Sampai di rumah, semuanya terlihat sepi, ibu tidak ada di halaman, biasanya jam-jam segini ibu selalu sibuk dengan bunga-bunga hias kesukaannya, tidak terlihat bi Ijah menyapu atau sekedar membersihkan halaman, tapi mobil ayah sudah terparkir rapi, entahlah, kali ini perasaanku tidak enak.
Memasuki ruang tamu, aku melihat ayah sedang duduk di sofa panjang berwarna merah sambil menyandarkan punggungnya, terlihat sangat lelah, sepertinya, ada banyak hal rumit sedang terjadi.
Aku juga merasa lelah hari ini, tanpa menyapa ayah, aku segera menaiki anak tangga berlalu ke kamar, ternyata sudah ada ibu yang menungguku di tepi ranjang.
"Saa, sudah pulang, Nak?" senyuman ibu menyambutku.
"Iya bu, hari ini Saa pulang lebih awal, lagi kurang semangat kerja, Bu," ucapku pelan sambil menjatuhkan diri diatas kasur empuk tepat disebelah ibu.
"Saa, dengarkan ibu baik-baik nak, ayahmu sudah berusaha semampunya, dia sudah mendatangi semua sahabat bahkan siapapun yang dikenalnya untuk membantu perusahaan ayah." Ibu bicara sambil mengusap pundakku.
"Lalu?" pertanyaanku menggantung.
"Ibu harap, Saa mau membantu ayah, maafkan kami nak, kami tidak bisa membahagiakanmu." Ibu terisak dengan air mata yang sudah deras menetes bahkan jatuh mengenai bajunya.
"Baiklah, Bu, apapun yang terbaik." Aku menghela nafas panjang, mencoba menahan segala perasaan kecewa dan sesaknya dada.
"Terimakasih, Nak, Ibu akan mengatakan ini pada ayahmu, dia akan senang mendengarnya." Raut wajah ibu seketika berubah bahagia, senyumnya mulai mengembang.
Aku sudah tidak peduli dengan nasibku, aku harus membantu keluargaku dari mimpi buruk ini, ayah dan ibu sudah membesarkanku dengan susah payah, mungkin ini saatnya aku membalas budi.
...
Ayah mendatangi calon suamiku ke kantornya, untuk melanjutkan pembicaraan beberapa hari lalu yang sempat tertunda.
"Tuan, putriku sudah setuju untuk menikah dengan tuan, bagaimana? apakah tuan masih bersedia membantuku?" Ayah memohon sambil mengatupkan kedua tangannya di dada.
"Kau yakin?" pertanyaan laki-laki gagah di depannya ini seolah meragukan keputusan yang baru saja didengar.
"Tentu saja, putriku sudah memikirkannya berhari-hari, tentu putriku sangat senang menikah dengan tuan."
"Baiklah, nanti malam aku dan joe akan datang ke rumahmu untuk makan malam," ucapnya datar.
"Terimakasih tuan, terimakasih banyak " Dengan wajah berseri-seri, ayah berterimakasih berulang-ulang.
...
"Bi, banyak sekali yang kau masak sore ini, kayak yang makan satu kampung aja," tanyaku pada bi Ijah yang sibuk membantu Ibu memotong sayuran di dapur.
"Tentu non, nanti malam kan ada tamu spesial," jawab bi Ijah sambil menahan senyum.
"Siapa, Bu, tamu spesial kita?" Aku melempar pertanyaan pada ibu yang beranjak berdiri mengaduk masakan diatas panci.
"Tentu saja, calon menantu ibu."
Degh, jantungku rasanya mau loncat dari tempatnya, kakiku bergetar, telapak tangan terasa dingin, Mati aku!
"Nak, nanti malam kau harus berdandan cantik, pakai baju yang pernah ibu belikan untukmu, jangan lupa memakai make up sederhana, biar makin kelihatan anggun." Perintah ibu seketika membangunkanku dari lamunan.
"Baiklah, Bu." Aku kembali ke kamar dengan perasaan tak karuan, susah sekali menjelaskan perasaan ini, antara takut, malu, bingung, sedih, kecewa, nano-nano, rame rasanya.
Usai mandi, aku cuma bengong, duduk mematung di depan meja kaca berukuran lumayan besar ini, berbicara pada diriku sendiri sedikit bisa menolong ketakutanku, mencoba menguatkan hati tentang apapun yang akan terjadi nanti.
