Belajar Kelompok

Keenam orang itu masih merasa bingung dengan kejadian yang menimpa mereka. Mengaku hilang kesadaran, dan tak mengetahui jika mereka berjalan kembali ke tempat asal. Bagaimana itu dapat terjadi? Padahal, dalam pandangannya, mereka terus berjalan mengikuti Ulfa, Naya Iswanti dari belakang.

"Aduh. Gue heran deh, tapi lo bertiga bilang, kalian sadar, gak ngalamin kejadian kayak kita?" tanya Intan. Dibalas dengan anggukan kepala dari ketiga orang beruntung itu, karena tak harus merasakan pengar yang luar biasa.

"Sekarang kalian tahu kan gue gak bohong?" retoris Salman.

"Oke, fix. Kota ini benar-benar aneh. Gue mau cepat-cepat kuliah di luar kota atau kalau bisa gue bakal pindah SMA ke kota lain. Yang penting gak di sini," cerocos Intan tak digubris semua orang, mengetahui ucapannya hanya bualan semata.

"Jadi gimana selanjutnya?" tanya Naya buntu. Tak mendapat ide untuk langkah yang akan mereka tempuh.

"Gue takut. Ini semua berhubungan dengan hal yang tak masuk akal, tentang hal gaib atau sihir gitu!" ujar Iswanti sedikit menyenggol dengan hal-hal yang sering dibacanya.

"Serius lo bilang itu barusan? Kalau gaib, gue masih bisa percaya. Tapi sihir, gue seratus persen gak mendukung pendapat lo!" sergah Intan. "Kita bukan hidup di buku Harry Potter."

"Gue benci berkata ini. Tapi, kali ini gue setuju sama Intan," bela Annisa sependapat dengan gadis yang sering tak akur dengannya itu.

"Bukannya sihir itu gaib juga? Jadi, gue percaya aja sih," ujar Ulfa mendukung Iswanti.

"Oke guys. Sekarang, bukan waktunya untuk berdebat siapa yang setuju siapa. Tapi, yang harus diperdebatkan adalah, langkah kita selanjutnya apa? Kita buntu, kalau kita kembali masuk ke hutan, kemungkinan hal seperti tadi akan terjadi lagi," papar Renaldi menengahi.

"Gue nggak. Gue bisa kok melewati hutan itu. Iswanti dan Naya juga, gue bisa cari adik gue, sendirian kalau perlu," bantah Ulfa sedikit kesal.

"Terus, kalau udah masuk ke sana mau apa? Gimana kalau benar ada penculik di sana, lo mau ngelawan sendirian?" cetus Faisal bersuara dan membuat Ulfa terdiam.

Suasana makin tak jelas. Waktu kian menipis karena dipakai untuk berdebat, tanpa menghasilkan solusi yang pasti.

"Oke. Sekarang kita lebih baik pulang, kita pikirin lagi cara lain untuk selanjutnya. Maaf gue udah buang waktu kalian sia-sia," ungkap Ulfa dingin.

"Hey. Jangan gitu. Kita teman lo, akan selalu berusaha ada jika lo butuh," balas Annisa.

"Udah! Kita emang harus pulang dulu aja. Senin ada Ujian Akhir Semester. Kalian harus fokus dulu pada hal itu, gue juga," lanjut Ulfa dengan wajah yang kentara tak senang. Ia sangat perasa. Ia merasa bersalah karena telah menyusahkan teman-temannya, dan tak menghasilkan apapun.

Semua orang yang terlibat menyetujui perkataan Ulfa, meski dengan berat hati. Tak tega melihat mimik wajah gadis gemuk yang menyembunyikan perasaannya itu. Mereka pun pulang ke rumahnya masing-masing.

***

Iswanti yang terheran dengan kejadian yang menimpanya tadi, dengan segera menghampiri ibunya yang sedang memasak ketika sampai di rumah. Teringat, kata-kata lelaki berjubah hitam itu.

"Bu. Aku tahu yang diinginkan pria berjubah hitam itu. Dia ingin aku menyelamatkan kota. Dan, yang buat aku heran adalah, dia bilang ibu telah gagal menjalankan tugas. Maksudnya apa bu? Apa ibu kenal sama dia?"

Hilda menghentikan tangannya yang sedang memotong bawang putih. Ia mengernyit, sedikit bingung dengan yang ditanyakan anaknya itu. Meskipun ia memiliki indera keenam, seingatnya dirinya tak pernah bertemu pria berjubah hitam yang dimaksud putrinya. Atau, apakah ia lupa pernah bertemu dengan pria itu?

"Apa yang kamu katakan, sayang? Mama gak ngerti. Menyelamatkan kota? Tugas Mama?" jawaban Hilda membuat Iswanti sedikit kecewa, karena tak mendapatkan pencerahan.

***

Hari ini sudah cukup aneh dan tak normal, Naya ingin kembali ke kehidupan normalnya. Membaca, mempelajari, dan menyiapkan diri untuk menghadapi ujian yang akan tiba dua hari lagi. Jika tidak, bahaya dapat mengintainya, beasiswanya terancam.

Kali ini, ia belajar bersama Renaldi, yang selalu bertanya karena seringkali tak mengerti dengan pelajaran di kelas. Namun tak apa, dirinya merasa senang. Di satu sisi, ia dapat membantu, dan di sisi lain, hatinya tak perlu risau memikirkan pemuda itu ada dimana dan bersama siapa. Sehingga dirinya dapat berkonsentrasi penuh, segenap hati dan pikirannya tercurah pada buku-buku itu.

Dasar cinta! Kadang membuat segala hal menjadi rumit.

Tanpa diinginkan, tiba-tiba Faisal datang ke rumah Naya. Dengan mengetuk pintu, ia menampilkan wajah jahilnya ketika dibuka oleh gadis itu.

"Apa?" tanya Naya malas.

"Belajar bareng?" tanya Faisal meminta izin. "Gak baik loh, kalau cowok sama cewek berduaan di rumah, nanti yang ketiganya setan!" lanjutnya cengengesan saat melihat Renaldi ada di dalam.

"Lo setannya!"

"Gak apa-apa dianggap setan, asal dekat-dekat sama lo," kekeh Faisal makin menjadi-jadi. Membuat Naya ingin memukulnya dan berkata sebal dengan gombalannya itu.

"Masuk!" ketus Naya.

"Hai bro," sapa Faisal pada Renaldi dibalas hangat.

Mereka bertiga duduk bersila di atas karpet usang, mulai membaca buku dan materi yang akan diujiankan.

Setelah hampir lima belas menit berjalan, Naya merasa terganggu ketika mencuri pandang, dan melihat Faisal selalu menatapnya, daripada fokus membaca buku.

"Apaan sih? Kenapa lo malah lihatin gue terus?" tanya Naya kesal, diikuti tawa Renaldi yang masih berkonsentrasi pada bukunya.

Faisal menatap gadis di depannya dengan saksama, dibarengi dengan senyum ambigu khasnya.

Tak dapat dibedakan oleh Naya, apa itu senyum tulus, atau senyum jahil dan joroknya.

Tak dapat jawaban, Naya pun mengernyit heran. Lalu memutuskan untuk melanjutkan membaca. Namun tak dipungkiri, dirinya makin terganggu karena Faisal masih tak mengalihkan pandangan.

Akhirnya, Naya merebut buku yang berada di tangan Faisal, dan mendaratkannya pada wajah tirus pemuda itu dengan kesal.

"Baca buku!" pekik Naya membuat pemuda itu tersentak kaget.

Renaldi terbahak, "Nay, jangan kasar gitu dong!"

"Habisnya serem tau, masa dari tadi gak kedip-kedip lihatin gue," balas Naya sambil melepaskan tangannya dari buku yang menempel di wajah Faisal, sehingga membuat benda tersebut ikut terjatuh.

Naya makin kesal karena ketika buku itu terbuka, dilihatnya hanya kertas yang masih putih bersih tanpa tulisan apapun.

Ia memukul lengan Faisal sedikit keras, membuat pemuda itu mengusap lengannya.

"Mau belajar tapi gak punya catatan?" Intonasi Naya meninggi.

"Untuk itu gue kesini, mau numpang belajar dari catatan lo," sahut Faisal malah cengengesan.

Naya tak bergeming. Ia masih kesal, terlebih karena ekspresi Faisal yang seperti menganggapnya bercanda, "dasar pemalas!"

"Nih gue kasih materinya. Bukan karena gue kasian sama lo, tapi supaya lo baca, bukan lihatin gue mulu," ketus Naya sembari memberikan bukunya pada Faisal.

Pemuda yang menerima, langsung mengeluarkan ponsel dari saku jins-nya, dan memotret materi dari buku itu.

"Makasih," setelah beberapa saat dan setelah membuka lembaran demi lembaran kertas yang berisi tulisan rapi Naya, Faisal mengembalikan buku itu pada pemiliknya.

Naya membalas dengan memutar bola matanya, "awas kalau masih lihatin gue!"

Terpopuler

Comments

Kancah Karya

Kancah Karya

masih sepi...

2022-09-07

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!