ALPENIA (Kota Kecil Yang Kejam)
Seorang gadis duduk ditilami sebuah karpet tipis di lantai, sedang melipat pakaian yang menggunung. Ditemani televisi yang setia menyala, konsentrasinya tetap penuh. Mata tertuju pada saluran berita, sedangkan tangan melakukan tugasnya, membuat baju dan celana itu tertata rapi.
Di sebuah rumah sederhana, dengan sebagian besarya terbuat dari kayu dan bambu, gadis bernama lengkap Naya Widia itu hidup bersama sang ibu, yang hanya berprofesi sebagai buruh tani di sebuah perkebunan anggur milik juragan besar.
Hidup di kota kecil bernama Alpenia, di tengah-tengah masyarakat dengan mayoritas perekonomian menengah ke bawah, membuat keadaannya sedikit sulit.
'Sebuah perampokan kembali terjadi di kota kecil Alpenia. Pemilik toko kelontong menjadi korbannya.'
Naya membaca sebuah judul berita di televisi itu, mendengarkan suara narator menyampaikan informasi yang sudah tak asing lagi. Karena sudah kerap terjadi hal semacam itu di kota ini. Namun, tetap membuatnya menggelengkan kepala.
Tak semua penduduk di kota ini hidup susah, ada beberapa keluarga yang kaya raya. "Rampok aja tuh orang kaya yang sombongnya minta ampun, para koruptor, biar tahu rasa! Bukan malah rakyat yang melarat," cerocosnya kesal mengomentari
Naya bergelut di pikirannya, sedikit menyumpahi orang-orang yang hidup berkecukupan, namun menurutnya harus diberi pelajaran. Para penguasa seringkali berbuat buruk dan merendahkan orang-orang dibawah mereka.
Selesai melipat dan memasukan pakaian ke tempatnya, Naya langsung mengerjakan tugas dari gurunya. Ia bersekolah di sebuah Sekolah Menengah Atas pusat kota. SMA Alpenia.
Sebenarnya, sekolah itu termasuk sekolah bergengsi, dimana hanya orang-orang tertentu yang dapat masuk ke sana. Misalkan orang berpunya, anak dan sanak saudara pejabat, dan orang-orang kalangan atas lainnya.
Apalah dayanya, yang hanya mengandalkan beasiswa, karena seringkali mendapat prestasi ketika duduk di bangku SMP. Namun, ia bersyukur karena berhasil berjuang dengan usahanya sendiri.
Naya selalu mencurahkan seluruh kerja kerasnya untuk sekolah. Karena jika sampai nilainya turun sedikit saja, akan menjadi risiko terhadap beasiswanya.
Tugas dari sekolah telah terselesaikan dengan mudah hanya dalam beberapa menit. Setelah itu, Naya berniat untuk menyetrika seragam sekolah yang akan ia kenakan besok Senin. Ia menyambungkan sebuah setrika ke sumber listrik, membawa seragam sekolah dari kamarnya ke karpet tipis tadi.
Ketika hendak memulai, ia dikejutkan dengan dua orang yang menggebrak pintu rumahnya hingga terbuka. Naya langsung melihat dua orang berbadan tinggi besar. Satu berkulit putih dan yang lainnya berkulit gelap, masing-masing berkepala pelontos, dengan ekspresi wajah muram.
"Wina!" pria besar berkulit putih itu berteriak kencang dengan suara besar dan menggema.
Naya bangkit dan menghampiri orang yang sudah terlihat dari tempatnya duduk. Karena ukuran rumahnya yang kecil, membuat jarak pandang mata dari satu ruangan ke yang lainnya tak terbatas. Dengan kata lain, rumahnya memang hampir tak memiliki batas-batas ruangan.
"Ada apa bang?" ujar gadis cantik berambut sebahu itu dengan tenang.
"Mana Wina?" pria yang berkulit hitam berbicara dengan memelototkan mata merah kepada Naya.
"Ibu saya gak ada di rumah bang!" Naya masih berbicara santai, tak ada gentar dalam dirinya.
"Bohong!" pria putih itu kembali berteriak. Dan kemudian, memaksakan diri untuk masuk ke dalam rumah Naya.
"Buat apa saya bohong?" Naya menaikkan bahu.
"Gak ada kan?" ungkapnya setelah dua pria besar itu melihat ke sekeliling rumah yang hanya mempunyai dua kamar kecil tak berpintu. Dapur dan kamar mandi yang berada hampir dalam satu area. Serta ruangan utama yang sempit diisi dengan televisi dan dua kursi kecil reot, tempatnya tadi duduk ketika mengerjakan PR.
Kedua orang itu menyerah, setelah beberapa puluh detik mencari ibu Naya, namun nihil hasil, dan akhirnya keluar dari rumah Naya. "Bilangin sama ibu kamu, kalau punya utang itu dibayar!" giliran pria yang berkulit hitam yang berteriak pada Naya.
"Oke," Naya mengiyakan dengan ekspresi wajah sedikit tersenyum. Berpura-pura ramah.
Kedua pria itu akhirnya hendak beranjak pergi. Jika saja Naya tak menghentikan mereka dengan kata-kata sedikit berani yang tiba-tiba keluar dari mulutnya, membuat mereka berbalik badan.
"Bilangin sama bos abang-abang ini, kalau punya uang, kalau mampu, kalau mau pinjemin orang, ada baiknya gak usah pake bunga atau enggak usah digede-gedein bunganya. Supaya utang yang minjem bisa cepet lunas. Gak takut makan uang haram terus?!" tutur Naya masih dengan nada datarnya.
Kedua pria itu terlihat meradang, wajah pria yang berkulit putih terlihat memerah dan yang kulit hitam terlihat meng-ungu.
Tangan mereka terkepal, sepertinya siap untuk mendaratkannya pada salah satu bagian tubuh Naya.
Namun, seorang pemuda dari arah belakang, menyentuh pundak mereka.
"Abang-abang. Ada urusan apa disini?" bicara pemuda itu terdengar bersahabat.
Kedua pria itu menggerakkan pundaknya kasar, mencoba menurunkan tangan pemuda yang berbadan jangkung itu, sedikit melebihi tinggi badan mereka berdua, "jangan ikut campur!"
"Ouww.. Tenang bang. Oke, kalau gak mau jawab. Naya, ngapain mereka?" Pemuda itu menghampiri Naya yang masih memegang gagang pintu rumah yang terbuka.
Naya menceritakan semuanya pada pemuda bernama Renaldi itu. Atau biasa dipanggil Rey.
"Denger abang-abang. Sekarang pergi ya dari sini!" pemuda itu menjauhi Naya saat sudah mengerti seluruh ceritanya dan menghampiri kedua pria itu dengan tersenyum jahil. Nada bicaranya masih sopan.
Sedangkan, kedua pria itu malah makin mendekat, sepertinya siap untuk memukuli dua remaja dihadapannya. Tak kunjung ingin beranjak pergi.
"Hey. Botak! Pergi gak sekarang?" Intonasi yang tadinya pelan mendadak meninggi. Rey dengan berani mengucapkan kata-kata yang justru membuat keadaan semakin panas.
"Kurang ajar!" pria hitam itu mendaratkan satu Bogeman pada perut pemuda itu.
Pertarungan berlangsung sengit, karena pemuda itu tak pantang menyerah. Ia berusaha sekerasnya untuk membela diri dan memenangkan perkelahian. Meskipun, ia harus melawan dua orang sekaligus.
Melihat seseorang yang membantunya dalam keadaan terpojok, Naya tak tinggal diam. Ia pun mencari cara untuk membantu.
Gadis itu masuk ke dalam rumahnya, mencabut kabel setrika yang masih terpasang di sumber listrik tadi, dan menjadikannya sebagai ancaman.
"Hey botak! Pergi gak? Kalau enggak, kepala kalian yang jadi korbannya!" Naya mengacungkan setrika yang masih panas itu tinggi-tinggi.
Tak digubris, Naya melontarkan ancamannya lagi. "Ini masih panas. Mau otak kalian gue buat mendidih?"
Pria hitam itu menghampiri Naya, dianggapnya Naya sedang bercanda.
"Sini maju! Biar tau rasa!" kecam Naya terdengar tak main-main.
Ketika jarak memungkinkan untuk digapai, saat pria hitam itu hendak memukul dirinya, dengan cekatan bogeman itu Naya adukan dengan setrika yang dipegangnya.
Tak pelak, pria hitam itu sedikit mengerang, dengan tangan yang terasa terbakar. Memang terbakar.
"Gue bilang, gue gak main-main!" senyum Naya terlihat puas.
Akhirnya, pria hitam itu mengajak teman satunya yang telah hampir dikalahkan juga oleh Rey, untuk meninggalkan rumah itu. Keduanya akhirnya lari terbirit-birit, bak anjing yang kabur setelah melihat dan mendengar singa mengaum di hutan.
"****," pemuda itu memandang Naya saksama.
"Apa? Jangan pura-pura heran gitu deh!" Naya mengerlingkan mata, dan masuk ke dalam rumah masih membawa setrika.
Pemuda itu mengekor. Tanpa meminta izin, ia langsung masuk ke rumah Naya.
"Setiap gue mau nolongin Lo, pasti ujung-ujungnya berbalik," pemuda itu terduduk di karpet bersama Naya.
"Itu gunanya sahabat!" ujar Naya sambil mencolokan kembali setrika miliknya. Ia masih akan menyetrika.
Pemuda itu tersenyum.
"Makasih ya, Rey!" ungkap Naya membalas senyuman pria itu.
Renaldi Satria. Sahabat dan tetangga Naya. Rumahnya hanya terhalang tiga rumah dari rumah ini.
Bisa dikatakan, takdir hidup menyatukan mereka berdua, sebagai sahabat sejati. Keadaan hidup susah yang tak terelakan, membuat mereka saling menguatkan. Sejak balita hingga sekarang, mereka tak pernah terpisahkan. Sering bermain di taman kecil dekat rumah, bermain layangan di lapangan, berenang di sungai kecil dekat rumah mereka, dan hal menyenangkan lainnya yang dilakukan ketika masih di usia dini.
Tak hanya itu, mereka juga menempuh pendidikan di sekolah yang sama. Tingkat dasar, menengah, dan atas selalu berada di sekolah bahkan tak jarang di kelas yang sama. Bahkan, jalur mereka sekolah sama, mendapatkan beasiswa. Bedanya, jika Naya berprestasi di bidang akademik, Rey mendapatkan beasiswa dari keahlian olahraganya. Ia pernah menjadi juara di olimpiade renang beberapa kali sehingga mengantarkannya pada gerbang sekolah pusat kota bersama sahabatnya itu.
"Makasih aja? Gak pake nasi nih?" gurau Renaldi sambil tersenyum jahil.
"Boleh. Sama garam aja gak apa-apa?" Naya berdiri sambil cengengesan.
"Ya..hhhh," Renaldi mendesah. "Gak jadi ah kalau cuma sama garam. Mending di rumah, lumayan ada kerupuk udang."
Naya terkekeh geli. "Ya udah kalau gak jadi," Naya masuk ke kamarnya, tak lama kemudian menghampiri sahabatnya itu sambil membawa sebuah buku. "Nih!" di asongkannya buku itu ke depan wajah Renaldi.
Renaldi mengatupkan bibir, pada awalnya, lalu, "Apaan nih?" tanyanya berpura-pura tak mengerti.
"Kan gak jadi makan. Jadi, terima kasihnya pake contekan PR aja!" Naya berbicara dengan nada ejekan.
"Wah.... Ini nih yang bikin mental gue jatoh. Lo kira gue gak bisa ngerjain PR sendiri?" tanya Renaldi memajukan bibirnya.
"Aduh, udah deh! Alasan awal lo kesini pasti mau nyontek PR gue, kan? Gue udah khatam sama sifat lo. Mana pernah lo ngerjain PR matematika?" Jelas Naya.
Rey mendelik, "ya udah deh. Kali ini gue terima. Tapi janji, ini yang terakhir, oke?" Bertingkah serius, namun Naya mengetahui bahwa sahabatnya itu sedang bercanda.
"Oke," Naya memberikan bukunya pada Rey.
Renaldi menerima dengan perasaan bahagia yang disembunyikan. Bibirnya menahan senyum.
"Ya udah, gue balik dulu, ya. Kan Lo udah baik-baik aja," tutur Renaldi undur diri.
"Lo mau pulang, karena gue udah baik-baik aja, atau karena tujuan lo udah tercapai? Soalnya dari tadi gue udah baik-baik aja loh, sebelum lo datang!" ejek Naya cengengesan.
Rey menurunkan alisnya, "ah udah, males. Lo gak asik!" pungkasnya sambil melangkah, meninggalkan rumah Naya.
Naya yang melihat tingkah lucu sahabatnya itu tertawa lepas. Matanya mengantarkan jejak pemuda itu hingga tak terlihat di sebalik pintu.
Sahabat merupakan salah satu pelipur laranya. Walau saat ini, ia merasa persahabatannya sedang terancam, karena dirinya mulai menyukai Rey melebihi dari sekadar teman. Sejak awal masuk SMA, Naya mulai merasakan perubahan perasaan itu. Entah apa penyebabnya. Ini yang dimaksud cinta pertama bagi Naya.
***
Siang yang terang benderang telah berubah menjadi sore yang berkabut. Alpenia dikenal juga sebagai kota gelap, salah satunya karena kabut yang senantiasa abadi, tak pernah hilang sepanjang tahun.
Sebuah mobil berhenti di sebuah kawasan apartemen elit. Keluarlah seorang wanita paruh baya dengan dandanan cantik, yanh membuatnya terlihat lebih muda dari usianya.
Seorang gadis yang tak lain adalah putrinya membuntuti di belakang dengan menenteng koper yang baru saja di keluarkan dari bagasi oleh si sopir taksi.
"Ayo masuk, sayang!" wanita itu mengajak putrinya.
"Ma. Ini asli, kita mau tinggal disini?" gadis itu terheran, melihat sebuah bangunan indah yang menjulang megah dan mewah. Membuatnya tak percaya jika itu adalah rumah yang akan ia tinggali bersama sang ibu. "Aku kira, kita udah gak punya apa-apa."
"Sayang, yang kena kasus itu papa kamu. Kalau ini? Ini murni aset Mama. Dulu, Mama beli apartemen di sini dari warisan kakek kamu." Sang ibu menjelaskan saksama.
Gadis itu mengangguk paham. "Ma, aku lapar nih!" lanjutnya sambil memegang perut.
"Oke, kita pesan pizza ya?" tawar ibunya dan si anak mengiyakan.
"Mama tau aja deh kesukaan aku." Gadis itu tersenyum riang.
Setelah memesan melalui panggilan telepon, dalam waktu kurang dari sepuluh menit, pengantar pizza sudah mengetuk pintu unit apartemen mereka yang berada di lantai lima.
Gadis itu membuka pintu dan menemukan si pengantar pizza mengalihkan perhatiannya. Tak dapat berbohong, ini adalah pertama kalinya ia melihat pengantar pizza semenarik pemuda itu. Tampilannya tak menunjukkan seorang pengantar makanan, melainkan seorang bintang iklan. Muda dan rupawan.
"Hai," gadis itu menyapa ramah.
Si pengantar pizza tersenyum ramah, dan melambaikan tangannya.
Gadis itu meraba-raba seluruh saku yang menempel di baju dan celana yang dikenakannya. Mencari sejumlah uang kontan untuk membayar pizza yang telah diantar. Namun, tak ditemukannya. "Tunggu sebentar ya! Ibu gue lagi di kamar mandi, gue gak ada uang cash." ujarnya sambil tertawa canggung.
"Oh.. Oke," si pengantar pizza tak masalah.
Sebuah ide muncul dalam benak gadis itu. Berhubung dirinya masih baru di kota ini, tak ada salahnya untuk mengenal orang-orang di sini. "Eh nama lo siapa?"
"Renaldi. Panggil aja Rey," pengantar pizza itu mengulurkan tangan, di sambut hangat oleh si gadis.
"Oh salam kenal. Annisa," gadis itu mengayunkan tangan yang sedang bergenggaman dengan Rey.
"Lo orang baru ya di kota ini?" tanya Rey sambil menaikan sebelah alisnya.
"Iya. Baru ... banget," jawab Annisa sambil cekikikan.
"Eh.. Sudah datang pesanannya," ujar ibu Annisa yang keluar dari kamar mandi sambil memakai jubah mandi dan handuk yang menempel di kepala.
"Iya nih mah. Belum dibayar!" jelas Annisa.
Ibu Annisa merogoh uang dari tas kecil miliknya dan memberikan Renaldi beberapa lembar uang kertas sengaja dilebihkan, sebagai tip.
"Makasih, bu!" Rey meraih uang tersebut dengan senyuman, lalu pergi dengan perasaan gembira.
Annisa menutup pintu apartemen-nya, dan mendudukkan diri di sofa yang terasa empuk.
Ibunya mengikuti langkah Annisa sambil berkata, "pengantar pizza barusan mengingatkan Mama pada seseorang," ujarnya sambil terkekeh.
"Siapa ma?" tanya Annisa sambil membuka pesanan yang belum lama sampai itu.
"Ada. Dari masa lalu!" lanjut wanita bernama Silvia itu.
Annisa menatap mata ibunya sambil tersenyum, bermaksud menggoda, "mantan mama waktu masih muda ya?"
Silvia tertawa saat mengingat masa-masa mudanya dulu. Ia juga tumbuh besar di kota ini, pada awalnya. Namun setelah menikah, ia berpindah bersama suaminya ke kota lain. Dan sekarang, suaminya tersandung kasus pencucian uang, ia pun kembali lagi ke kota kecil ini.
Ibu dan anak itu tertawa, hingga sebuah kilas berita disiarkan di televisi yang sedang menyala, membuat tawa mereka meredup.
"Seorang anak kecil kembali menghilang di Alpenia. Dalam sebulan terakhir, terhitung sudah empat anak yang raib dan tak kunjung ditemukan," sang narator bersuara memberikan informasi.
Annisa merasa terkejut.
Sedangkan Silvia terlihat tak terlalu heran. "Ternyata kota ini masih belum berubah." tanpa sadar, ia berucap demikian.
Annisa menatap ibunya heran, "maksud Mama?"
Silvia menjelaskan, "dulu, Mama di besarkan di kota ini. Kejadian-kejadian seperti ini sepertinya sudah jadi hal lumrah buat penduduk kota. Mama inget banget, waktu itu satu-persatu anak-anak mehilang, sampai ada tujuh belas anak. Tapi, semuanya ditemukan secara bersamaan, di tempat yang sama, dengan ciri-ciri yang sama pula. Semuanya mati kehabisan darah." jelas Silvia membuat putrinya sedikit merinding.
"Semoga kali ini tak terjadi hal yang sama. Semoga tidak ada anak-anak lain lagi yang menghilang, dan empat anak itu segera ditemukan." tandasnya penuh harap.
Annisa makin memutar otaknya, pikirannya berkecamuk serius, perasaannya bercampur aduk, "ma? Kita pindah ke tempat macam apa?" tanyanya dengan sedikit rasa takut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Maya●●●
halo kak salam kenal.
mampir juga yuk di karyaku.
jangan lupa dukungannya😊😊
2022-11-02
0
Saudah14
aku mampir kak. sesuai komenan di postingan fb mu.
jangan lupa mampir di karya ku ya.
KAMPUNG HOROR
CINTA DIBAYAR TUNAI
tambahkan ke favorit juga 🙈🙏😍
2022-10-25
1
Siti Nurjanah
mukin ayah Rey pacarnya dulu. atau ayah Rey cinta segitiga dulu waktu masih muda
2022-09-23
1