Di Kesunyian Malam

Sosok serba hitam yang pernah mengganggu kehidupan Iswanti dua minggu lalu, kini kembali. Dengan tampilan yang masih sama menyeramkan, dan masih membuat Iswanti ketakutan.

Iswanti memilih bangkit dari tempat tidur, berusaha untuk keluar dari kamar dengan tenang.

Ada yang bilang, jika diri kita dipenuhi rasa ketakutan, maka makhluk dari dunia lain akan senang dan memudahkan mereka untuk mengganggu. Untuk itulah, Iswanti berpura-pura tenang, seolah tak takut. Padahal jantungnya sedang berdegup dua kali lebih kencang dari normalnya.

Diiringi tatapan mata pria itu yang terus tertuju pada langkah kakinya, Iswanti akhirnya dapat keluar, meninggalkan arwah itu sendirian di kamarnya.

Barulah, ketika berhasil menutup pintu, ia berlari menuju ruangan tengah, menuju orang tuanya yang masih asyik menonton acara televisi.

"Ayah, ibu, di kamar! Sosok yang suka ganggu aku datang lagi!"

Ali dan Hilda terbelalak. Bingung harus berbuat apa, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk memeriksa ke kamar anaknya. Sedangkan, Iswanti berganti posisi, memilih menonton televisi.

Hawa dingin mulai menyentuh bagian lehernnya. Iswanti yang sedang berusaha menenangkan diri, akhirnya dibuat terkejut lagi. Sosok pria yang ia tinggalkan di kamar, kini sedang melayang di belakang kursi yang didudukinya. Menemaninya menonton televisi.

Ali dan Hilda belum juga kembali, satu detik rasanya seperti satu jam. Iswanti kembali ketakutan. Ia belum terbiasa dengan kemampuan khususnya.

"Sudah gak ada, mungkin arwah itu sudah pergi," ujar Hilda setelah kembali dari kamar putrinya. Dilihatnya hanya Iswanti yang sendirian di ruangan tengah itu.

Arwah di belakang Iswanti mendadak hilang, dalam tangkapan mata Hilda dan Ali.

"Bukan gak ada. Tadi, pas ayah sama ibu meriksa kamar aku, dia disini. Tapi pas ayah ibu datang, dia pergi!" ujar Iswanti masih ketakutan. Ia masih berpikir mengapa arwah itu terus mengganggunya.

Hilda duduk di samping putrinya. "Arwah itu, sepertinya hanya ingin bersentuhan dengan kamu. Makanya ketika ayah dan ibu ada, dia langsung hilang. Jadi, kamu harus membiasakan diri. Tanyakan apa yang diinginkannya, sehingga terus menggangu. Kamu harus mencari tahu jawaban atas segala pertanyaan yang ada di kepala kamu!" saran Hilda tulus pada putrinya.

Iswanti mengiyakan setengah hati. Di satu sisi, ia sangat takut akan hal ini. Di sisi lain, ia harus menerima takdir, bahwa dirinya dilahirkan berbeda.

***

Naya terus menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam, dengan mata yang sudah hampir terpejam. Mengantuk berat. Namun, ia harus menjalankan kewajibannya. Tinggal satu jam lagi, sif malamnya ini akan berakhir.

Namun, matanya tiba-tiba terbuka lebar ketika melihat seorang pemuda yang baru saja masuk. Faisal. Si cowok yang suka berpikiran jorok.

"Hai. Pesan dong!" ujarnya pada Naya menebar senyum jahil.

"Apa?" balas gadis itu dingin.

"Sama pelanggan jangan jutek! Kalau pelanggannya tersinggung, terus gak mau datang lagi, gimana? Mau disalahin?" candaan Faisal tak membuat Naya bergeming.

Naya menatap pemuda itu datar. Tak tertarik untuk terlibat perbincangan.

"Bang Sandi! Tanyain pelanggan ini mau pesan apa. Gue mau ke toilet," ucap Naya menemukan alasan tepat untuk terhindar dari pemuda itu. Ia meminta teman kerjanya untuk meladeni pelanggan yang menurutnya mengganggu. Ia memilih pergi ke belakang secepat mungkin.

"Hey!" teriak Faisal mengikuti langkah Naya.

"Gue gak minat kalau dilayani sama lo. Gue mau nunggu Naya keluar dari toilet!" ketusnya pada Sandi. Lalu pergi, memilih kursi untuk diduduki.

Naya yang ingin terus menghindar, akhirnya bersembunyi dan mengobrol di dapur bersama koki yang sedang bersantai. Karena malam ini sepi pengunjung.

Faisal duduk penuh sabar. Sudah lima belas menit, sedangkan orang yang ditunggu memang sengaja tak menghampiri. Tanpa direncanakan, matanya terpejam. Rasa bosan membuatnya mengantuk. Dan akhirnya, tertidur sedikit pulas.

Karena tak ada lagi pengunjung yang datang, Naya pun terlupa waktu. Saking asyiknya mengobrol, ia tak berhenti meracau hingga jam kerjanya habis. Sudah tepat tengah malam, tugasnya tinggal menutup kafe. Dan, Saatnya pulang.

Ia keluar dari dapur, ingin langsung pulang bersama kedua koki tersebut. Namun matanya teralihkan, pada Faisal yang sedang tertidur dengan menempelkan wajahnya di atas salah satu meja.

"Bang, tolong bangunin dia, dong! Kita mau tutup," pinta Naya pada Sandi dengan telunjuk mengarah pada Faisal. Asli. Dirinya malas berurusan dengan orang itu. Kejadian terakhir, sangat menyakiti hatinya. Ia merasa sangat direndahkan.

"Kok gue? Gak mau. Orangnya ribet, rese. Tadi aja nih, dia sampai gak jadi pesan makanan karena bukan lo yang ngelayanin," ketus Sandi. "Lo aja sana!"

Mendapatkan penolakan, berarti inilah saat Naya untuk melakukan hal yang paling tidak disukainya. Berinteraksi dengan Faisal.

"Woy. Bangun!" ketus Naya sedikit kasar ketika menepuk pundak pemuda itu.

Faisal pun terbangun, mencoba mengembalikan penglihatannya yang sedikit buram dengan mengucek mata, "eh, udah ke toiletnya. Gue mau pesan."

"Telat! Semua koki udah pada pulang. Kafe juga mau tutup. Lo harus pulang sekarang!" jelas Naya jutek.

"Oh oke. Lo udah siap?" tanya Faisal tak nyambung.

"Maksud?"

"Ayo pulang bareng!" terang Faisal.

"Jangan harap. Lo pergi, sekarang!" tolak Naya mentah-mentah.

Faisal termangu untuk sejenak. Memikirkan strategi agar gadis yang disukainya itu berubah pikiran dan mengatakan 'ya'.

"Ayolah! Ini udah tengah malam. Lo gak takut diganggu sama orang jahat, terus macam-macam sama lo?" bujuk Faisal tulus.

"Tepat sekali. Kalau gue pulang bareng lo, sama aja gue nyerahin diri ke penjahatnya!" celetuk Naya.

Faisal mengerti mengapa niat tulusnya ditolak. Perkataannya tempo hari, sepertinya menjadi penyebab utamanya.

"Gue gak akan macam-macam. Janji. Kalau lo takut karena perkataan gue waktu di perpus, gue minta maaf. Gue jamin, waktu itu gue cuma becanda. Gak mungkin gue melakukan hal yang melukai orang paling spesial di hidup gue," rayu Faisal tak menyerah dengan mudah.

Naya tertawa pahit, "oke. Pertama, gombalan lo gak akan pernah berhasil sama gue. Kedua, lo boleh nemenin gue pulang, asal harus jaga jarak minimal lima meter." Naya terpaksa menyetujui. Berhubung, malam ini sangat gelap dan sunyi. Bahkan, kendaraaan yang berlalu lalang di jalan raya pun dapat terhitung jari. Sedikit berisiko jika dirinya pulang sendirian.

Dan, semoga pemuda itu dapat memegang kata-katanya sendiri. Karena jika tidak, berarti Naya telah mengambil risiko yang lebih besar.

"Oke. Gue setuju. Ayo!"

Sebelum pergi, Naya berpamitan pada manajer dan kawan kerjanya yang masih berada di kafe.

"Gue gak mau naik motor!" ujar Naya ketika melihat Faisal hendak memakai helm yang baru saja diambil dari atas motor gede-nya.

"Kenapa?" tanya Faisal heran. Bukannya lebih cepat naik motor daripada jalan kaki? Pikirnya. Atau jangan-jangan Naya ingin berlama-lama dengannya? Pikiran geer lainnya.

"Gue udah bilang. Lo harus jaga jarak sama gue. Lo tuli, pikun, apa gimana sih?" ketus Naya. "Lagipula gue gak bakalan bisa kabur kalau naik motor. Siapa tahu kan, lo berniat nyulik gue?"

Faisal salah tingkah, meskipun sedikit kesal dengan ucapan Naya yang demikian. Namun, ia tak dapat menyalahkan Naya. Gadis terhormat manapun akan merasa tak aman jika berinteraksi dan berdekatan langsung bersama orang yang telah dengan terang-terangan ingin menjadikannya cinta satu malam.

"Tapi kalau lo mau pake motor, silakan! Gue bisa jalan kaki sendiri. Baguslah, berarti gue gak perlu bareng sama lo!"

"Enggak lah! Gue nemenin lo balik dulu. Biar nanti, gue balik lagi kesini buat ambil motor!" tukas Faisal menyetujui.

Terpopuler

Comments

Kancah Karya

Kancah Karya

maju terus, pantang mundur

2022-08-29

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!