Bagian 2
Keesokannya...
*Nit\, nit. Nit\, nit. Nit\, nit...*
Alarm digital menunjukan pukul “6:00 AM”, tidak seperti biasanya, suara alarm itu masih belum membangunkan pemiliknya.
Di sisi lain, Yamasaki, wajahnya tampak sedikit pucat, kedua kelopak matanya juga terlihat dikerutkan seperti memaksa dirinya agar terus memejamkan kedua matanya.
Sepertinya kali ini, Yamasaki mendapati sebuah mimpi buruk yang baru saja dia rasakan.
*...nit\, nit. Nit\, nit. Nit\, nit...*
Suara alarm masih berbunyi\, lalu *tek* dirinya akhirnya terbangun membuka kedua matanya sambil mematikan alarm digital itu.
Tubuhnya perlahan bangkit, Yamasaki terduduk dalam keadaan yang sepenuhnya sadar, atau lebih tepatnya, dipaksa agar dirinya sadar sepenuhnya.
“Apa semua yang terjadi semalam, hanyalah mimpi?”
Perkataan pertamanya saat bangun dari tidur.
Raut wajahnya menunjukkan rasa tidak percaya, pikirannya tenggelam dalam kebingungan, saat membuka kedua telapak tangannya… sebuah gelang berbahan dasar logam berwarna silver sudah terpasang di lengan kanannya. Seketika saja, itu membuat ingatannya kembali menyadarinya, dan sekaligus menjawab perasaan bingung dan rasa tidak percaya yang saat ini tengah bercampur aduk.
“Tidak, ini bukanlah mimpi. Ini nyata!”
Bagian 3
Sebelum peristiwa itu terjadi. Ini terjadi saat malam kemarin.
—Pikiranku sulit melupakan keanehan itu. Tidak habis pikir, aku memungut sebuah pedang di dalam bongkahan meteorit. Bentuk dari pedang itu sendiri terlihat mirip seperti pedang bergaya eropa kuno, tetapi, dengan sebuah perubahan besar di setiap detailnya, dan uniknya detail itu dibuat seakan mengikuti perkembangan zaman modern saat ini. Kalau aku mau, aku bisa saja menjadikan diriku menjadi orang pertama yang menemukan sebuah pedang di dalam meteorit, lalu memberitakan kejadian ini kepada khalayak publik. Namun... hal tersebut terhalang oleh sebuah perspektif masing-masing setiap orang. Ada yang mempercayai, dan ada juga yang tidak mempercayainya.
Yamasaki Zen berkata dalam hati sambil berbaring di atas kasur dan menatap langit-langit rumahnya.
Sesekali melihat pedangnya yang diletakkan di atas meja belajarnya, lalu dalam diam tak berkata sedikit pun, dirinya segera bangun dari berbaringnya dan kemudian mengambil sekali lagi pedang itu dari atas meja belajarnya.
“Akan tetapi... tungsten, ya?”
Perkataannya seketika membawanya kembali saat perbincangan sebelumnya dengan ayahnya.
.
“Dari apa yang ayah ketahui dan apa yang ayah rasakan saat ini, sepertinya pedang ini terbuat dari bahan dasar wolfram, atau biasa dikenal dengan sebutan tungsten, salah satu unsur yang memiliki titik leleh tertinggi dan massa jenisnya yang tinggi, mencapai 19,3 kali massa jenis air, sebanding dengan uranium dan emas. Maka dari itu, tidak heran kalau pedangmu ini cukup berat. Bahkan dibutuhkan kekuatan yang lebih hanya untuk mengangkatnya.”
Seraya menggenggam pedang itu, ayahnya menjelaskan cukup detail kepada Yamasaki Zen. Namun, di salah satu pernyataan beliau, Yamasaki merasa ada yang janggal ketika ayahnya mengatakan ‘...dibutuhkan kekuatan yang lebih, hanya untuk mengangkatnya’, saat itu juga, dirinya teringat kembali momen ketika saat dirinya mencabut pedang itu di dalam batuan meteorit.
Sangat jelas sekali, dirinya merasa mudah sekali mencabut pedang itu, bahkan sampai lengan kanannya ikut menjadi korban setelah membentur langit-langit celah meteorit. Dan itu bahkan saling bertentangan dengan apa yang sudah beliau nyatakan sebelumnya.
—Tidak, sepertinya ada yang aneh, di sini.
Yamasaki berkata dalam hati.
“Tetapi, ayah—”
“—Hai, Zen. Bukan ayah bermaksud untuk meragukan kekuatanmu, tetapi, mengangkat pedang ini saja sudah terasa berat, lalu bagaimana cara kamu mencabut pedang itu di dalam meteorit seperti yang sudah kamu ceritakan kepada ayah?”
Beliau berpikir apa yang saat ini Yamasaki pikirkan.
“Sepertinya hal itu yang ingin aku tanyakan kepada ayah.”
Bisa ditarik kesimpulan, kejadian itu kembali hanya dirasakan oleh Yamasaki Zen seorang.
Beliau pun membuat gumam, "Hemm…", lantas kemudian beliau melanjutkannya dengan perkataan:
“…jadi kamu sendiri tidak tahu, ya? Yah, kesampingkan hal itu terlebih dahulu. Untuk besok, bisa kamu antarkan ayah ke lokasi jatuhnya meteorit itu? Ayah ingin lebih mendalami kejadian aneh yang telah kamu alami.”
“Soal itu bisa saja sih, tetapi, ada satu hal yang ingin aku beritahu... kalau meteorit itu saat ini telah berubah menjadi seperti tumpukan pasir setelah pedang itu berhasil aku cabut.”
“Tidak peduli bagaimana bentuknya saat ini, ayah hanya ingin mengambil beberapa sampel untuk di lakukan penelitian lebih lanjut. Pastikan kamu menemui ayah besok jam enam pagi di ruang tamu sebagai persiapan untuk mengantarkan ayah ke lokasi meteorit itu.”
.
Kembali ke masa kini.
“Meski merepotkan, tetapi, apa boleh buat karena memang hanya aku satu-satunya yang mengalami kejadian itu.”
Perlahan, Yamasaki melangkah mundur lalu dirinya pun kembali duduk di atas kasur.
*Blinggg.*
Tanpa peringatan, tiba-tiba saja pedang itu berbunyi dan bersinar menyala terang, berwarna kuning keemasan.
“Lah, kok? Pedang ini... menyala?!”
Untuk beberapa alasan, dirinya tidak ingin terlalu berlebihan merespons, cukup merespons seperti biasanya—dirinya sudah merasa lelah, dan mencoba menutup mata untuk segala keanehan yang akan terjadi beberapa saat di masa depan.
Kemudian, tidak lama setelahnya pedang itu berubah kembali seperti semula.
“?! Sudah selesai, ya? Baguslah kalau begitu, aku mohon, biarkan otakku istirahat sebentar saja!”
Yamasaki membantingkan tubuhnya ke belakang bersama dengan pedang itu yang masih dalam genggamannya ke atas kasur. Berniat memejamkan matanya, tidak lama setelahnya—
“—Silahkan, terlalu banyak berpikir tidak baik untuk kesehatan manusia.”
“...?!”
Suara yang entah berasal dari mana berhasil terdengar sampai telinganya.
Meski responsnya terhadap suara itu cukup lambat, Yamasaki benar-benar yakin kalau pedang itu barusan berbicara dengannya. Sambil masih dalam keadaan dirinya yang terbaring di atas kasur, dirinya mengangkat pedang itu tepat ke atas wajahnya.
“Halo, senang bertemu denganmu. Yamasaki Zen!”
Pedang itu kembali bicara.
Secara refleks, Yamasaki Zen segera melempar pedang itu agar menjauh darinya.
Bukan tanpa alasan, detik-detik pedang tersebut berbicara kepada dirinya lebih terkesan horor baginya.
Apalagi, pedang tersebut juga menyempatkan diri menyebut nama lengkap daripada Yamasaki Zen itu sendiri.
Meski di hadapannya ada sebuah komputer yang masih menyala. Namun bukan itu arah yang dipilih oleh dirinya. Yamasaki mengetahui betul risiko yang akan terjadi jika dirinya benar-benar memilih arah lemparannya ke arah tersebut.
Maka dari itu, Yamasaki memilih sisi lainnya sebagai arah lemparannya.
Pedang itu melesat cepat oleh lemparannya.
Sebelum pada akhirnya pedang itu akan menghantam sebuah lemari, secara ajaib, pedang itu seperti mencegah dirinya agar hal itu tidak benar-benar terjadi. Lalu kemudian, sebuah sinar kembali muncul dan di saat yang bersamaan, pedang itu berakhir melayang dengan posisinya yang diam di tempat dengan mata pedangnya yang meruncing ke atas.
“Me-melayang, pedang itu... melayang...?!”
Yamasaki sudah bangun dari baringnya, kini dirinya duduk di atas kasur sambil menekuk lututnya.
“—Ahaha, aku membuat dirimu takut ya? Maaf, maaf!"
—Sudah kuduga, kalau pedang itu yang berbicara kepadaku!
Dalam benaknya berkata demikian.
Yamasaki juga menyempatkan untuk perlahan-lahan mundur ke belakang.
“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa berbicara? Apa yang kamu inginkan?”
Yamasaki bertanya tegas, walaupun kini rasa takutnya tidak dapat disembunyikan.
“Senang bertemu denganmu, saya adalah sebuah pedang prototipe AI Natech 002, sebuah pedang cerminan masa depan umat manusia.”
Di sana, pedang itu menjawabnya.
Bersambung...
Next. Chapter 008 : Kehadiran Yang Berlandaskan Sebuah Konflik, Katanya?
By, Wafi Shizukesa.
Like dan jadikan favorit novel Author di rak buku kamu ya... salam hangat. 🤗✌️
\==========================
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments