"Bukannya itu mobil yang supirnya hampir saja ku ajak baku hantam tadi pagi ya?" suaraku pelan, bahkan Riani tak mendengarnya.
Dua orang turun dari mobil berwarna merah, penampilannya sangat rapi, memakai setelan jas berwarna hitam dengan sepatu pantofel yang bisa jadi setiap pagi di semir karna terlihat begitu mengkilat.
"Nona, kau sudah ganti baju rupanya, maafkan kejadian tadi pagi ya, saya benar-benar tidak sengaja," ucap lelaki bertubuh tinggi dengan wajah tampan, tapi terlihat lucu sekali raut wajahnya.
"Lupakan!" jawabku sok cuek, rupanya dia mengenaliku.
Perhatianku tertuju pada lelaki dibelakangnya, tidak kalah tampan dengan lelaki yang tadi meminta maaf, tapi dia diam saja, hanya berdiri mematung sambil menggeser ponsel pintarnya keatas dan kebawah, rambutnya berwarna hitam pekat, alisnya hitam berjejer rapi bak ulat bulu, hidungnya mancung, badannya tegap berisi, gagah dan jangan lupa brewoknya ituloh, menggemaskan sekali.
Aku sungguh penasaran dengan laki-laki ini, dia terlihat angkuh, tapi ketampanan itu membuat jiwa kepoku bergelora, siapakah dia?
Dibelakang mereka berdiri dua lelaki tinggi berkaos hitam dan berkacamata hitam. sepertinya mereka bodyguard, berlalu masuk ke cafe tanpa permisi.
"Saa, ngelamun aja, Ayo!" Teriak Riani yang ternyata sudah menyebrang jalan dan melambaikan tangannya padaku yang masih mematung di depan cafe.
"Eh, Iya." Aku lari menyebrang jalan.
"Kamu lihatin siapa, Saa?"
"Nggak kok." aku gelagapan menjawabnya.
"Jangan bohong ih, kamu lihatin cowok-cowok tadi kan? Ciyeeee." Riani meledek sambil tertawa lebar.
"Biasa aja tuh, siapa juga yang lihatin mereka."
"Eh tapi cowok yang tadi kayaknya kenal sama kamu loh, Saa, dia nyapa kamu tadi."
"Halah, dia aja yang sok kenal, aku gak tau, udah buruan ayo pulang, kesorean nanti."
"Yuk, cuss!"
Kamipun berlalu pulang menaiki motor masing-masing, meskipun arah rumah kami sama, kami lebih nyaman bawa motor sendiri dari pada berboncengan .
..
"Baru pulang ya, anak ibu yang cantik ini," sapa ibu setelah gerbang rumah kubuka, rupanya ibu sedang menata bunga-bunga anggrek favoritnya.
"Iya bu, banyak pekerjaan di butik, Sabrina lelah sekali hari ini," jawabku sambil mendorong motor memasuki parkiran sebelah rumah.
"Mandi dulu nak, ganti baju, terus makan, ada yang mau ayah sama ibu obrolin," lanjut ibu.
"Baiklah, Bu."
Aku tau ini pasti soal pernikahan itu, menyebalkan sekali menjadi diriku, selalu saja tidak bisa membantah keinginan ayah dan ibu, rasanya lidahku kelu saat ingin mengutarakan pendapat, aku tidak tega melihat gurat kekecewaan di wajah orangtuaku.
Usai mandi, aku hanya duduk di depan kaca, menyisir rambutku butuh waktu yang lama, karena memang ini rambut istimewa, menatap bayangan menyedihkan dikaca, bahkan untuk menggelengkan kepala menolak permintaan ayahnya pun tak sanggup. Tragis sekali nasibmu, Sabrina.
"Non, tuan sama nyonya manggil," seru bi ijah di depan pintu.
"Terimakasih, Bi," jawabku tanpa menoleh
Ada rasa sesak di dada, ada penolakan kuat yang tidak bisa ku ungkapkan, aku tidak seberani itu menggelengkan kepala untuk menolak keinginan ayah dan ibuku, mereka adalah segalanya bagiku, mungkin ini saatnya aku menjadi anak yang berbakti.
"Ayah, ibu, apa yang mau di obrolin? sepertinya asik," tanya ku renyah kepada kedua malaikat pelindungku yang sedang menunggu diruang tengah depan televisi, meskipun rasanya mata ini perih menahan air mata yang ingin segera menerobos dinding pertahanan.
"Duduk dulu, Saa, ini ibu buatkan cemilan kesukaanmu, tahu kriuk dengan taburan bumbu balado." Bujuk ibu sambil menepuk kursi disebelahnya.
Aku hanya duduk, sesekali melihat film yang sedang diputar didepan kami, beberapa menit aku masih terus mengunyah tanpa henti, ayah dan ibu masih bungkam, entah apa yang ada dipikiran mereka.
"Sabrina." Suara ibu pelan, sambil mengusap pucuk kepalaku lembut, merapikan bagian rambut keritingku yang berantakan meski sudah kusisir ribuan kali.
"Sabrina tau, apa yang ingin ayah dan ibu sampaikan, bagaimanapun juga, Sabrina ingin jadi anak yang berbakti, tapi kumohon bu, pikirkan baik-baik rencana ini, apakah ini yang terbaik? apakah sudah tidak ada jalan keluar lagi selain mengorbankan anakmu ini?" suaraku serak, hampir habis, menahan sesak didada. Aku memejamkan mata, membendung air mata yang hampir tumpah.
"Baiklah sayang, ayah akan berusaha mencari jalan keluar terbaik, ayah juga tidak rela putri kesayangan ayah menikah karena terpaksa," sela ayah dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Tapi Saa, kalau semua usaha ayah ini gagal, apakah Saa mau menolong?" lanjut ayah sambil menatap kedua netraku dalam, seolah semua harapannya dituangkan padaku.
"Baiklah, Sabrina akan memikirkan semuanya, Sabrina akan melakukan yang terbaik demi keluarga kita." Aku menjawab sambil berdiri, berlalu meninggalkan mereka yang masih menatapku penuh harap.
Bagaimana bisa aku menikah dengan orang yang tidak aku kenal sama sekali, belum tentu dia mau menerima keadaanku, belum tentu dia menikahiku hanya karena timbal balik setelah menolong bisnis ayahku, jangan-jangan dia mau berbuat jahat padaku, menjadikanku abdinya, bisa jadi.
...
Pagi ini aku berangkat bekerja lebih siang, rasanya kasur ini enggan kutinggalkan, rasa malas mulai menguasai diri, entahlah, mungkin karena masalah semalam yang terus menghantui hati dan pikiranku.
Dengan mata yang hanya terbuka sebelah, aku membuka ponsel pintarku yang kuletakkan dibawah bantal, kubuka aplikasi hijau disana.
[Riani, aku datang siang nanti saja, hari ini aku sedang malas melakukan apapun] Terkirim, pesanku untuk Riani yang saat ini sudah pasti sibuk di butik.
[Baiklah, Saa, kalau sedang tidak enak badan, istirahat saja, aku akan mengurus semuanya hari ini] balasan pesan kudapat, sambil dibumbui emoticon bulat kuning dengan wajah tersenyum.
Aku tidak membalasnya, menunggu beberapa menit mengumpulkan nyawaku yang sudah terbang kemana-mana agar bisa fokus menjalani hari ini, dan yang pasti, agar bisa sekuat baja menghadapi apapun yang akan terjadi suatu saat nanti.
Aku menuruni ranjang dengan mata yang masih ingin sekali dipejamkan lagi, tapi ini sudah pukul delapan, dan ini sudah siang.
"Saa, sudah bangun? sarapun dulu yuk, ibu yang memasak nasi goreng hari ini, karena jarang sekali anak ibu yang cantik ini sempat sarapan dirumah." Rayu ibu sambil tersenyum memasuki kamarku kemudian menggandeng lenganku mengajak segera ke ruang makan untuk sarapan.
"Sebentar bu, Sabrina belum mandi bahkan gosok gigi, tunggu saja dibawah, sebentar lagi Saa menyusul," ucapku sambil melepaskan pelan tangan ibu dari lenganku.
"Baiklah nak, jangan lama-lama, nanti nasinya keburu dingin," jawab ibu berlalu menutup pintu kamarku sambil tersenyum.
Aku secepat kilat masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.
.
.
.
.
.
.
Terimakasih sudah membaca, jangan lupa Like dan komentar yang membangun ya ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
kika
iya ih, banyak yg KDRT, atau nikah cma buat nutupin ke"bengkok"an, atau gmana klo sdh sering jajan & punya penyakit mnular
2023-07-26
0
Berdo'a saja
kalau daniah bergelombang bukan keriting,jadi bergelombang sama keriting berbeda, cieeee berbedza
2021-12-04
0
Titing Wijayati
sejauh ini masih tertarik,, tp lebih suka kalo author nya yg cerita, drpd pemerannya
2021-04-14
5