"Jadi Lo bakal stay di Indonesia? di Jakarta?" tanya Davi pada Adik sepupunya yang datang berkunjung.
Ipul mencebikkan bibirnya seraya merentangkan lengannya pada sandaran sofa yang dia duduki.
"Tidak ada pilihan lain mau tidak mau gue mesti kembali Bang, Lo kenal benar gimana Mama gue, Tante Lo itu tiap hari berisik banget minta gue buat ngurus perusahaan, nih telinga rasanya penuh sama permintaan Mama gue itu," kata Ipul seperti sedang mengadu.
"Ya gue rasa Lo memang harus tetap berada di Indonesia Pul, harapan mereka itu cuma elo doang setidaknya mereka juga tidak perlu khawatir tentang keadaan Lo," kata Davi.
Tentu saja dia sebagai sepupu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Tante dan juga Om nya, terlebih Tantenya itu sering kali bercerita tentang Adik sepupunya itu kepadanya, bahkan sempat juga meminta dia untuk ikut membujuk, tapi yang namanya Ipul ya tetap saja Ipul yang akan selalu teguh pada pendiriannya dan baru akan berubah jika dia mau atau ada sesuatu yang sekarang tengah mencuri perhatiannya, mungkin?
"Mulai kapan kapan?" tanya Davi.
Ipul yang tahu maksud dari pertanyaan Abangnya itupun menjawab lugas, "seminggu atau dua Minggu lagi."
"Heh! masih butuh waktu? di Inggris Lo juga kerja di perusahaan yang bergerak di bidang sama dengan perusahaan Om Irman, buat apa mesti tunggu semingguan lebih cuma buat bergelut di bidang yang sudah pasti Lo mengerti," beber Davi.
Tentu dia tahu seorang Saipul Gunawan pasti sangat faham dengan dunia bisnis yang selama ini digeluti oleh keluarga mereka, sejak di bangku sekolah pun mereka sudah mempelajari hal itu guna mempersiapkan diri untuk menjadi penerus dan membangun perusahaan yang di wariskan oleh orang tua.
"Bukan butuh waktu Bang, cuma lantai yang akan gue tempati itu masih dalam tahan renovasi, Lo pikir gue mesti mulai kerja dalam keadaan ruangan yang kacau balau begitu?" Ipul membuang napasnya, "bukannya kerja yang ada gue malah stres dengerin bunyi tak tok tak tok," sambung Ipul menirukan suara orang yang sedang memaku tembok.
"Oh, gue pikir Lo masih menyiapkan diri," tutur pria yang mengenakan celana pendek itu.
"Lo pikir otak gue bodoh banget apa, gini-gini gue cerdas untuk urusan bisnis, hanya saja memang waktu sekolah nggak pernah dapet rangking," celetuk Ipul dengan cengiran tak bersalah.
"Dasar!" seru Davi hampir saja melempar gelas teh ke kepala Adik sepupunya jika saja dia tidak ingat kalau benda itu terbuat dari kaca.
"Ngomong-ngomong Achnaf mana? udah satu jam kita ngobrol gue baru sadar kalau keponakan gue itu nggak ada suaranya," tanya Ipul melihat kesana-kemari mencari sang keponakan yang sejak kedatangannya tadi belum menampakkan wajah kecilnya itu.
"Lagi ke rumah Nenek Kakeknya," jawab Davi mengambil handphone miliknya.
"Sama Zara?"
"Ya iya sama Zara, Lo pikir Achnaf bisa jalan sendiri!" sungut Davi dengan pertanyaan tak masuk akal dari sang sepupu.
Ipul malah tergelak mendapati jawaban Davi, benar yang Davi katakan bagaimana bisa Ipul menanyakan hal yang terdengar bodoh itu, astaga ngakunya tidak bodoh tapi lihatlah pertanyaan konyol macam apa yang tadi Ipul lontarkan.
"Bang."
"Hem."
"Jangan kayak Nissa Sabyan Bang," protes Ipul kala sang Abang yang dia panggil hanya menanggapi dengan 'hem' saja.
Mata Davi yang sedari tadi fokus pada layar handphone di tangannya pun menatap sepupunya yang duduk di seberang meja.
"Wow makin tajam aja tuh mata, kalau ada Zara bakal diomelin Lo Bang melototi gue begitu."
Oh ya, Ipul tahu Zara akan lebih berpihak padanya semenjak dirinya membantu wanita itu kabur dan membuat suaminya kalang kabut dengan berita mengerikan tentang sang wanita.
Ya, suami mana yang tidak akan panik kala mendapat berita kalau istrinya tewas dalam kecelakaan pesawat.
"Sayangnya tameng Lo itu lagi nggak ada, jadi gue bebas mau melotot, mendelik, nyopotin mata gue juga Lo nggak bakal bisa selamat dari serangan mata gue!" dengus Davi yang perkataannya itu malah membuat Ipul tergelak kencang, tidak kuat menahan tawanya yang keras memenuhi ruang tamu.
"Astaga! serius Bang Lo ngomong kayak gini?" tanya Ipul tak percaya.
Rasanya selama mereka hidup dan besar bersama tidak sekalipun dia mendengar Davi melontarkan pernyataan tak masuk akal seperti ini, meski dulu masa kecil mereka habiskan bersama hingga SMP dan sering bercanda dengannya tapi tidak yang seperti ini.
Sungguh Ipul tidak percaya bahwa yang dihadapannya saat ini adalah Daviandra Arayyan.
Davi mendengus lalu berdecakan seraya berbicara, "seorang pria akan berubah apabila sudah bertemu dengan wanita yang mereka cintai, terlebih lagi ada buah hati yang menjadi bukti bahwa cinta itu nyata," tutur Davi menggambarkan bahwa sosok Zara dan hadirnya Achnaf lah yang sudah menjadikannya pria yang berbeda.
"Ya ya ya, gue percaya itu sebab gue sudah menyaksikannya langsung," balas Ipul.
"Dan gue yakin nanti pun Lo akan merasakan apa yang gue rasakan sekarang, seolah hidup Lo hanya untuk satu tujuan saja yaitu membahagiakan orang-orang yang Lo cinta dan sayangi, tidak akan ada lagi egois untuk memenangkan diri Lo sendiri karena mulai saat itu hanya akan ada Lo akan diam saja bahkan tetap mengatakan nikmat kala merasakan nasi goreng yang keasinan dan kopi yang lupa di pakaikan gula," jelas Davi panjang seolah tanpa sadar sudah bercerita kalau dirinya pernah mengalami itu semua.
"Yeh itu sih bucin namanya Bang, nasi asin ya asin mana ada nikmat, kopi pahit ya buang! ngapain di tenggak, bodoh amat," celetuk Ipul protes.
Davi tersenyum samar, "nanti Lo bakal rasain gimana rasanya tidak tega memarahi wanita yang kita cintai hanya karena hal sepele seperti itu."
"Nggak bakal! gue sama Lo itu beda Bang, beda tingkatannya, Lo tipe-tipe cowok yang kalau udah cinta ya ngalah mau tuh cewek bertingkah bagaimana juga, sedangkan gue lain gue cinta tapi kalau salah Lo tetap salah mau cuma nasi goreng kek mau kopi kek, bodo amat! marah ya marah gue mah," kata Ipul menyanggah serta tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh sepupunya itu.
"Alah tipe-tipe kayak Lo gini justru malah lebih parah nantinya kalau udah bucin," tekan Davi menaikkan sudut bibirnya.
"Ngaco! ngelawak Lo Bang," kata Ipul lalu terkekeh.
"Mau taruhan?" kali ini Davi malah menantang, sungguh dia sangat ingin mentertawakan Adiknya itu apabila nanti malah termakan oleh omongannya sendiri.
"Siapa takut, taruhan tinggal taruhan tapi kalau kalah jangan ngadu sama Zara," mengejek pria yang refleks melemparkan bantal sofa ke wajahnya.
"Sialan!" umpat Ipul.
"Ambil motor gue kalau Lo menang," pungkas Davi tak main-main.
Mata Ipul pun berbinar senang, motor? siapa yang tidak mau mendapatkan motor gratis terlebih lagi itu adalah motor kesayangan Abangnya.
Sekalipun dia bisa sudah punya tapi rasanya lebih memuaskan karena mendapatkan motor itu dari hasil taruhan, kapan lagi kan dia bisa bertaruh seperti ini dengan Abangnya.
"Dengan senang hati," jawab Ipul sumringah.
"Kalau Lo kalah gue dapat apa?" tanya Davi.
Yah, dia juga tidak mau rugi dalam taruhan pasti ada memang dan kalah.
"Ambil mobil gue," cetus Ipul menyingkirkan bantal ke samping.
"Deal!" kata mereka bersamaan.
Nyatanya Dua sepupu itu kelakuannya sama saja, sama-sama tak jelas dan sekarang lihatlah keduanya yang saling bersalaman tanda menyepakati taruhan gila yang pastinya akan membuat Zara mengomel jika sampai tahu.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Sunarty Narty
siap2 pul kehilangan mobil,itu belum jadian aja g kamu sadari udah peduli Ama ralen sampe nyariin kerjaan.apalagi udah jadian bucin parah nanti
2022-09-15
1
Halisa Fauzan
astaga...pede banget sih pul kalo bakalan menang
aku d tim davi nih, kalo ipul bakalan bucin lebih dr davi wkwk 😅
ap lg ralen galak ny melebihi zara 😆
2022-09-14
1
sikepang
ipul ipul🤪🤪🤪
2022-09-14
0