan, ia kembali pada kesadarannya.
"Jangan, Bu. Itu uang Anja buat lahiran," lirihnya pelan.
"Masa bodoh! Kau lahiran tinggal lahiran saja. Uang ini lumayan buat tambahan shopping!" Mega menyeringai sambil mengipasi wajahnya sebab lembaran uang milik Anja.
"Anja mohon, Bu.!"
"Halah, Nanti kau melacuur saja lagi!
Mega pun berlalu, tanpa memperdulikan teriakan lemah dari wanita yang tidak pernah ia anggap menantunya itu. Hatinya sama kaku dengan sanggul dan sasak yang menghias kepalanya.
"Uangku, kenapa diambil ...," Anja berkata lirih sambil berupaya untuk bangun. Seluruh tubuhnya terasa ngilu karena semalaman tidur di lantai. Meskipun beralaskan dengan karpet. Namun, karena Anja juga kekurangan nutrisi maka jadilah tubuhnya lemas tak bertenaga.
"Syukurlah. Susunya tidak di buang oleh mas Guntur." Anja menghampiri tempat sampah seraya memegangi kepalanya yang pusing. Mengisi gelas berisi air biasa lantaran air panasnya telah habis semalam. Kemudian ia mengisi gelas yang ia cuci dahulu di wastafel dengan susu bubuk, mengaduk sebentar kemudian menenggaknya hingga tandas.
Setidaknya, Anja telah mengisi perutnya dengan nutrisi penting bagi calon bayinya itu. Setelahnya, ia membersihkan tubuhnya. Setelah selesai ia berpikir bagaimana caranya keluar dari rumah.
Ketika, Anja sedang bingung dan termenung di pinggiran tempat tidurnya. Tiba-tiba, pintu kamar di buka. Anja langsung berdiri dan bersikap waspada. Tubuhnya masihlah lemah untuk menerima perlakuan buruk lagi.
"Papa!" sentak Anja lantaran kaget. Ternyata yang membuka pintu kamarnya adalah Santoso. Papa mertuanya yang takut istri itu. Sebab, pria itu hidup dari Mega. Semua fasilitas yang ia punya berasal dari sang istri yang lebih tua tiga tahun darinya. Santoso memiliki wajahnya yang lumayan tampan. Karena itu lah Mega mau menghidupinya dengan mengangkat derajatnya dari jalanan.
"Maaf, bukannya, Papa tidak mau menolong apalagi membelamu. Kau tau kan bagaimana posisiku di dalam keluarga ini. Bahkan, lantaran tidak satu marga, maka, Papa tidaklah memiliki kuasa apapun di rumah ini. Papa, tidak mau jika hidup di jalanan lagi." Santoso, mendorong piring berisi beberapa lembar roti bakar. Memperhatikan bagaimana, Anja mengunyah makanan itu dengan cepat.
"Sebaiknya, kau carilah pria itu minta dia menebusmu. Sebelum keluarga ini membunuhmu secara perlahan. Kelahiran, dari anak yang kau kandung. Tidak akan mengubah semuanya," ucap Santoso lagi sambil sesekali melirik keluar kamar. Padahal ia telah memastikan jika semua penghuni rumah ini keluar.
"Terimakasih, Pa. Begini saja sudah sangat menolong. Tapi, kalau harus meminta tolong pada mas Arka. Anja malu, Pa. Anja telah mengecewakan pria sebaik dia. Bahkan, selama ini mas Arka diam-diam membantuku. Memberi uang untuk biaya bersalin dan membeli makanan bergizi. Tapi, mas Guntur mengetahuinya dan mama mengambil seluruh uang simpanan itu." Dengan mata yang mendung, Anja menunjukkan sisa uangnya yang hanya tinggal beberapa lembar berwarna hijau dan kuning saja.
Hal itu, membuat Santoso berdecak. Pria berhati baik tapi takut miskin itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Papa cuma punya segini. Ambillah, buat beli susu dan makanan. Cucuku harus sehat. Jika ada kesempatan, Papa juga akan keluar dari rumah ini." Santoso tampak memejamkan kedua matanya seraya mencengkeram kedua lututnya.
"Apa yang sebenarnya membuat Papa bertahan di sini? Papa tidak akan kelaparan ketika keluar dari rumah ini, Pa." Anjali yang tidak tau apa-apa sedang bingung. Kenapa Santoso mau bertahan dengan sesekali menelan hinaan dan tatapan remeh keluarga Mega.
" Akan ada saatnya, Nak. Papa tidak akan keluar dengan tangan kosong. Tunggu, sampai semua rencana ku berhasil. Sampai aku mengantongi kelakuan bejat Mega di luar sana." Sekali lagi, Santoso berkata dengan rahang yang mengeras.
"Pa, hari ini jadwal Anja periksa ke puskesmas. Tapi, mas Guntur melarang ku keluar rumah. Sementara Vitamin sudah habis." Anjali, berharap jika papa mertuanya mau membantunya keluar dari rumah ini.
"Keluarlah, dan pulang sebelum jam tiga." Santoso berkata tanpa menoleh. Ia kemudian langsung keluar dari kamar Anja dengan sebuah rencana, mumpung rumah sepi pikirnya. Hingga, ia tak mendengar ucapan terimakasih dari menantunya itu.
Dengan mengendap ia memasuki sebuah ruangan yang di kunci menggunakan kode. Santoso menyeringai penuh kemenangan, kala ia berhasil membuka pintu tersebut. "Tunggu pembalasanku, Mega ku sayang."
Anja beringsut hendak membersihkan dirinya, di depan kaca wastafel ia melihat ke arah perutnya.
"Kakek, sangat baik pada kita, sayang. Kelak kamu harus menghormatinya." Anjali berkata seraya mengusap perutnya yang terlihat membuncit. Anja akhirat bisa keluar rumah, ia mengenakan sweater karena udara di luar agak berangin.
Kemudian ia berjalan keluar sambil memeluk tas yang berisi data-data pemerikasaan. Hari ini, dokter akan melakukan tes ultrasonografi pertama. Untuk melihat perkembangan janin dalam kandungannya. Ingin berpamitan pada Santoso, namun Anja tidak melihat sosok itu di setiap sudut rumah yang sepi ini. Dimana pria itu? Anja enggan memikirkannya, ia tak ingin menyia-nyiakan waktu yang hanya sebentar ini.
Ketika di luar rumah, Anja sengaja mengambil jalan memutar yang tidak akan melewati jalan menuju rumah makan Puspita. Karena itulah, ia tak bertemu dengan pria yang berjongkok di samping motor menunggunya di depan sebuah bengkel.
Arka terlihat berdecak dan sesekali melongok ke ujung jalan.
"Kemana ya? Kok belum lewat juga? Apa gua salah baca jadwal?" Sontak, Arka pun mengeluarkan ponselnya dan mengecek bagian agenda.
Karena, biasanya Anja akan melewati tempat ini ketika berangkat menuju puskesmas. Namun, tanpa sepengetahuan pria berahang tegas dengan bahu kekar ini. Anja telah memutar arah. Sebab, Anja akan berjalan kaki demi mengirit pengeluarannya.
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments