Pria yang bernama Santoso itu hanya bisa diam saja. Meskipun ia tau bahwa apa yang dilakukan oleh anak dan istrinya itu salah. Santoso masih menumpang, mobil yang ia gunakan serta perusahaan yang dapat memberikan hidup mewah padanya juga milik Mega.
Jadilah Santoso memiliki titel sebagai suami takut istri. Dirinya sudah tak memiliki keluarga, karenanya ia hidup sebatang kara di kota ini. Bagaimana jika nanti Mega membuang dirinya ke jalanan. Santoso sudah terbiasa hidup serba berkecukupan. Jadilah, ia pura-pura tuli dan buta atas apa yang terjadi di dalam keluarganya.
Meskipun, terkadang nuraninya mendorong untuk menolong, Anja. Ketika, sang istri bertindak semena-mena terhadap anak menantu perempuannya yang sangat rajin dan lemah lembut itu.
Sisi kebapakannya terkadang teriris, tapi ... sekali lagi, Santoso tidak siap jika menjadi gembel saat ini.
__________
"Anjali pasti lagi kerja di warung kakak iparnya. Mana rame banget lagi tuh!" gumam Arka yang mengintip dari seberang, karena memang bengkel dan warung makan kakak dari suami Anja ini bersebrangan dengan bengkel tempat ia bekerja.
"Kalau aja aku kaya. Aku udah pasti akan mengeluarkan kamu dari sarang tirani itu. Sayang, aku tak berdaya. Maafkan aku, Anja." Arka berhenti sejenak dari pekerjaannya, hingga teriakan dari bos mengembalikan lamunannya.
Seperti biasa, setiap pagi Anja akan bekerja pada sang kakak ipar untuk menjadi pelayan di warung nasinya. Kebetulan warung nasi milik Puspita, terletak di tempat yang sangat strategis. Dekat dengan pabrik, bengkel besar, showroom mobil dan juga rumah sakit. Jadilah warungnya selalu ramai di kala jam makan siang.
"Anja! teriaknya kencang.
"Iya, Kak. Kakak gak perlu teriak seperti itu. Kasian tenggorokannya. Lagipula, aku kan dekat. Bukan di tengah jalan raya sana." Anja berkata dengan nada pelan namun, bernada sindiran. Ia sudah muak karena Puspita selalu berteriak padanya.
"Halah, banyak protes lu! Di sini gue bos-nya! Terserah gue mau teriak apa enggak. Lu kerja aja yang bener atau gak gue gaji, mampus lu!"
"Sana! Bersihin tuh meja sebelah situ. Terus ... cuci piring-piringnya, mumpung pengunjung lagi sepi!" teriak Puspita membuat gendang telinga hampir pecah.
Tak sampai di situ, Puspita terus memerintah, Anja melakukan apapun. Walaupun dirinya tau jika sang adik tenaga berbadan dua. Suaranya benar-benar membuat kegaduhan di siang menjelang sore itu.
Anja, pun meringis sebelum menjawab perintah sang kakak ipar dengan anggukan lemah. Ia memijat tangannya sekilas, tanpa sepengetahuan sang kakak. Kemudian kembali mengangkat peralatan makan pengunjung dan memasukkannya kedalam bak bundar. Setelahnya, Anja akan membersihkan meja satu persatu.
Sekedar informasi, di warung tersebut terdapat sekitar lima belas meja dengan empat kursi di setiap mejanya. Berhubung waktu makan siang baru saja lewat, tentu saja bekas makan para pelanggan pun sangat banyak.
"Kerja jangan lemes gitu kenapa! Cepetan yang gesit! Gua kagak gaji, mampus lu kagak bisa periksa hamil!" bentak, Puspita yang memang selalu saja memarahi, Anja dan mengancam tidak memberi bayarannya, jika tidak bekerja dengan sempurna.
"I–iya, Kak! Setelah ini aku langsung nyuci piring!" sahutnya takut. Ancaman dari Puspita sangat berefek membuatnya kelabakan. Bagaimana tidak, dari gajinya yang tidak seberapa itu ia mampu membeli kebutuhannya serta sedikit menabung untuk biaya lahiran nanti.
"Ya Tuhan. Aku capek sekali. Perutku juga lapar. Kak Puspita sangat kejam. Seharusnya biarkan aku mengisi tenaga dulu," lirih, Anja seraya meremas perutnya yang perih. Mau tidak mau, demi mengganjal rasa lapar itu, wanita berkulit putih itu mengambil sisa makanan dari piring bekas pengunjung. Ada telur balado yang tinggal setengah juga potongan ikan kembung. Anja memasukkan makanan itu kedalam mulutnya dengan linangan air mata.
Bukan menyesali atau meratapi nasib. Akan tetapi sebaliknya. Anja, justru bersyukur ketika para pelanggan itu tidak menghabiskan makanan mereka. Sebab dengan begitu, dirinya selamat dari kelaparan dan menjaganya dari bahaya sakit maag.
"Bunda, akan melakukan apapun demi kamu, Nak. Kamu harus tumbuh besar dan sehat." Anja bermonolog sendiri sambil mengusap lembut perutnya yang sedikit buncit itu. Kemudian, kembali menggosok peralatan kotor dengan spon yang mengeluarkan busa.
"Sudah jam empat. Aku pulang ya Kak," ucap Anja meminta ijin. Akan tetapi ia tetap berdiri di samping meja kasir. Sampai Puspita memberinya uang dua puluh ribu barulah ia akan berlalu. Bekerja dari jam sembilan pagi, hingga jam empat sore.
Dengan bayaran di bawah standar. Mungkin, jika dirinya bekerja di cafe ataupun rumah makan Padang di sekitar situ. Bayarannya akan lebih besar. Mau bagaimana lagi, Anja memang ingin bekerja di tempat lain tapi tidak diperbolehkan.
Ibu mertua yang tak lain, mama dari Guntur suaminya, mengancam. Jika, Anja bekerja di tempat lain, maka seluruh gajinya akan di ambil untuk membayar hutang. Tentu saja, Anja keberatan. Dirinya sedang mengandung keturunan keluarga Santoso.
Bagaimana jika nanti, ia di buang? Bagaimana nasib anaknya kelak? Setidaknya, Anja berpikir jika dirinya masih memiliki kesempatan untuk membuktikan kebenaran. Bahwa, anak yang dikandungnya saat ini adalah benih dari Guntur, suaminya.
"Hari ini sangat berat, karena warung begitu ramai. Akan tetapi, Kak Puspita hanya menambah lima ribu dari upah biasanya. Seluruh badanku rasanya sakit semua. Belum, nanti dirumah. Pasti pekerjaan lain sudah menungguku," gumam, Anja lesu, kalau bisa mungkin wanita muda ini sudah ingin mengibarkan bendera putih. Ia ingin menyerah saja dari cobaan hidup yang menerpanya.
__________
"Anja, kamu sudah pulang, kan. Oh iya, nanti masak rendang sama sop komplit ya. Ingat ... jam enam harus sudah selesai. Dan cucian di keranjang besar itu harus kau setrika sampai rapi. Ingat jangan dulu tidur sebelum jam sembilan!" Sontak perintah dari Mega, membuat kedua lutut Anja seraya mau lepas dari sendi.
Ia lantas memegangi bawah perutnya yang seketika memegang kencang. Ia merasa seperti pembantu ketimbang menantu. Tak ada perhatian sedikitpun dari ibu mertuanya ini.
"Mami, percaya jika kamu kuat sayang. Ayo kita harus bertahan ya." Anja mengusap perutnya setelah meletakkan tas di atas meja dapur. Kemudian ia mulai mencuci dan memotong daging.
Sesekali, air mata itu akan menetes merenungi nasibnya yang bagaikan terjebak dalam penjara. Apalagi tadi ia melihat, jika ibu dan adik tirinya sedang makan bakso di warung yang terletak tak jauh dari rumah makan milik Puspita.
Setidaknya, Bayu, sang adik tiri yang berusia sembilan tahun itu tidak hidup kekurangan. Anja menyayanginya, sebab sang papa menikahi ibu tiri ketika Bayu masih berusia tiga bulan.
Karenanya, Anja telah menganggap Bayu seperti adik kandungnya sendiri. Tapi, entah mengapa, Ibu Sari tidak bisa menganggapnya sebagai anak kandung yang di sayangi.
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Itarohmawati Rohmawati
lanjut beb
2023-01-14
1