Berjalan bersama di tengah kesunyian kota dengan menjaga jarak yang sudah ditentukan, membuat suasana menjadi canggung. Angin malam menyentuh kulit mereka berdua. Sangat dingin menyelusup, menusuk hingga ke tulang. Suasana lebih dingin lagi, karena mereka berdua tak saling berucap.
Faisal bingung harus berkata apa, karena takut perkataannya keterlaluan. Ia menyadari bahwa perbincangan terakhir kali dengan gadis di depannya adalah salah. Lebih baik, ia memikirkan dan merancang kata-kata yang baik sehingga dapat diterima oleh Naya.
Sedangkan Naya, tak ada alasan spesifik. Ia hanya tak mau berbicara dengan pemuda di belakangnya.
"Bulan kemana, ya?" ujar Faisal basa-basi tak penting sambil menatap langit hitam, membuat Naya geli sendiri.
Gadis itu diam, meskipun rasanya ingin sekali terbahak. Tak menyangka, Faisal yang selalu terlihat kacau, ternyata dapat berkata demikian. Jijik sekaligus lucu mendengarnya.
Tak mendapat respon, pemuda itu dengan cepat berpikir lagi. Mencari omongan yang lebih menarik, "bintang-bintang pada jatuh kali ya, sampai gak ada satupun di langit."
Cukup. Gadis itu tak bisa menahannya. Ia akhirnya terkekeh.
Faisal yang mengira kata-katanya puitis, malah menjadi bingung, kenapa Naya tertawa? Akhirnya ia pun ikut tertawa canggung.
"Apaan sih lo? Alay!" ejek Naya saat tawanya berangsur menghilang.
Faisal tersenyum getir, "habisnya gue bingung mau ngomong apa. Biar di perhatikan sama lo."
"Ngomong, ya ngomong aja kali. Tapi yang masuk akal!" terang Naya lalu kembali tertawa kecil.
Melihat Naya yang bahagia tanpa beban, Faisal kini ikut tertawa tulus.
"Gue kepikiran deh, tadi lo mau pesan apa? Malah ketiduran." Suasana mencair dengan sendirinya. Naya yang dari tadi meniatkan untuk tak berkecimpung dalam perbincangan, ternyata malah dengan sukarela membuat topik.
"Ehmmm.. Gak ada sih," sahut pemuda itu santai.
Naya sudah mengerti arah perbincangan ini. Pasti pemuda itu akan mengeluarkan jurus andalannya. Menggombal. Akhirnya, ia tak bertanya lagi.
"Udah, gitu aja?" tanya Faisal terheran, karena gadis itu seolah menghentikan pembicaraan.
Naya menatap Faisal dengan menaikan qlis, "kalau gue tanya alasan lo, pasti jawabannya bakalan seperti biasa. Gombal. 'Gue tuh nungguin lo, gue mau nganterin lo pulang dengan niat tulus, dan bla bla bla.' Yang mana, lo tau kan gue gak mempan sama gombalan. Malah suka jijik sendiri dengarnya."
Faisal membalas dengan tawa, "kalau benar itu alasannya, gue harus bilang apa? Masa harus bohong?"
Setelah mengambil jeda sejenak, ia melanjutkan, "gue tadi sore ke kafe, dan lo gak ada. Terus gue tanya sama teman kerja lo yang kerja sif siang, dan dia bilang lo ngambil sif malam. Sebagai pria yang peduli, gua khawatir kalau lo pulang tengah malam sendirian, dan gue dengan sukarela mau nemenin lo pulang, terus--,"
"Tuh kan, gombal!" potong Naya tak membiarkan pemuda itu menyelesaikan kata-katanya.
Faisal tersenyum. Di dalam hati, ia tak menyangka momen ini akhrinya terjadi. Tak membayangkan, ia akan berbincang dengan Naya tanpa bertengkar, seperti biasanya.
Keduanya terdiam dalam kurun waktu beberapa detik. Hingga, ketakutan Naya berbicara ketika melihat bayangan hitam yang baru saja keluar dari salah satu jendela rumah yang gelap gulita, tak ada penerangan sedikit pun.
"Hey. Lo lihat itu gak?" tanyanya sedikit panik dengan menunjuk pada arah bayangan tersebut.
"Apaan?" Faisal menyipitkan mata karena penglihatannya sedikit tak jelas.
"Itu!" Naya masih memberi arah dengan telunjuknya. "Eh, eh, eh, dia lari!" lanjutnya heboh ketika melihat bayangan hitam itu ternyata adalah orang yang berpakaian serba hitam. Seorang pencuri dengan membawa gembolan hasil curiannya.
"Sial, itu perampokan!" ujar Faisal tak membantu.
"Gue tau. Kejar dong!" Naya menghapus jarak, dan memukul pundak pemuda itu. Lalu, dengan cepat berlari, mencoba menangkap pencuri itu.
Faisal mengekor, menyusul Naya dan mendahuluinya. Namun, terlambat. Pencuri itu raib seketika. Bak hilang ditelan gelapnya malam. Hilangnya secepat kilat.
Faisal bahkan telah sampai di perempatan jalan, yang mana itu menyulitkannya untuk menentukan jalur yang pencuri itu ambil.
Naya yang baru sampai, menyejajarkan tubuhnya dengan Faisal, "Gimana?" ujarnya ngos-ngosan.
"Gak tahu, dia hilang. Gelap banget sih! Gue jadi gak bisa lihat jelas, dia belok kiri, kanan, atau lurus," ujar Faisal sambil mengatur napas juga.
Terlihat raut wajah kecewa di wajah Naya, karena tak berhasil menangkap penggasak barang orang lain itu.
"Lo nganterin gue sampai sini aja, ya? Rumah gue kan udah dekat, tinggal belok kiri dan--,"
Belum juga Naya menyelesaikan kalimatnya, Faisal langsung membantah, "enggak! Gue anterin sampai depan rumah lo. Lo gak lihat barusan? Kota ini gak aman!" tandasnya tanpa sadar menggenggam pergelangan tangan Naya.
Naya dengan segera melepaskan tautan itu, "gak usah pegang-pegang!" Sikap ketusnya ternyata kembali lagi. "Oke, ayo!" Ia lanjut berjalan mendahului.
Faisal mengekor, menyelesaikan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Mengantarkan Naya hingga tempat tujuan.
"Oke. Gue gak nyangka akan berkata seperti ini sama lo. Tapi, makasih udah nganterin pulang," ujar Naya ragu-ragu.
"Sama-sama. Sebagai cowok--,"
"Jangan gombal! Sana pulang, udah malam!" potong Naya dengan segera, dan mengusir Faisal secara halus.
"Oke, sampai ketemu lagi!" Faisal berjalan mundur menjauhi Naya, serta melambaikan tangan dengan senyuman.
Naya dengan cepat masuk ke rumahnya, disambut oleh ibunya yang ternyata mengintipnya melalui jendela dari tadi. Maklum, harap cemas seorang ibu ketika anak perempuan semata wayangnya belum juga pulang saat telah lewat tengah malam. Meskipun mengetahui dan percaya, jikalau anaknya tak mungkin melakukan hal salah.
"Akhirnya kamu pulang juga. Kenapa kamu di antar sama dia?" Wina merasa lega, dan bertanya sedikit tak suka. Bagaimana tidak? Ayah Faisal sedikitnya telah membuatnya menderita. Dengan menetapkan bunga yang besar pada uang yang dipinjamnya untuk pengobatan Naya ketika berusia sepuluh tahun.
Tujuh tahun lalu, Naya pernah sakit. Kritis beberapa hari di rumah sakit, karena terserempet mobil ketika bermain sepeda.
Wina terpaksa meminjam uang haram itu sebesar tujuh juta, karena tak punya uang, dan tak punya kerabat untuk di pinjami. Dan sampai sekarang, utang itu tak pernah lunas, karena setiap bulan, bunganya semakin berlipat ganda.
"Tadi dia nawarin buat nganter aku. Katanya kasihan kalau aku pulang sendiri," jelas Naya dengan suara pelan, sedikit ragu.
Wina menyentuh pundak putrinya, "nak, Ibu gak suka kalau kamu dekat sama anaknya Hermawan. Kamu tahu kan apa yang ayahnya perbuat sama kita?" jelasnya dengan lembut, mencoba membuat putrinya mengerti.
Dan pastinya, Naya telah mengerti.
"Ya udah. Kamu istirahat ya! Atau mau makan dulu?"
"Enggak bu. Aku mau langsung tidur aja, capek, habis lari-larian," jawab Naya membuat ibunya sedikit heran.
"Lari?"
"Iya bu. Ada pencurian barusan, aku sama Faisal coba kejar, tapi kehilangan jejak," jelas Naya.
"Aduh. Rumah siapa yang kerampokan?"
"Kayaknya rumah Rima deh," terang Naya sedikit mengira-ngira.
"Aduh. Kasian teman kamu, ya!" Wina ikut perihatin.
Naya mengangguk. "Udah bu. Aku ngantuk, aku tidur dulu ya!" pungkasnya langsung meninggalkan ibunya ke kamar, dan merebahkan diri di ranjang. Hari ini cukup melelahkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Kancah Karya
lanjooottt
2022-08-30
1