Langit yang masih hitam kini menampakan warna berbeda, mentari terbit dari ufuk timur, memperlihatkan gradasi warna yang indah, tak semua dapat menyaksikannya, tapi aku begitu menantikannya.
Pagi-pagi sekali aku menemui ibu ku di dapur, wajah renta dengan beberapa urat di tangan keriputnya kini mulai terlihat, air mata ku ingin turun, saat aku menyadari, harusnya di usianya yang hampir menginjak kepala 7 aku sebagai anak harusnya berada di sisinya, memberikan kebahagian bukan lagi kecemasan.
"Assalamualaikum ibu." ku ciumi kedua telapak tangannya dengan penuh suka.
"Waalaikum salam Za, ibu tidak sedang bermimpi kan Za?" jawabnya dengan air mata yang mulai turun.
"Iya Za pulang, Za rindu ibu." aku memeluknya, pelukan terhangat yang selalu dan satu-satunya ku dapat, hanya ibu yang dapat memeluk ku, hanya ibu yang tau siapa anak perempuan yang dingin ini.
"Kamu terlihat lebih kurus Za, bagaimana kamu bahagia?'
Kata yang tidak pernah aku dapat dari siapapun, kecuali ibu, hanya dia yang selalu menanyakan kebahagian ku, aku hanya bisa mengangguk.
"Sudah bertemu bapak?" tanya beliau.
"Belum, baru ketemu bang Fahri dan ibu."
"Za, jika nanti bapak meminta sesuatu cobalah berfikir positif, ibu tau kamu tidak akan tinggal lama di sini, jadi tolong berfikir positif."
"Memangnya bapak mau bicara apa Bu?"
"Nanti kamu juga akan tau sendiri, sekarang temui bapak mu di halaman belakang ya nak."
Meninggalkan ibu di dapur, kini aku berada di sebelah bapak, bapak ku memang sedikit keras, tapi dia tetap pria terbaik yang ku punya, dia tidak pernah memanjakan ku, bahkan dia yang mendaftarkan ku untuk ikut kegiatan bela diri.
"Sampai kapan kamu akan meninggalkan rumah ini? apakah hidup sendiri di Jakarta lebih senang? bapak dengar kamu sekarang jadi model terkenal, bahkan sampai membintangi iklan kosmetik di tv? memang kamu cantik? kamu itu tidak cantik Zana!"
"Aku sadar diri kok pak, aku memang tidak pernah jadi cantik di mata bapak, maaf tapi pekerjaan Za bukan keinginan Za, Za hanya melakukan apa yang Za bisa, kalau bapak memang tidak suka, semua adalah hal bapak."
"Berhentilah nak, bapak ingin kamu jadi ibu rumah tangga saja, lebih baik."
"Pak..."
"Za, jadi model dan bintang iklan itu memamerkan apa yang seharusnya tidak di perlihatkan, bagi sebagian orang wajah mu itu juga bisa mengundang Syahwat."
"Pak,"
"Za, bapak sudah memilih calon untuk mu, menikah agar bapak tenang, setelah itu semua jalan mu kamu yang pilih."
"Dari awal Za sudah memilih jalan Za sendiri, tapi kali ini Za menolak, Dua bulan lagi Za akan pergi ke Qatar, Za harap bapak dan ibu merestui Za, mungkin setelah dari Qatar Za punya jawaban atas permintaan bapak."
"Baiklah dua bulan, Bapak memberi waktu pada mu, setelah kembali dari sana, bapak menagih jawaban mu."
Kesepakatan tetap kesepakatan, lagi pula Allah maha membolak-balikkan hati, aku hanya menurut pada sekenarionya, semoga hati ku benar-benar di beri keyakinan.
Aku kembali ke dapur untuk membantu ibu, menatapi wajah ibu membuat ku merasakan getir, selama ini aku terlalu egois, meninggalkan mereka demi mencari pelampiasan kemarahan ku sendiri, ya Rabb maafkan hamba mu ini, jahat sekali hamba mengabaikan rindu ibu hamba sendiri.
"Bu, besok siang Za harus sudah pulang ke Jakarta, Za minta doa dari ibu, semoga Za di beri jalan dan kemudahan, Za bukannya tidak sayang sama kalian, tapi Za belum selesai dengan tanggung jawab Za pada perusahaan, Za minta maaf Bu."
"Zana, anak ibu yang paling ibu sayang, ibu selalu berdoa semoga kamu selalu di lindungi, ibu bahagia jika kamu bahagia, pilih jalan mu sendiri sayang, ibu selalu mendoakan."
Setelah makan siang dan sholat Zuhur terlebih dahulu, Bang Fahri pulang ke rumah dengan membawa buah lengkeng kesukaan ku, entah mengapa di banding buah lainnya aku lebih suka buah ini.
"Bang, banyak sekali?"
"Iya Za, di kebun memang sedang panen, mangkanya Abang bawakan untuk mu."
"Makasih Abang, Za doakan semoga Abang selalu bahagia."
"Za, kamu menerima tawaran bapak?" Sambil mengupas kelengkeng yang Abang bawa, aku sedikit berpikir, benarkah aku menerima tawaran bapak?
"Sebenarnya belum, baiklah bang jangan bahas Za, lalu bagaimana dengan Abang sendiri, belum adakah pengganti?"
"Siapa yang menggantikan siapa Za? Dia gak bisa di gantikan oleh siapapun." menerawang jauh ke masa lalu, aku pernah mendengar Abang dan kakak ipar ku berbincang untuk menggugurkan kandungannya.
"Jika kak Ratna memilih untuk menggugurkan janinnya saja, apakah ada kesempatan untuk dirinya bertahan? ataukah sekarang Abang bisa menerima takdir dengan tidak memiliki anak?" entah mengapa, lancang sekali mulut ini.
"Maaf bang, tak usah di beri jawaban." Aku beralih, berdiri ingin meninggalkan Abang, namun tangan ku di cegah.
"Duduk dulu, dari mana kau tau Abang pernah berdebat tentang masalah itu?"
aku diam, namun aku tak mau Abang ku semakin sedih.
"Aku tak sengaja mendengar perdebatan kalian di rumah waktu itu."
"Za, Abang lebih baik kehilangan seluruh hidup Abang di banding harus kehilangan dia, Abang sangat mencintai Ratna, Abang lebih baik kehilangan bayi itu Za, Abang lebih baik tidak punya anak daripada harus kehilangan Ratna, tapi Ratna ingin menjadi seorang ibu, dan sampai mati semuanya dibawa oleh Ratna."
"Maafkan Za, yang sudah membuka luka itu kembali."
"Tidak ada luka yang terbuka Za, dari dulu Abang ingin menceritakan semua ini, semua yang menggerogoti Abang, namun Abang malu karena Abang pecundang, sekarang Abang baru bisa mengutarakan semuanya, karena lukanya hampir kering."
"Bang, dua bulan lagi Za akan bertolak ke Qatar, Abang mau pesan oleh-oleh apa?"
"Mengalihkan pembicaraan?"
"Za gak mau Abang berlarut larut."
"Za temani Abang Ziarah ke makam Ratna, mau?"
aku mengangguk dan tersenyum, aku tau rindu tidak akan pernah berbalas, tapi setidaknya cinta Abang abadi dan selalu di nanti oleh kak Ratna, semoga surga menjadi tempat berkumpul keluarga kecil ini, amin Ya Allah.y
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments