Bagian 1
*Nit\, nit. Nit\, nit. Nit\, nit...*
Jam digital menunjukkan pukul 6:00 AM, saat ini alarm digital berbunyi, suaranya yang nyaring seketika saja menghiasi suasana di dalam ruangan dengan pencahayaan terbatas. Pagi hari selalu saja seperti ini. Kedatangannya yang selalu berkunjung setiap pagi lantas tidak membuat Yamasaki Zen belajar dengan segera menyambut kedatangan tamunya yang “cerah” dari balik gorden jendela.
Tampaknya bukan hanya satu, melainkan dua “sosok” tamu yang selalu datang berkunjung untuk segera masuk menerangi kamarnya yang gelap itu.
Di samping itu, suara alarm itu sedari tadi masih berbunyi.
*Tek*
Sepertinya bunyi alarm itu berhasil melakukan tugas hariannya.
Perlahan-lahan tubuhnya mulai bangkit, walaupun masih merasa kantuk, asal dirinya mendapatkan sinar matahari, bahkan kegiatan yang cukup berat di lakukan di pagi hari pun dapat ia kerjakan dengan mudahnya. Maka dari itu, Yamasaki berniat membuka kedua gorden jendelanya segera.
“...”
Akhirnya, setelah mengizinkan kedua sosok tamu yang tidak di undang. Itu tidak ada pilihan lain bukan? Menolak kehadirannya saja sudah terasa seperti suatu kemustahilan.
Mungkin jika jendela di sana tidak di pasang di tempat yang mengharuskan dirinya untuk melayani tamunya itu setiap hari. Maka dirinya tidak akan repot-repot untuk melakukan hal seperti itu. Akan tetapi, hai, kabar baiknya adalah jika “mereka” menyapa Yamasaki Zen meskipun itu hanya satu detik.
Seketika itu seluruh rasa kantuk dari balik kelopak matanya akan menghilang begitu saja.
Hal seperti itu tidak mudah bagi Yamasaki dapatkan. Bukanlah sekali atau dua kali kemampuan itu dirinya dapatkan. Setidaknya butuh lebih dari puluhan kali dalam aktivitas yang sama dan berulang untuk membuatnya bisa beradaptasi dengannya.
Dalam diamnya, matanya melihat “biasa” atap rumahnya yang memiliki kesan seperti sebuah rumah tradisional.
Yah, sejenak melihat atap rumah yang kosong, itu juga menjadi salah satu dari kebiasaannya.
Rumahnya sendiri cukup jauh dari permukiman penduduk.
Tidak heran kalau tidak ada satu pun rumah yang dapat terlihat.
Untuk menjawab alasan dari pernyataan itu sebenarnya cukup mudah, melihat suatu fakta, kalau rumah Yamasaki berada di lokasi di antara dua sisi tebing bukit bebatuan yang tidak terlalu curam.
*Tok\, tok\, tok.*
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali.
“Zen, kamu sudah bangun, belum? Kalau sudah turunlah ke bawah, kita sarapan pagi bersama.”
Ketukan pintu yang disusul suara wanita dengan sebuah pertanyaan dilontarkan. Setiap pagi ibunya memang selalu begitu. Kebiasaannya membangunkan Yamasaki setiap pagi hanya sekedar sarapan atau hari dimana saat dirinya bersekolah.
Aktivitas itu benar-benar dilakukan hampir setiap hari.
Bahkan juga di hari libur.
Itu malah terdengar seperti sebuah tradisi keluarga ini saja.
“Iya. Aku sudah bangun, kok! Aku akan ke bawah segera!”
“Begitu. Baiklah, ibu akan tunggu kamu di bawah.”
Suara langkah kaki ibunya yang terdengar berjalan menjauh, kini menyusul gilirannya Yamasaki yang melangkah bermaksud meninggalkan kamarnya.
Tampak mengenakan pakaiannya yang sederhana, Yamasaki perlahan menuruni beberapa anak tangga untuk sampai di lantai dasar. Sesekali pandangannya menoleh ke arah dapur yang berada di sisi lain dirinya saat berhenti dan berdiri persis di depan tangga. Seperti biasa, ibunya sedang mempersiapkan sarapan pagi untuk keluarganya.
Lalu, di sisi lainnya, tepatnya ruang tamu.
Di sana, ayahnya sedang duduk lesehan beralaskan bantal duduk dengan di hadapannya sebuah meja persegi berukuran sedang, tampak juga beliau tengah sibuk memainkan remote televisinya untuk mencari dan melihat laporan cuaca untuk hari ini.
Itu adalah salah satu dari kebiasaan ayahnya di pagi hari ini.
Terlihat partisi di sana juga sudah dibuka dengan lebar.
“Ayah tidak bekerja?”
Yamasaki bertanya kepada ayahnya sambil masih terdiam berdiri di pojok pembatas ruangan.
“Tidak, sekali-kali tubuh juga perlu istirahat, bukan? Maka dari itu, ayah tidak ingin menyia-nyiakan waktu istirahat ayah.”
Meski terdengar seperti menyepelekan pekerjaannya sendiri.
Beliau sendiri merupakan wakil direktur divisi Misi Mars di perusahaan Japan Space and Intergalactic Agency. Ngomong-ngomong, sudah lebih dari lima tahun semenjak insiden misi ruang angkasa itu terjadi. Sebagian orang sudah melupakannya. Namun tidak sedikit juga orang-orang yang masih mengingatnya.
Instansi swasta itu baru mengumumkan kegagalan misinya setelah satu minggu pasca lost comunication antara roket dengan kendali misi dan menyatakan bahwa kelima awak astronaut telah meninggal secara terhormat di tanah merah karat Mars.
Tidak ada laporan dari markas utama Mars milik Amerika bahwasannya kelima astronaut itu berhasil lolos dari peristiwa tornado yang berlangsung selama 32 jam tersebut. Malahan, selama peristiwa tornado itu berlangsung, satelit Eagle Eye atau umumnya dipanggil satelit pemantau. Diduga merekam kalau telah terjadi ledakan besar pada roket yang mereka tumpangi.
Dahsyatnya peristiwa tornado tersebut dikabarkan juga berdampak kepada saluran komunikasi markas utama Mars milik Amerika menjadi terganggu. Selain saluran komunikasi yang terganggu, kabarnya juga, kalau puing-puing roket JRS-Ultra terhempas jauh dan berakhir jatuh di lokasi yang berjarak puluhan meter dari markas milik Amerika Serikat.
Sampai kabar itu terdengar oleh kendali misi, mereka menganggap bahwa misi ini merupakan suatu kegagalan yang memalukan yang telah mereka alami.
Meski hal ini akan memalukan bagi mereka, atau mungkin akan berdampak terhadap perusahaan. Akan tetapi, mereka memilih apa pun yang terjadi, mereka harus mengabarkan insiden itu kekhalayak umun khususnya kepada keluarga yang ditinggalkan.
“Oh, iya. Hari ini kamu masuk sekolah, bukan?”
Yamasaki yang baru saja hendak duduk bergabungbersama dengan ayahnya.
Secara tiba-tiba saja, ayahnya melontarkan sebuah pertanyaan yang ditujukan kepadanya.
“Iya, tetapi, aku hanya ingin berangkat sendiri saja.”
Respons dari jawabannya langsung saja berisikan sebuah pernyataan.
“Eh, memangnya kenapa kalau ayah yang mengantarmu? Ah, apa mungkin...”
“—Bukan, aku hanya lebih suka suasana di pagi hari saja."
Itu salah satu alasan singkatnya.
Masih berhubungan dengan sebuah ‘kebiasaan’ yaitu ketika ayahnya libur bekerja atau sesuatu yang lain yang membuat dirinya ada di rumah saat jam-jam tertentu.
Beliau pasti selalu bertanya—sebuah pertanyaan yang berisikan tawaran agar dirinya diizinkan untuk mengantarkan Yamasaki Zen, yang merupakan putra satu-satunya di keluarga ini agar pergi ke sekolah menggunakan mobilnya saja.
Keinginannya untuk mengantarkan Yamasaki Zen menggunakan mobil menuju sekolahnya tidaklah salah, hal ini ia landaskan kepada jarak dari rumah dan sekolah yang cukup jauh. Namun, meski kenyataannya seperti itu, ada alternatif lainnya… yaitu, Yamasaki dapat berangkat dengan menaiki sebuah bus yang akan berhenti di halte sederhana yang berjarak berpuluh-puluh meter dari rumahnya.
“Begitu, ya. Sayang sekali…”
Mendengar sekilas keluhan ayahnya, Yamasaki langsung tahu kalau itu berkaitan dengan suatu hubungan—pacar misalnya.
Itu menjadikan suatu alasan lainnya yang membuat dirinya dengan cepat menangkal akan asumsi liar yang nantinya akan dilontarkan oleh ayahnya.
Beberapa minggu sebelumnya juga, tanpa ada sebab dan alasan, ayahnya tiba-tiba saja menanyakan kepada Yamasaki, “apakah di sekolah kamu sudah memiliki pacar?”, mendengar hal itu, dirinya merespons dan mengatakan kalau dirinya ingin fokus ke arah pendidikan.
Memang sih, untuk saat ini, Yamasaki masih belum memiliki seorang pacar, mengingat dirinya merupakan anak satu-satunya yang dimiliki di dalam keluarga itu. Maka tidak heran kalau ayahnya bertanya demikian. Di sisi lain, pertanyaan ayahnya itu terkesan terlalu terburu-buru.
Apalagi di tahun ini, Yamasaki baru saja memasuki jenjang SMA-nya.
Yamasaki Zen bukanlah seseorang yang memiliki wajah yang tampan, kemampuannya dalam hal pendidikan pun terbilang bukan tidak bagus dan tidak jelek, cukup di atas nilai rata-rata. Dan hal itu merupakan suatu pencapaian yang terbilang cukup untuk dapat disyukuri.
Senin, 12 Mei 2042.
Namaku Yamasaki Zen.
Aku adalah seorang pelajar tahun pertama di Akademi Matsumoto, berumur 15 tahun.
Seperti yang kalian ketahui aku sedang menjalani keseharianku—seperti biasanya.
Tidak ada satupun hal yang membuat ini istimewa.
Mengawali kegiatan di pagi hari, setelah sudah cukup sarapan pagi dan melakukan aktivitas kecil lain sebelum pada akhirnya pergi berangkat ke sekolah.
Pemandangan di sekitarnya tidak ada yang banyak berubah, seperti halnya tebing bukit, hamparan sawah, bahkan halte buat menunggu bus yang tampak sederhana itu. Sebelum sampai ke tempat ini, di pertigaan jalan Yamasaki Zen sempat berhenti sejenak untuk melihat selokan air yang begitu jernih airnya.
Dipikirkan kembali, atas semua detail yang tidak pernah berubah, entah kenapa Yamasaki merasa tingkat “terhibur” di dalam dirinya tidaklah sebaik ini jika dibandingkan hari-hari sebelumnya. Ini bukan berarti suasana hatinya memburuk di hari-hari sebelumnya.
Tingkat suasana hatinya biasa-biasa saja.
Mungkin karena hari ini ada upaya yang lebih sedikit menghargai akan indahnya alam.
Maka itu juga berdampak pada suasana hati manusia.
Perjalanan bus menuju sekolahnya hanya melalui dua kali pemberhentian bus di halte dan setelahnya merupakan pemberhentian bus terakhirnya.
Sekolahnya berlokasi di pusat kota Matsumoto, di balik gedung-gedung tinggi nan modern, jika saja beberapa orang di kota ini menyempatkan untuk datang ke lokasi yang “terpencil” ini. Maka tidak perlu diragukan lagi, kalau misal ada salah satu dari mereka mengatakan “damainya tempat ini”, mereka baru saja melepaskan semua penatnya di lingkungan yang tampak sederhana ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Mirae
Anak pintar....
2022-10-28
1