Hari ini hari pertama aku stay at home, menganggur di rumah, membantu ibu memasak, membantu bi Ijah menyapu halaman, merapikan pot-pot tanaman di teras, dan melakukan banyak hal yang membuatku lupa akan kejadian tadi malam.
"Saa, nanti malam adikmu akan pulang, ayah memberitahunya jika kau akan menikah." Suara ibu dari arah dapur.
"Apakah dia libur kuliah, Bu?"
"Hmm... tidak, tapi katanya rindu pulang ke rumah."
"Senangnya, akhirnya Safira pulang juga setelah sekian lama." Aku menghentakkan kaki kegirangan.
"Ibu juga senang, Nak, kita bisa kumpul-kumpul lagi deh," ucap ibu seraya tersenyum.
"Kapan dia sampai, Bu?"
"Mungkin nanti malam, karena dia sedang ada kuliah pagi hari ini, jadi baru bisa berangkat siang."
"Baiklah, Bu," jawabku singkat.
Safira akan pulang, menyenangkan sekali bertemu saudara yang lama tidak pulang ke rumah karena sibuk kuliah di luar kota. Ayah sengaja menurutinya untuk mendaftar kuliah jauh ke luar kota, tentu dengan alasan yang hanya diketahui ayah dan ibu, aku hanya berpikir, karena Safira anak bungsu, jadi maklum semua keinginannya terkabul.
Safira memang kadang-kadang menyebalkan, suka sekali mengajakku ribut, mulutnya jarang bisa direm, bahkan sering membantah jika dinasehati siapapun, meskipun begitu, aku sangat menyayanginya, karena dia adikku satu-satunya.
...
"Selamat pagi semua." Safira menyapa kami semua di meja makan pagi ini.
"Wah, jam berapa kau pulang, Ra?" aku kegirangan.
"Semalam, hampir tengah malam saat kakak sudah tidur." Dia berhambur memeluk ayah, ibu, dan aku.
"Sudah, kita sarapan dulu, nanti kita lanjutkan lagi obrolan rindunya," sahut ibu tersenyum hangat sambil menyodorkan piring kepada kami.
"Kakak jadi kapan menikah? dengan siapa kak? pacarmu?" tanya Safira tidak sabaran.
"Ahh... dengan teman bisnis ayah, Ra," ucapku seraya memasukka nasi kemulut.
"Benarkah? kakak berpacaran dengannya?"
"Hmm.. Kakak tidak mengenalnya, bahkan baru semalam kami bertemu."
"Artinya?" pertanyaan Safira menggantung.
"Artinya kami dijodohkan, Ra." Aku menjawab sambil terus mengunyah, sepertinya Safira sangat penasaran.
"Kakak mencintainya?"
"Tidak, Ra! atau belum maksudnya." Sungguh aku bingung menjawab pertanyaan bocah ini.
"Lalu kenapa kakak mau?"
Aku diam, hanya mengangkat bahu tanpa menolehnya, nanti dia juga akan capek sendiri terus bertanya, jika terus diladeni, adegan sarapan dengan reporter dadakan ini akan berlangsung sampai siang.
...
Siang ini kami sengaja berkumpul bersama, ayah juga menyempatkan libur dari pekerjaannya, ini hari yang istimewa, karena Safira akhirnya pulang setelah tiga bulan tidak sempat mengunjungi kami karena sibuk kuliah, kami mengobrol santai di balkon atas lantai dua, menikmati cemilan-cemilan yang sudah dibuat ibu untuk menyambut kedatangan Safira.
"Ayah, kenapa kakak dijodohkan?" Safira mulai lagi.
"Memangnya kenapa, Nak?" tanya ayah.
"Kenapa bukan Safira saja?" Safira kembali bertanya.
"Memangnya kamu mau?"
"Mau dong yah, Safira tau siapa yang akan ayah jodohkan dengan kakak." Tiba-tiba dia cemberut.
"Siapa?" tanyaku.
"Laki-laki kaya raya itukan? pengusaha terbesar di kota kita, anak perusahaannya hampir ada di seluruh penjuru kota. Dia tampan sekali kak, aku tau dia, beberapa kali melihatnya di televisi." Safira menjelaskan panjang lebar sambil berakting gemas.
"Ah... kau beruntung sekali dijodohkan dengannya kak, kenapa bukan aku saja sih." Dia mendengus kesal.
"Sudahlah nak, Sabrina itu kakakmu, lebih baik dia menikah lebih dulu dari pada adiknya, tidak sopan jika adik melangkahi kakaknya untuk menikah." Ibu menasehati Safira.
"Tapi bu, bagaimana jika ibu menyuruh kakak menikah dengan pacarnya saja, lalu aku yang menikah dengan laki-laki kaya raya itu, Bu!"
"Berhenti membahas ini, Ra!" aku mulai kesal, apa dia tidak tau kalau kakaknya ini jomblo abadi.
"Kenapa kak? kau sepertinya takut sekali aku merebut calon suamimu itu."
"Sudahlah, Ra! kakak tidak selera berdebat denganmu." Aku kembali ke kamar meninggalkan Safira yang masih merengek kesal, penjelasan apapun tidak akan dia terima, percuma.
Ayah hanya jadi penonton Safira yang sedang kesal. Sudah sifat ayah untuk tidak terlalu ikut campur saat aku dan Safira berdebat, ayah hanya akan menimpali jika memang sikap Safira sudah keterlaluan, ayah memang sangat menyayangi kami, tidak pernah membeda-bedakan kami, dan selalu berusaha membuatku merasa adil mendapatkan kasih sayang
Berbeda dengan Safira, sejak kecil dia memang selalu mendapatkan apapun yang diinginkan dengan mudah, tapi sekali saja keinginannya ditolak, maka dia selalu berfikir bahwa ayah dan ibu lebih menyayangiku dari pada dirinya.
...
"Ibu, bujuk saja kakak untuk membatalkan pernikahannya, aku yang akan menggantikannya." Safira terus merengek.
"Kau ini kenapa Safira, kakakmu melakukan semua ini demi kita, ibu tau dia terpaksa, kau tidak tau siapa laki-laki itu sebenarnya, dia terlihat bukan laki-laki baik, Nak, dia angkuh, egois, bahkan menikahi kakak mu dengan aturan perjanjian yang pasti membebani hidup kakakmu." Ibu terlihat mulai kesal.
"Ayolah, Bu, kali ini saja, bujuk kakak!"
"Jika bukan karena bisnis ayahmu yang hampir bangkrut, ibu tidak akan rela memasukkan kakakmu ke kandang harimau gila itu."
"Tapi, Bu!" Safira masih berusaha memelas.
"Cukup Safira, kau seharusnya mendukung kakakmu, dia melakukan ini juga demi dirimu, siapa yang akan membiayai kuliahmu jika ayah bangkrut?"
"Ibu dan ayah memang selalu begitu, kalian sama saja, terus saja bela kakak, seolah hanya dia anak kalian." Safira berlari memasuki kamarnya dengan menutup daun pintu keras.
"Safira!" ibu berteriak memanggil putrinya yang sedang tersulut emosi.
Ibu menangis melihat putri bungsunya bersikap seperti itu, dia bahkan masih memiliki jalan pikiran seperti anak-anak, hanya memikirkan kesenangan tanpa tau resiko yang akan didapatkan.
...
Sebelum tidur, ibu masuk ke kamarku, mengatakan sikap Safira tadi sore yang bersikukuh menggantikanku menikah dengan tuan Arga.
Bukannya aku tidak mau mengalah, tapi Safira salah sangka, dia pikir laki-laki kaya itu punya sikap manis dan memperlakukan calon istrinya ini bak permaisuri, laki-laki angkuh itu jelas-jelas terlihat tidak peduli kepadaku, baginya aku hanya remahan peyek di dasar toples, jika melakukan kesalahan dan terjatuh mengenai sepatu mengkilatnya, itu bisa jadi masalah besar, ya, masalahnya sepatu itu akan kotor.
"Nak, sudah kau pikirkan baik-baik keputusanmu?" ibu bertanya seakan tidak rela putrinya jatuh ke tangan laki-laki sombong itu.
"Sudah bu, jangan khawatir, Sabrina akan menjaga diri dengan baik, Sabrina tidak akan melakukan kesalahan." Aku menguatkan ibu.
"Jangan pikirkan kata-kata adikmu tadi siang, dia masih belum bisa bersikap dewasa."
"Aku tau, Bu."
"Ibu akan terus mendo'akan yang terbaik untukmu, Nak!" ucap ibu seraya mengelus pucuk kepalaku.
"Sabrina sayang ibu." Aku memeluk ibu erat-erat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Terimakasih sudah membaca, tinggalkan Like dan Komentar yang mendukung ya ❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Debbie Teguh
ade kurang ajar, slepet onlen nih
2022-06-02
0
Berdo'a saja
wahhh bakal jadi pelakor tuh Safira
2021-12-04
0
Daffodil Koltim
stay tune,,,chayooo author,abaikan reader yg julid,qlo aku sih baca novel u pengisi wktu aja seru2an ajeee,qlo ga suka yah ga dbaca,,,, sllunya jdi pembaca silent like doank jrng coment,,,,
2021-07-02
0