Bagaimana bisa semua ini terjadi begitu cepat, bahkan aku belum siap melepas masa lajangku, aku masih ingin bebas pergi berbelanja, bekerja, melakukan semua hobbyku, berkumpul bersama teman-temanku dan masih banyak lagi yang lainnya. Rasanya aku belum siap menjadi merpati dalam sangkar, tapi, apa dayaku, semua sudah terlanjur, beras sudah menjadi tepung. Kebahagiaan keluargakulah yang paling penting, kebahagiaanku? nomor sekian-sekian.
...
"Nak, kau tidak apa-apa?" Ketukan pintu membuatku terkejut, ibu datang dengan membawa nampan berisi jus tomat kesukaanku.
"Sabrina tidak apa-apa, Bu." Aku menjawab sambil berusaha keras melengkungkan bibirku agar terlihat tersenyum.
"Sekali lagi ayah dan ibu berterimakasih nak, Terimakasih telah berkorban untuk kami," ucap ibu dengan mata berkaca-kaca seraya meletakkan nampan di depan meja kacaku.
"Sabrina menyayangi kalian, tentu saja Sabrina bahagia bisa membahagiakan kalian jika memang ini adalah salah satu caranya," jawabku sambil menghamburkan pelukan kearah ibu.
"Ibu akan menyiapkan gaun untuk kau pakai nanti malam sayang."
"Haruskah aku berdandan untuk menarik perhatiannya, Bu?"
"Tentu saja sayang, kau harus bisa membuatnya jatuh hati padamu saat pandangan pertama, itu yang akan membekas dihatinya," penjelasan ibu seraya menyisir pelan rambutku.
"Tapi Sabrina tidak mengenalnya, apakah Sabrina juga harus mencintainya, Bu?"
"Biarkan cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu nak, dulu ayah dan ibu juga korban perjodohan, karena orangtua ayahmu saat itu sedang sakit keras, jadi mereka menginginkan anak semata wayangnya segera menikah dengan anak dari sahabat dekatnya, yaitu ibu." Dengan mata berbinar ibu menceritakan kisah perkenalan dan pernikahannya.
"Baiklah, Bu, terimakasih telah memberi semangat yang begitu besar kepada Sabrina, Sabrina tau ini semua tidak akan mudah pada awalnya, tapi semoga akan jauh lebih baik kedepannya." Aku kembali memeluk ibu.
Perkataan ibu seakan menjadi sumber kekuatanku, aku tidak akan menyerah, aku harus menguatkan hati menjalani semua ini, melihat ayah dan ibuku bahagia adalah segalanya, dan ini adalah saat paling tepat untuk melakukannya.
Sesaat setelah ibu keluar dari kamarku, aku kembali melamun, membayangkan apa yang akan terjadi nanti, sesekali ku sedot jus tomat yang masih dingin di depanku, Ahh... Menyegarka sekali saat melawati tenggorokan, sungguh, aku akan merindukan menjadi putri kesayangan ayah dan ibu. Sebentar lagi aku akan menikah, tentu saja suamiku akan membawaku ke rumahnya, entah benar-benar menjadi istri pada umumnya, atau menjadi pembantunya.
...
"Bu, apakah sebentar lagi orang itu akan datang?" aku mendatangi ibu ke kamarnya.
"Sebentar lagi, Nak, kau kelihatannya bersemangat sekali." Ibu bicara sambil menahan senyum.
"Tidak bu, hanya saja," ucapku menggantung.
"Kau gugup, Nak?"
"Ah... tidak, Sabrina sudah terbiasa menghadapi orang baru. Baiklah, Bu, Sabrina akan bersiap-siap dulu."
Aku kembali ke kamarku, mengganti baju tidurku dengan gaun berwarna merah muda selutut pemberian Ibu saat ulangtahunku dua bulan yang lalu, sedikit memoles bibirku dengan lipstik berwarna senada dengan gaun ini, menaburkan bedak padat ke pipi kanan kiriku, dan meratakannya keseluruh permukaan wajahku, ku oleskan mascara di kedua bulu mataku, bagian atas dan bawah, aku mengukir eyeliner tipis diatas kelopak mataku, menambahkan sedikit sentuhan pada alisku. Aku membiarkan rambutku tergerai seperti biasa, memasangkan dua jepit mutiara di sisi kanannya.
"Ahh... Aku terlihat agak cantik dengan berdandan seperti ini," gumamku dalam hati seraya tersenyum.
Karena aku memang tidak suka berdandan, menurutku itu hanya membuang-buang waktu saja, aku lebih suka terlihat natural. Kecuali jika memang diperlukan, seperti saat ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Terimakasih banyak sudah membaca, tinggalkan Like dan Komentar yang membangun ya ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
kika
tumben orang fashion gak suka dandan...
2023-07-26
0
Tutun Imam
lanjut
2022-01-13
0
Berdo'a saja
dandan biar cantik
2021-12-04
0