Seorang wanita terlihat sibuk menekan nomer telepon seseorang di telepon genggamnya. Wajahnya terlihat cemas. Ia merasa bersalah karena sengaja melupakan janjinya pada seseorang. Ia tahu, bahwa malam itu, kekasihnya berniat untuk melamarnya. Dan dia belum siap untuk menikah. Dan kalau pun nanti ia menikah sudah dipastikan bukan dengan kekasihnya itu. Ia akan mencari laki-laki super kaya, yang bisa memenuhi segala kegilaannya dalam berbelanja barang-barang mewah. Dan uang suaminya nanti tidak akan habis meskipun ia berbelanja setiap hari. Ia tidak pernah meletakkan hatinya pada satu orang pria, termasuk Daniel kekasihnya. Namun entah kenapa, semenjak kejadian kemarin ia tertangkap basah sedang bercumbu mesra dengan kekasih barunya, ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Tiga tahun ia menjalin hubungan dengan Daniel Allan. Seorang aktor kelas menengah yang sedang naik daun. Ia berpikir, Daniel adalah salah satu batu loncatan untuknya dalam meraih laki-laki yang jauh lebih kaya dari Daniel.
Ia terus mencoba menghubungi kekasihnya itu. Ia merasa harus menjelaskan sesuatu. Kalau pun pada akhirnya hubungannya harus berakhir dengan Daniel, setidaknya dia lah yang harus mengakhiri, dan bukannya laki-laki itu. Tidak, aku tidak mau dicampakkan oleh siapa pun, meskipun kesalahan ada padaku, tapi tetap harus aku yang memutuskan hubungan. Bukan pria itu, batin wanita itu.
Ia duduk dengan gelisah, sambil terus berusaha menghubungi nomer kekasihnya. Di depannya terlihat ada dua cangkir kopi yang sudah habis, tiba-tiba wajahnya nampak shock. Astaga, apa yang terjadi padaku? kenapa aku begitu merasa bersalah pada pria itu? Bukankah ini bagus? karena artinya aku tidak perlu repot untuk mencari alasan supaya bisa meninggalkannya. Biarkan saja. Lebih baik aku fokus bagaimana aku menjelaskan pada Alex tentang kejadian kemarin lalu, batinnya.
Saat ia hendak beranjak pergi, seseorang menghampirinya. "Angeline, kau sudah mau pergi?" seorang wanita menyapanya dengan ragu, ia takut Angeline melihatnya saat kejadian tiga hari yang lalu.
Angeline Parker.
"Oh hai Rachel, iya aku baru saja akan pulang, apa yang kau lakukan di sini? Lama kita tidak berjumpa, padahal apartement kita bersebelahan."
Wanita yang ia panggil Rachel itu menghembuskan nafas lega secara perlahan. Bagus, ia tidak melihatku malam itu ternyata, ia berkata dalam hati.
Wanita itu berdeham mencoba menetralkan tenggorokannya untuk menghilangkan kegugupannya,
"Ayo temani aku minum kopi Angeline, kita sudah lama tidak mengobrol bukan? Aku akan mentraktirmu."
"Tidak Rachel, maafkan aku, kau lihat? Aku sudah meminum dua cangkir kopi. Aku tidak mungkin minum tiga cangkir. Aku akan menemanimu mengobrol tapi aku hanya akan memesan segelas air putih."
"Baiklah kau minum air putih dan aku akan memesan kopi," Kemudian wanita itu memanggil pelayan dan memesan secangkir kopi dan segelas air putih untuk Angeline. Dan dengan sangat perlahan, ia melakukan gerakan seperti menyentuh sesuatu di dalam tas, yang terletak di pangkuannya. "Bagaimana dengan makan malammu bersama Daniel, Angeline?" Wanita itu mencoba membuka pembicaraan.
"Kami melewatkan malam yang romantis Rachel, dia benar-benar terlihat mencintaiku. Tapi yang seperti kau tahu, aku tidak mungkin mencintainya karena dia tidak cukup kaya bagiku," Wanita itu berkata dengan pongah.
Sedangkan lawan bicaranya tersenyum dan menatapnya penuh arti setelah mendengar jawabannya. "Kau benar, dia memang tidak cukup kaya untuk kita. Kau harus mencari pria yang jauh lebih kaya dari dia. Ada banyak pria super kaya di luar sana. Dan dia hanya aktor kelas menengah dengan jumlah kekayaan yang masih bisa habis," Wanita mencoba untuk memberikan perhatiannya, meskipun dalam hati ia menggerutu. Kau sungguh tidak cocok dengan pria kaya manapun Angeline. Kau hanya pantas bersama pria yang tidak punya apa-apa. Dan akan kupastikan, kau tidak akan mendapatkan salah satu dari pria super kaya itu Angeline.
"Kau benar, aku akan mendapatkan salah satu dari mereka. Dan saat ini untuk sementara, aku akan menguras habis uang milik Daniel. Aku akan benar-benar memerasnya sampai habis tak bersisa. Ia benar-benar bodoh dan naif karena ia terlalu mencintaiku," Angeline berkata sambil tertawa geli.
Tak lama pesanan mereka pun datang. Mereka mengkahiri pembicaraan tentang Daniel. Dan memilih topik lain. Lagi-lagi dengan gerakan yang sangat pelan, Rachel menyentuh sesuatu di dalam tas nya. Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan hari ini, sebentar lagi, kita lihat apa kau masih bisa tertawa dengan manis atau tidak Angeline, batin wanita itu.
Rachel.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Sore itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya di kota Pegunungan, membuat para warganya lebih cepat mengakhiri aktivitas mereka di luar rumah hari itu. Sama seperti halnya Lizzy, ia pun sudah memasang tanda tutup di pintu kaca milik tokonya. Ia memang sudah tiga tahun menetap di Kota kecil itu, namun entah kenapa ia tetap belum terbiasa dengan udara dingin di Kota itu, yang terkadang rasanya sampai menusuk tulang.
Tokonya sudah tutup dari setengah jam yang lalu, tapi ia belum juga beranjak pulang. Adelina asistennya sudah lebih dulu pulang, sedangkan kedua anaknya hari itu tidak datang ke toko. Ia masih asik membersihkan peralatan dapurnya, setelah itu ia pun masih harus mengerjakan laporan penjualan minggu itu. Ia memiliki prinsip, ketika di rumah, hanya anak-anak lah yang akan menjadi prioritasnya. Maka dari itu ia tak pernah membawa pekerjaan ditoko ke rumah. Semua ia selesaikan sebelum pulang.
Saat ia sedang asik mengerjakan laporan penjualan sambil meminum segelas coklat panas, tiba-tiba perasaanya menjadi gelisah tak menentu. Ia pun langsung mengangkat kepalanya dan mencoba menatap sekeliling, dan berakhir dengan menatap pintu tokonya. Dan benar saja, tak lama ia melihat ada sebuah mobil sedan yang berhenti diparkiran toko rotinya. Seorang pria. Ia dapat melihat sang peengendara mobil, karena pria itu mengendarai sebuah mobil sedan tanpa atap, atau bisa dikatakan sedang membuka atap mobilnya. Aku baru pertama kali melihat pria itu. siapa dia? apa dia seorang turis? Tapi kurasa tidak mungkin. Musim liburan baru dimulai minggu depan, Lizzy bertanya dalam hatinya.
Tak lama kemudian, pengendara mobil itu pun turun, dan berjalan menuju arah toko roti Lizzy, pria itu memakai jeans usang berwarna biru, atasan kaos tanpa kerah berwarna putih, dan sweater cardigan berwarna coklat susu. Badannya tinggi dan tegap, rambutnya hitam acak-acakkan karena tertiup angin, hidungnya mancung, tapi ia memiliki mata yang kecil, wajahnya perpaduan antara barat dan timur. Dan entah mengapa wajah itu terasa familiar di mata Lizzy.
Pria itu pun mengetuk pintu kaca toko roti milik Lizzy, dan wanita itupun mengerutkan keningnya karena terkejut. Apakah pria itu tidak bisa membaca tanda tutup pada pintu tokoku? Ingin rasanya ia mengusir pria itu, tapi rasanya ia tidak sekurang ajar itu. Akhirnya ia pun memilih untuk membukakan pintu untuk tamunya, "Selamat sore Tuan, apa ada yang bisa kubantu? Maaf sekali aku tidak bisa membiarkanmu masuk, karena tokoku sudah tutup."
Pria itu menatapnya dengan tatapan tak suka, "Bukankah tidak sopan nona, melarang pembelimu masuk ke toko? Lagipula ini masih sore, matahari pun belum tenggelam. Aku tahu tokomu sudah tutup, tapi setidaknya izinkan aku untuk masuk dan memesan sepotong roti manis buatan tokomu ini. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam padamu. Karena jika aku berani melakukan tindakan jahat padamu, ayah ibuku sudah pasti akan menebas leherku," Pria itu mencoba memaksa Lizzy untuk membukakan pintu untuknya.
Lizzy terdiam memandang pria di hadapannya "Memangnya siapa orang tuamu? Apakah aku mengenal mereka?" Ia bertanya dengan kening yang masih berkerut.
"Mereka adalah christine dan Philip Allan. Orang yang kau panggil paman dan bibi."
Pantas saja aku seperti familiar dengan wajah pria ini, ternyata dia adalah anak bibi Christine, batin Lizzy.
Otaknya menyuruhnya untuk tidak percaya begitu saja pada ucapan pria itu, tapi instingnya justru berkata lain. Dengan segera ia membuka pintu tokonya dengan lebar, dan mempersilahkan tamunya masuk.
"Kau mau pesan roti apa Tuan, kami di sini memiliki dua jenis pilihan roti, manis dan gurih dengan berbagai isian dan toping. Sedangkan untuk minumannya kami hanya memiliki orange juice, coklat, dan sedikit varian menu kopi," Lizzy telah berada di belakang etalase tokonya, siap melayani tamunya.
Pria itu terdiam sejenak sambil mengamati Lizzy yang berdiri di belakang etalase toko. "Aku ingin dua roti manis dengan isian yang sama seperti yang kemarin kau kirim ke rumah ibuku. Kalau tidak salah ada kayumanis dan coklat. Dan tolong buatkan aku secangkir kopi hitam tanpa gula dan creamer. Bolehkan jika aku makan dan duduk di sini?"
"Baiklah Tuan, aku akan menyiapkan pesananmu. Dan ya, kau boleh duduk di sini sambil menikmati kudapanmu."
Kemudian pria itu berjalan menuju salah satu meja di pinggir kaca, dan pria itu memilih meja yang bersebrangan dengan meja yang Lizzy pakai tadi untuk mengerjakan laporannya.
Pria itu duduk sambil bersandar pada kursi, menatap keindahan danau dan bentangan pegunungan yang mengelilinginya. Toko roti ini benar-benar memiliki tempat yang strategis. Dengan tempat parkir yang cukup luas dan pemandangan di seberang jalan yang sangat indah. Dengan rasa makanan yang jelas enak, sungguh perpaduan yang pas, ia bermonolog dalam hatinya.
Tak lama Lizzy datang membawakan pesananya, "Ini tuan pesanan anda, kuharap anda menikmatinya. Dan maaf jika aku tidak sopan, tapi kuharap kau berada di sini tidak lebih dari satu jam. Karena aku harus benar-benar menutup toko dan segera pulang. Anak-anakku sudah menungguku di rumah," Lizzy mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
"Jadi kau adalah ibu dari kedua anak yang beberapa hari lalu mengantar roti ke rumah ibuku?"
"Iya tuan, aku adalah ibu mereka. Ada apa?"
"Tidak ada, hanya saja kupikir kau lah yang bernama Adelina sang asisten," Pria itu mengamati Lizzy dengan lebih seksama. Sedangkan Lizzy hanya mengangkat bahunya acuh, mencoba mengabaikan perasaan yang sedari tadi mengganggunya. Perasaan yang sama saat ia pertama kali bertemu dengan mantan suaminya dulu.
"Baiklah tuan, silahkan menikmati hidangannya. Aku akan melanjutkan pekerjaanku," Tanpa menunggu respon pria itu, ia berjalan menuju meja yang tadi, tempat ia mengerjakan laporannya.
Tak lama, mereka pun tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pria itu pun mengambil telepon genggamnya dari saku celananya, dan mengaktifkannya. Sudah beberapa hari semenjak kejadian itu, ia mematikan ponselnya, setelah ia meminta tim manajemennya untuk mengosongkan waktunya selama dua minggu kedepan. Ia butuh waktu. Ia masih tidak habis pikir dengan perlakuan yang ia dapatkan dari kekasihnya, tidak! salah, tapi mantan kekasih! batinnya. Tiga tahun mereka bersama, segala perhatian, cinta, dan kasih sayangnya ia curahkan pada wanita itu. Ia yang semula senang berganti wanita pun berubah, berhenti melakukan itu semua dan menyerahkan hatinya sepenuhnya untuk wanita itu, Angeline.
Untungnya, ia belum sempat membawa wanita itu ke hadapan kedua orang tuanya. Sehingga orang tuanya tidak perlu ikut merasakan apa yang dia rasakan. Ketika ponselnya menyala, ia mengerutkan keningnya bingung. Ada banyak panggilan masuk dari Angeline, dan beberapa pesan yang juga berasal dari wanita itu. Isi pesannya memohon ia untuk menjawab panggilannya dan mengajaknya bertemu. Dengan alasan wanita itu ingin menjelaskan semua yang terjadi pada malam itu.
Ia hanya tersenyum kecut. Apalagi yang coba kau jelaskan Angeline, semuanya sudah jelas di mataku. Kau sengaja melupakan janji kita dan memilih menghabiskan malam bersama pria lain. Kau benar-benar tidak tahu malu, pria itu menggeram menahan marah dalam hatinya.
Seandainya wanita itu hanya menganggapnya sebagai tambang emas pun, ia tak masalah. Asalkan wanita itu tidak berselingkuh dengan pria lain dan tetap bersamanya, karena ia begitu mencintai wanita itu. Ia pun bersedia bekerja lebih keras untuk menambah pundi-pundi kekayaannya demi membahagiakan wanita itu, agar wanita itu tidak meninggalkannya. Sayangnya takdir berkata lain. Wanita itu berselingkuh di belakangnya.
Lizzy mengerjakan laporannya sambil sesekali melirik pria di seberang mejanya. Wajah pria itu sesaat terlihat sendu, dan seketika berubah menjadi seperti menahan marah. Ia pun menggelengkan kepalanya, mencoba kembali fokus pada pekerjaannya sore itu. Ia harus segera menyelesaikannya dan pulang. Anak-anaknya telah menunggunya di rumah.
Waktu telah menunjukan pukul enam. Dan matahari pun mulai tenggelam di ufuk barat. Lizzy pun telah menyelesaikan laporannya. Ia bergegas merapihkan meja dan gelas kosong miliknya, setelah ia selesai menyelesaikan bagiannya, ia menghampiri pria itu. "Maaf tuan, ini sudah satu jam dan matahari sudah tenggelam. Aku ingin menagih janjimu yang bersedia pergi setelah satu jam, maaf aku tidak bermaksud tidak sopan padamu, tapi aku benar-benar harus segera pulang dan menyiapkan makan malam untuk kedua anakku."
Pria itu pun tersadar dari lamunannya. Dan menatap wajah Lizzy, "Baiklah nona, aku akan pergi. Terima kasih karena kau telah mengizinkanku untuk duduk disini meskipun hanya sebentar," Pria itu segera membayar tagihannya dan beranjak keluar dari toko roti milik Lizzy.
Dari dalam toko Lizzy memperhatikan kepergian pria itu. Entah mengapa ia merasakan gelenyar aneh dalam hatinya semenjak kedatangan pria itu. Padahal mereka baru saja bertemu. Entahlah ia pun tak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya. Semuanya terasa dè javu. Perasaan yang sama saat dulu ia bertemu mantan suaminya untuk pertama kali, kini terulang lagi.
Tapi ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi, jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Perlahan ia menghembuskan nafasnya dengan lelah. Ia segera membersihkan meja yang baru saja ditempati oleh pria itu.
Di rumah, ia segera tenggelam dalam kesibukannya menyiapkan makan malam untuk kedua anaknya. Menemani mereka belajar, dan kemudian menemani mereka bermain sejenak sebelum pergi tidur.
Rutinitasnya sehari-hari membuatnya hanya memiliki sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Tapi ia tak pernah merasa keberatan apalagi mengeluh. Semua dijalaninya dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Setelah memastikan anak-anaknya sudah tidur nyenyak di kamar masing-masing, ia pun beranjak menuju kamar tidurnya di bagian depan rumah. Ia membersihkan diri sebelum mengganti pakaiannya dengan gaun tidur panjang. Setelah selesai membersihkan diri, ia naik ke atas ranjangnya lalu berbaring. Matanya sulit untuk dipejamkan. Pikirannya berkelana entah kemana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments