Iswanti Dengan Segala Keanehannya

Selamat malam Alpenia. Gulitamu lebih pekat jika matahari sudah tenggelam. Menambah suasana menyeramkan di tempat yang disebut kota gelap ini. Di kesunyian tengah malam membuat auramu kian bertambah mistis.

Gadis itu terperanjat dari tidurnya dengan keringat menetes deras dari kening, setelah mendapatkan mimpi buruk. Bola matanya memutari kesana-kemari seolah mencari sesuatu. Namun bukan untuk memastikannya ada, melainkan memastikan sesuatu itu tak ada di dalam kamarnya ini.

"Tenang Iswanti, itu hanya mimpi," ujarnya intrapersonal.

Dalam beberapa saat, akhirnya ia pun tenang. Detak jantungnya berangsur normal kembali.

Di kegelapan, ia mencoba kembali untuk tertidur. Iswanti kembali merebahkan tubuhnya di ranjang empuk itu dengan condong ke rusuk kanan.

Tak kunjung juga terlelap, ia mulai mengguling-gulingkan tubuhnya. Beberapa kali seperti itu, ia terhentak kaget. Lagi.

Orang dalam mimpinya tadi, kembali hadir di hadapannya. Kali ini benar-benar nyata, karena ia merasakan sakit ketika mencubit lengannya sendiri.

Iswanti dapat merasakan ketakutan yang nyata kian membesar. Melihat sesosok pria berwajah pucat berjubah hitam semampai dengan kaki yang tak tampak menyentuh ubin kamarnya, membuat dirinya merinding bukan main. Tatapan pria itu kosong, namun seperti menatap dirinya.

Sudah seminggu hal ini terjadi, namun sebelumnya sosok itu hanya menampakkan diri dalam imaji mimpi. Dan kali ini benar-benar terasa asli.

Gadis itu tak kuasa melihat tatapan pria asing yang melayang di dekat lampu nakas tersebut. Ia mencoba untuk berteriak namun tak bisa, karena mulutnya seperti terkunci rapat dari dalam. Akhirnya, ia membalut sekujur tubuhnya dengan selimut, berharap sosok itu segera pergi.

Sampai akhirnya, pria itu lenyap dengan sendirinya. Mulutnya tiba-tiba terbuka, menyuarakan lengkingan yang amat lantang dari balik rongrongan selimut, sehingga menyebabkan orang tuanya datang ke kamarnya.

Ibunya langsung menenangkan dengan pelukan, sedangkan sang ayah mencari-cari di seluruh ruangan, takut ada orang jahat yang menyelinap masuk ke dalam kamar putrinya.

"Bu. Aku udah bilang ke ibu kalau mimpi-mimpi yang datang lewat tidur itu pasti memiliki maksud lain. Kali ini, dia udah datangin aku langsung! Kenapa ini harus terjadi sama aku?" tutur Iswanti dengan air mata yang mulai mengucur karena ketakutan.

Ibu dan ayahnya saling melempar tatapan. Dan tak merespons perkataan Putri mereka.

"Udah, kamu tidur lagi aja. Besok harus sekolah!" saran ayahnya mencoba menenangkan, setelah pencariannya nihil hasil. Tak ada siapapun selain putrinya di kamar ini.

Lagi-lagi, Iswanti tak mendapat kejelasan dari orang tuanya, setelah menanyakan berkali-kali teka-teki yang masih bergelut di pikirannya.

Seperti biasa, ia menjadi anak yang penurut. Ia membaringkan tubuhnya lagi dan mencoba untuk kembali terlelap, meskipun dengan perasaan was-was yang belum padam.

Orang tuanya meninggalkan kamar itu setelah memastikan putrinya pulas.

"Hilda, aku khawatir dengan keadaan putri kita," tutur Ali ketika berhasil menutup pintu kamar putrinya, "apakah tak ada cara untuk membuat dia kehilangan kemampuan astralnya tersebut?" lanjutnya dengan harap cemas.

"Aku sama khawatirnya sepertimu. Dia baru mendapatkan bakat itu. Kamu tahu kan, Kemampuannya itu sudah turun-temurun. Aku juga mendapatkan kemampuan itu dari ayahku. Aku tak tahu apakah ada penawar untuk menghilangkannya. Andaikan ayahku masih hidup untuk menjelaskan lebih detil tentang hal ini," jelas Hilda pada suaminya.

Ali terlihat masih berpikir. Namun, Hilda yang sudah mengantuk mengajaknya untuk kembali tidur.

Iswanti yang ternyata belum terlelap, diam-diam mendengar perbincangan ayah dan ibunya tersebut. Merasa aneh sekaligus takut, mendengar perbincangan kedua orang tuanya. Ia baru mengetahui, bahwa dirinya punya indera keenam.

***

Malam berganti pagi. Namun, keadaan masih terasa gelap karena awan hitam yang menyelubungi kota ini.

Senin pagi dengan cuaca hujan disertai angin tak membuat semangat Naya goyah untuk menimba ilmu. Dengan jaket parasut yang membalut sempurna di tubuhnya, membuatnya sedikit hangat. Serta payung yang sudah siaga, membuatnya siap untuk menerjang badai.

Seperti hari biasanya, ia harus menempuh jarak yang tak terlalu jauh dengan berjalan kaki untuk mencapai SMA pusat kota.

Ia menyusuri jalan setapak dan terhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan tampilan tak jauh berbeda dengan rumah miliknya. Dalam beberapa detik, mengharapkan seseorang muncul dari sebalik pintu.

Dan akhirnya, seorang pemuda membuka pintu rumah itu. Membuatnya refleks bergerak, berjalan senormalnya, takut jika ketahuan seperti orang yang sedang menguntit.

Pemuda itu memanggil namanya, membuatnya senang sekaligus gelisah. Perasaannya sering bercampur aduk akhir-akhir ini.

"Naya!"

Pura-pura tak mendengar, ia melanjutkan langkahnya lamat-lamat. Namun, hatinya dibuat lagi tak karuan ketika sebuah telapak tangan menyentuh lembut pundaknya.

"Hey!" ujar Renaldi sambil ikut masuk berlindung di bawah payung yang dipegang Naya.

"Hai Rey!" gadis itu berbicara seolah-olah semuanya normal. Kontradiksi dengan hatinya yang tak jelas sedang merasakan apa.

"Bareng ya!" Renaldi malah makin merapatkan diri. Ia menjalarkan lengan kanannya merangkul pundak Naya. Membuat situasi Naya makin sulit. Sulit karena kesenangan yang dirasakan oleh hatinya kini mungkin saja tak akan bertahan lama.

Naya sangat berusaha keras untuk mengatur nafasnya, tak ingin terlihat tegang atau grogi di samping Renaldi. Karena, ia ingin bersikap seolah tak merasakan hal lebih dari seorang sahabat pada pemuda itu. Ia takut, persahabatannya akan hancur jika Renaldi mengetahui kebenarannya. Masalahnya, Renaldi sudah mempunyai tambatan hatinya sendiri. Dan jelas, itu bukan dirinya. Ia hanya akan tetap menjadi orang yang selalu ada untuk berbagi cerita.

"Eh, buku matematika gue dibawa, kan?" ujar Naya mencoba mencairkan dirinya sendiri.

"Aduh... ketinggalan!" ucap Renaldi sambil menepuk jidat.

Dengan spontan, Naya mendorong Renaldi ke bawah guyuran hujan.

"Apaan sih. Gue bercanda kali," ujar Renaldi dengan cepat masuk lagi ke bawah payung, "tuh, jadi basah, kan?"

"Ya maaf," ucap Naya memajukan bibirnya.

Pembicaraan dan candaan antar dua sahabat itu berlangsung sepanjang jalan dengan sangat menyenangkan. Hal itulah yang membuat Naya takut untuk mengutarakan perasaannya. Takut kalau ia tak akan pernah bisa memiliki momen indah seperti ini lagi bersama Renaldi.

***

SMA Alpenia menjadi hal baru bagi Annisa. Namun, tak menjadi masalah baginya untuk dapat langsung berbaur dengan orang-orang di dalamnya. Sifatnya yang berangsur berubah, membuatnya menjadi lebih ramah.

"Hai! Gue Intan," seorang gadis dengan ekspresi enerjik menjulurkan tangan pada Annisa ketika sedang asyik mengobrol dengan teman-teman barunya.

"Hai! Annisa," balasnya dengan meraih tangan gadis berkulit putih dan berambut kemerahan itu.

"Selamat! Lo resmi di undang ke acara ulang tahun gue," lanjut Intan tiba-tiba memberikan sebuah undangan pesta ulang tahun.

"Oh... makasih," Annisa terlihat menyambut hangat undangan itu, "emang kapan pesta ulang tahunnya?"

"Tiga bulan lagi," ucap Intan menerangkan.

Annisa mengernyit untuk sesaat, "Oohh.." ucapnya berusaha mengerti meskipun merasa bingung. Kenapa menyebarkan undangan yang masih berada di tanggal jauh?

"Oke. Tandai tanggalnya, ya!" cetus Intan seperti menyuruh. "Oke bitches! Ayo kita cari lagi orang yang layak buat datang ke pesta gue," ajaknya pada dekengan sejatinya, Rima dan Amora.

Intan Salsa Wijaya. Gadis cantik nan populer di kelas dan juga seantero SMA Alpenia. Selalu membuat sensasi, contohnya seperti sekarang ini. Dikenal sebagai gadis kaya yang sombong, centil, juga egois. Biasanya ia memilah-milih teman. Kriteria utamanya harus dari kalangan papan atas. Namun, pada Annisa, ia langsung menetapkan keputusannya. Sebab, ia merasa pernah melihat wajah itu di suatu tempat.

Intan dan dekengannya meninggalkan Annisa yang masih terheran. Saat di depan pintu, ia melihat Naya dan Renaldi yang baru saja tiba dengan jaket yang sedikit basah karena banyak bercanda dengan air hujan tadi.

"Hai gembel!" sapa Intan dengan centil pada dua orang itu dengan ekspresi tak berdosa. "Hai kakak!" sapanya lagi ketika melihat pemuda tinggi yang sedikit memiliki kemiripan wajah dengannya di belakang Naya dan Renaldi.

Nama pemuda Ikbal Tsani Wijaya, saudara kembarnya. Tak sombong seperti Intan, saudaranya ini hanya memiliki wajah dan hati dingin.

"Dadah Ikbal! Gue mau nyebarin undangan birthday party kita," lanjutnya sambil menjauh pergi, "oh ya, para gembel gak usah datang, ya?"

Naya berbisik pada Renaldi. "Lo serius, masih suka sama dia?"

Renaldi mengangguk, dibarengi dengan Naya yang mengerlingkan mata.

Naya berkutat dengan pikirannya. Kualitas apa yang dimiliki Intan, yang tak sebanding dengan dirinya. Sehingga Renaldi tak pernah memandangnya dengan tatapan penuh cinta seperti saat memandang gadis sombong itu. Apakah karena gadis itu memiliki harta berlimpah? Tidak! Renaldi bukan tipe orang seperti itu.

Mereka berdua berjalan menuju tempat duduk, namun ketika sampai, sudah ditempati orang lain. Ada Annisa di sana.

"Hai... pengantar pizza," ucap Annisa bersemangat menyapa Renaldi.

"Oh, kasar ya!" sahut Naya yang bereaksi sambil menaikan alis.

"Oh sorry. Gue gak bermaksud menghina," Annisa meminta maaf, "gue Annisa," ia mengangkat tangannya.

"Naya," balas Naya dengan tersenyum palsu, "itu tempat duduk kita," lanjutnya dengan nada bicara tak bersahabat.

"Oh maaf. Gue gak tau," ucap Annisa gelagapan.

"Sekarang udah tau, kan?" ketus Naya.

"Lo kenapa sih?" Bisik heran Renaldi pada sahabat karibnya itu.

"Emm.. Oke. Kalau gitu, gue pindah ke belakang aja," pungkas Annisa mengangkat tasnya, hendak beranjak berpindah.

"Udah, gak usah. Gue aja yang ke belakang," ujar Renaldi yang dari tadi tak ikut meracau, dengan suka rela mengalah.

Naya menatap Renaldi sedikit kesal. Tak menerima keputusan itu.

"Oke. Makasih pengantar pizza, Rey maksud gue!" tutur Annisa sambil menatap Naya yang cemberut.

Naya yang merasa kesal tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya ia duduk bersama murid baru itu.

Sedangkan Annisa mempunyai perasaan tak enak sekaligus heran. Kenapa Naya bersikap seperti itu padanya, seperti tak menyukainya.

Renaldi berjalan menuju bangku pojok di belakang. Seorang gadis duduk di sana. Dikenal sebagai gadis aneh, kutu buku, dan anti sosial. Hal itu tak jarang membuatnya menjadi korban perundungan.

"Hai Iswanti. Boleh gue duduk disini sama lo?" sapa Renaldi ragu. Karena sudah setahun lebih sekelas dengan gadis itu, mereka hampir tak pernah bertegur sapa.

Gadis berkacamata itu mengangguk mengiyakan.

"Oke," ujar Renaldi menempati posisi, dengan suasana canggung mengelilingi.

Terpopuler

Comments

shizun

shizun

cerita sahabat kita hampir sama, kalau aku yg sahabat cowok suka sama ceweknya😂

2022-08-31

1

Kancah Karya

Kancah Karya

semangat buat diri sendiri!

2022-08-25

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!