Semalaman Aruna tidak bisa tidur. Hingga waktu menunjukkan pukul 6 pagi Aruna masih terjaga. Ketukan pintu terdengar. Sepertinya itu Bibi Fraya. Aruna membersihkan sisa air matanya dengan tangan. Dia tidak ingin Bibi Fraya khawatir padanya. Selama ini Bibi Fraya sudah begitu baik padanya.
“Aruna, kamu sudah bangun?” terdengar suara Fraya di depan pintu.
“Sudah bi” jawab Aruna. Dia menggunakan kekuatan Zanna yang dimiliki untuk membuat wajahnya terlihat segar.
Ceklek.
Terdengar suara pintu yang dibuka. Aruna menyambut Fraya dengan tersenyum. Fraya bernafas lega karena Aruna nampak tegar dan segar seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal dalam hati dia menahan kepedihan yang begitu dalam.
“Bibi sudah memasak sop ayam. Makanlah. Bukankah dari semalam kamu belum makan?.” Fraya berkata sambil mengelus rambut Aruna dengan sayang. Baginya Aruna sudah seperti anak sendiri.
“Terima kasih bibi, nanti akan aku makan” jawab Aruna memaksakan tersenyum.
“Jangan terlalu lama bersedih, Nenek akan ikut bersedih” kata Fraya berusaha menguatkan. Sejujurnya dia pun sangat sedih, tapi dia berusaha tegar demi Aruna. Gadis malang yang belum genap berusia 18 tahun.
“Baik bibi” jawab Aruna.
Fraya menarik pelan tangan Aruna dan mendudukkannya di dapur. Rumah Fraya hanya terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur yang sekaligus tempat makan. Dan ruang tamu yang bisa dibilang sempit.
Aruna benar-benar tidak berselera makan. Tapi demi menghargai Fraya dia tetap memaksakan untuk makan. Setelah Aruna menyelesaikan makannya Fraya pun pamit pulang dan meminta Aruna untuk beristirahat. Setelah memastikan Fraya telah pergi, Aruna langsung memuntahkan isi perutnya. Dia sangat mual dan tidak bisa menampung makanan. Mungkin karena begadang jadinya dia seperti itu.
Aruna baringkan tubuhnya di kasur sederhana miliknya. Bila sendirian seperti ini dia kembali menangis dan mengingat neneknya yang telah berpulang. Sekuat apapun akan bisa rapuh bila orang yang kita sayangi pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Entah berapa lama Aruna menangis hingga siang menyapa baru dia bisa tertidur.
Harmony bertamu ke rumah Aruna. Dia tidak sendiri, Yuanda, Arsenio bahkan Baron pun ikut datang. Mereka sudah mendengar berita tentang berpulangnya nenek dari Aruna. Sekarang tepat pukul 3 sore dan selama itu juga Aruna tidak memakan apapun. Tubuhnya sangat lemah dan hanya bisa berbaring di tempat tidur.
Ketukan pintu terdengar, Aruna mengira itu adalah Ardiaz. Dengan bersusah payah dia bangkit hendak membuka pintu. Saat membuka pintu dia melihat ke empat temannya.
“Kalian?” tanya Aruna berusaha menampakkan senyum. Wajahnya terlihat pucat dan sembab. Sepertinya efek Zanna sudah habis.
Harmony menutup mulut tidak percaya melihat penampilan Aruna.
“Kamu baik-baik saja Aruna?” tanya Harmony khawatir.
“Aku tidak apa-apa, silahkan masuk” ajak Aruna. Baru akan masuk ke dalam tubuhnya sudah limbung. Dengan cepat Yuanda dan Arsenio yang paling dekat menangkap tubuhnya.
Tubuh Aruna seringan kapas sehingga dengan gampang mereka mengangkat dan memindahkan ke kamarnya.
Harmony sudah menangis. Dia merasa kasihan melihat Aruna seperti ini.
Yuanda menepuk-nepuk pundak Harmony.
“Sudah jangan menangis”kata Yuanda menenangkan.
“Malang sekali nasib nya.” Harmony masih sesenggukan.
“Kamana Ardiaz? Biasanya dia akan selalu menemani Aruna?” Baron merasa heran karena biasanya Ardiaz akan selalu ada disamping Aruna.
Harmony yang sudah berjanji untuk merahasiakan semuanya memilih pura-pura tidak tau.
“Bagaimana kalau kita bawa Aruna ke rumahku sementara sampai kondisinya pulih?” saran Harmony.
“Ya sepertinya lebih baik begitu” Baron menyetujui saran Harmony. Tanpa menunggu Aruna sadar mereka langsung memboyong Aruna ke rumah Harmony.
…
Aruna sudah dibaringkan dikamar milik Harmony. Harmony dengan dibantu asistennya membantu mengganti pakaian Aruna dengan pakaian miliknya.
"Kamu cantik dan baik, sayang nasibmu begitu malang Runa" batin Harmony.
Harmony memang tipikal orang yang sensitif dan gampang menangis. Itu salah satu alasan dia dulu menjauh dari Aruna.
Yuanda, Baron dan Arsenio masih berada di rumah Harmony. Mereka masih menunggu Aruna sadar terlebih dahulu.
Tak lama setelahnya Aruna pun sadar, dia sudah dipakaikan obat melalui selang infus. Dokter sudah memeriksa keadaan Aruna tadi. Dugaan sementara kelelahan dan kekurangan asupan makanan.
Aruna memegang kepalanya yang sakit.
"Kamu sudah siuman Runa?" Harmony bertanya kemudian duduk ditepian ranjang.
"Aku dimana?" tanya Aruna setelah menyadari kalau ini bukan rumahnya.
"Tadi kamu pingsan, jadi aku membawamu ke rumah. Kamu bisa tinggal disini sampai kondisimu membaik" jelas Harmony.
Karena kondisinya yang drop, dia tidak bisa menggunakan sana untuk menyembuhkan diri sendiri. Butuh tenaga yang cukup banyak untuk menggunakan kekuatan itu. Mungkin karena tadi pagi Aruna sudah menggunakan seluruh tenaganya makanya dia sampai pingsan.
"Maaf sudah merepotkan mu Harmony" ucap Aruna yang merasa tidak enak.
"Jangan bilang seperti itu . Kita kan teman. Oh iya dibawah ada Yuanda, Arsenio dan Baron. Mereka yang membantu membawa mu kesini. Aku panggil mereka dulu ya" ucap Harmony kemudian memanggil ketiga temannya itu.
Tak lama mereka berempat pun masuk.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Yuanda. Pertanyaan Yuanda mewakili Arsenio dan Baron yang juga memiliki pertanyaan yang sama.
"Sudah lebih baik, terima kasih sudah membantu ku" jawab Aruna sungkan. Dia tidak menyangka disaat seperti ini malah mereka yang membantu Aruna.
Apalagi Baron dulu sering menghina dan merendahkan Aruna, tapi sekarang dia lah yang membantu Aruna.
Aruna jadi teringat dengan Ardiaz.
"Sepertinya Zanna memang memberikan kutukan padaku, pertama orang tua ku, lalu nenek dan sekarang Ardiaz juga menghilang" batin Aruna.
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya nenekmu" kata Arsenio. Bisa dibilang ini pertama kali Aruna berbicara dengan Arsenio. Dulu Arsenio tidak dekat dengan siapapun. Dia lebih suka menyendiri. Walau begitu dia tetap populer karena wajahnya yang rupawan. Meski tidak sekaya yang lain tapi Arsenio termasuk dari kalangan berada.
"Terima kasih Arsen" jawab Aruna , lagi-lagi dengan memaksakan tersenyum. Karena setiap mengingat neneknya telah berpulang dia akan merasakan sakit yang begitu dalam.
"Kamu tidak harus memaksakan diri tegar, kalau memang merasa sedih tidak apa-apa kalau menangis" ucap Arsenio pula.
Kata-kata Arsenio seolah tamparan untuk Aruna. Dia memang selalu berusaha terlihat tegar di depan orang lain padahal terlihat rapuh pun tidak ada asalkan tidak berlarut-larut.
Yuanda menyenggol pelan lengan Arsenio untuk berhenti berbicara. Apalagi wajah Aruna yang berubah sendu ketika mendengar kata-kata yang sebenarnya jujur hanya saja tidak pada tempatnya.
Sebelum Aruna semakin sedih,Baron pun memutuskan untuk undur diri.
"Karena sudah menjelang malam lebih baik kita pulang dulu." ajak Baron. Dia sudah merangkul kedua temannya.
"Cepat sembuh ya Aruna. Kalau perlu apa-apa jangan sungkan hubungi aku" kata Baron saat berpamitan.
"Terima kasih banyak Baron, Yuanda dan Arsen" balas Aruna.
Setelahnya ketiga pemuda itu pun undur diri.
Di kamar mewah milik Harmony hanya tersisa dirinya sedangkan Harmony sedang mengantar ketiga pemuda itu.
"Ardiaz.. Kamu dimana? Bukankah kamu sudah berjanji akan selalu ada disamping aku?" batin Aruna sendu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments