Annisa akhirnya berhasil mencapai tujuannya. Saat ini, ia berbincang sedikit serius dengan Naya.
"Nay. Gue heran sama sikap lo. Sebenarnya apa sih yang membuat sikap lo begitu dingin? Beritahu gue supaya kalau ada yang salah, bisa gue perbaiki!" cerocos Annisa di depan Naya yang masih bingung merangkai kata.
Annisa ingin membuat segala sesuatu baik-baik saja. Ia ingin memperbaiki diri dari sebelumnya.
"Kita bukan teman, oke?" Sahut Naya makin membuat Annisa tak mengerti.
"Kenapa?"
"Alasannya ... Bener kata Intan, gue gak bisa berteman sama anak bermasalah!" lanjut Naya menjawab sekenanya.
"Terus? Kenapa lo ngebelain gue tadi?"
"Ya karena, ayah mereka sama ayah lo itu setipe. Gue cuma mengatakan hal yang harus dikatakan," beber Naya masih menjadi sebuah ambigu.
Apakah benar Naya seburuk itu?
Menilai Annisa hanya karena status ayahnya? Tapi, dari yang ia perhatikan beberapa hari terakhir, Naya menunjukkan sikap yang baik pada hal-hal di sekitarnya. Tapi, satu hal yang Annisa yakini, pasti Naya menyembunyikan sesuatu.
"Gue gak percaya sama lo. Cerita ke gue alasan yang sebenarnya!" elak Annisa mempresentasikan isi pikirannya.
Naya termangu sejenak. Hal yang coba ia sembunyikan mungkin akan terungkap sekarang. Jadi, ia sedang memilah dan memilih kata yang pantas.
"Oke. Gue takut hal ini bakalan gak enak buat di dengar. Tapi ini soal ayah lo," ujar Naya masih tak jelas.
Dan Annisa siap untuk mendengarkan saksama.
"Ibu gue pernah cerita," Naya berdeham sejenak. "Sebenarnya, gue tumbuh bersama cerita ini. Jadi, ayah gue sama ayah lo dulu itu sahabat karib. Mereka membangun bisnis bersama dari nol sampai sukses besar," ia kembali mengambil jeda untuk menyiapkan diri.
"Bagus dong kalau gitu. Berarti kita juga bisa bersahabat juga," respon Annisa sambil tersenyum.
"Tunggu dulu! Gue belum selesai," ketus Naya sambil menatap tajam.
"Ayah gue udah nyerahin semua yang dia punya demi bisnis itu. Harta dan tenaga. Tapi, ayah lo mengkhianati ayah gue. Ayah lo nuduh ayah gue ngelakuin korupsi di perusahaan, hingga akhirnya ayah gue masuk penjara!" lanjut Naya dengan suara sedikit bergetar.
Jika membahas hal menyangkut ayahnya, Naya akan menjadi emosional. Meskipun dirinya tak mengenal pria itu seperti apa. Sikap dan kasih sayang ayahnya tak pernah tercicipi. Ia hanya dapat memandangi foto beliau yang sudah berada di dunia berbeda.
"Lo tahu, ayah gue gak mendapatkan apa-apa, kecuali penderitaan." Mata Naya yang tadinya hanya berkaca-kaca, sekarang menjatuhkan butiran air yang tertahan.
"Yang lebih menyakitkan buat gue adalah, gue sama sekali gak pernah mengenal dia. Karena waktu ayah gue masuk penjara, gue baru berumur satu tahun. Tiga tahun kemudian, dia pergi buat selamanya. Meninggal di dalam penjara karena penyakit Liver. Gue gak pernah tahu, apakah dia sayang sama gue, persis seperti yang selalu ibu gue ceritakan."
Setelah semuanya jelas, Annisa akhirnya mengerti. Ikut terbawa perasaan dengan cerita Naya. Ia pun meneteskan air mata.
Gadis itu hanya dapat mengatupkan bibirnya. Tak menyangka sang ayah dapat melakukan hal yang samgat keji. Hati Annisa remuk, hancur mengetahui bahwa ayah yang dianggapnya sebagai cinta pertama, ternyata tak lebih dari orang kejam.
"Maaf! Tapi gue harus mengatakan ini. Gue merasa bahagia, karena ayah lo di penjara. Akhirnya, dia mendapatkan ganjaran yang setimpal. Meskipun gak mengobati luka gue sepenuhnya, mengetahui ayah gue belum mendapatkan keadilan semasa hidupnya. Tapi seenggaknya, gue tahu bahwa cerita dari ibu gue bukanlah cerita bohong belaka," lanjut Naya sembari menyeka air matanya.
"Jadi, kita gak mungkin berteman!" pungkas Naya sambil bangkit, dan meninggalkan Annisa ketika pelanggan lain baru saja memasuki pintu.
Annisa menggertakkan gigi. Menatap keluar jendela dari tempatnya duduk, sambil memikirkan seorang tentang pria yang disebutnya ayah. Rasa sayangnya sudah berkurang ketika ayahnya ditangkap karena kasus itu. Sekarang, ketika mengetahui bahwa orang itu melakukan hal yang lebih keji, rasa benci mulai tumbuh di dalam hatinya.
***
Gadis itu kembali datang ke makam ini. Ia rutin mengunjungi tempat peristirahatan orang meninggal itu, sedikitnya seminggu sekali, bahkan lebih ketika dia mau.
Pakaian yang dikenakannya jelas membuatnya terlihat seperti orang berbeda. Yang biasanya mengenakan busana mewah dan sedikit terbuka, ia akan merubah gayanya seratus delapan puluh derajat jika manapakkan kakinya di tempat ini. Menjadi lebih tertutup.
"Hai kak, gue mau curhat!" ujar gadis itu dengan tawa kosong sambil mencabuti rumput yang tertanam di atas pusara. Berbicara sendiri.
"Maaf, gue kesini cuma pas butuh doang," lanjutnya mulai memelas.
"Lo apa kabar? Lagi apa di sana?" ia beralih menyentuh batu nisan yang bertuliskan nama 'Rahma Aulia Wijaya' itu.
"Oke. Curhatannya adalah, apa gue lebih baik nyusul lo aja kesana? Apakah kematian lebih baik daripada hidup yang menyedihkan?" Tanya gadis itu sambil meneteskan air mata.
Renaldi yang melewati area pemakaman ketika sudah menunaikan pekerjaannya mengantarkan pizza, melihat gadis itu sedang bermuram durja. Ia pun memutuskan untuk turun, sekadar menyapa. Mengingat kejadian tadi siang, sedikit tidak menyenangkan.
"Intan?!" tanyanya pada gadis itu.
"Hah? Ngapain cowok aneh itu ada di sini?" umapat Intan karena mendapat sapaan yang tak di harapkan. "eh tunggu, gue harus bersikap baik saat di pemakaman!" lanjutnya dengan bergumam pada diri sendiri.
"Hai Rendi," sapanya lembut dengan salah menyebutkan nama. Selalu.
"Renaldi!" pemuda itu membenarkan sambil ikut duduk bersama Intan.
Intan mengerlingkan matanya, "terserah!" bisiknya dalam hati.
"Gue gak tahu, kalau lo suka ziarah kubur," ucap Renaldi berbasa-basi.
"Oh ayolah, gue gak seburuk yang lo kira!" sahut Intan tertawa pahit.
Sikap Intan sungguh berbeda dengan yang Renaldi ingat. Kali ini Intan lebih mencair, bersahabat, dan tak menunjukan sikap angkuhnya.
"Rahma Aulia Wijaya. Kenapa ya, orang baik selalu cepat banget pergi?" Tanya Renaldi setelah duduk di samping gadis itu, membuat Intan menghela nafas.
"Lo inget waktu SMP, kita masuk OSIS. Kakak lo ketuanya pada saat itu. Sikapnya yang ramah membuat dia disayangi oleh semua orang!" ungkap Renaldi penuh kekaguman.
"Sampai sekarang gue gak habis pikir, kenapa dia bunuh--,"
"Berhenti. Jangan dilanjutin!" potong Intan dengan tiba-tiba. Tak kuasa mendengar orang yang hendak menjelekkan saudarinya.
Meskipun telah pergi, Rahma tetap menjadi bahan perbincangan karena meninggal dengan cara menggantung dirinya sendiri di kipas angin kamar.
"Oh iya, maaf!" lirih Renaldi meminta maaf atas kelancangannya.
Tanpa disangka, Intan langsung mengait lengan Renaldi dan menaruh kepalanya di pundak pemuda itu. "Senang rasanya ada orang yang masih mengingat kesan baik dari kakak gue," ujarnya sambil tersenyum.
Sedangkan Renaldi juga merasa senang karena gadis yang ia cintai, yang selalu ia kejar-kejar, kini menyandarkan kepala di pundaknya. Mimpi apa dia semalam?
Suasana menjadi sedikit kacau ketika hujan mulai turun. Suasana romantis yang seyogyanya hendak dibangun, hancur lebur seketika. Mereka dengan terburu-buru berpisah.
Renaldi kembali dengan motor pengantar pizza-nya, sedangkan Intan masuk ke dalam mobil mewahnya.
Mereka bagaikan bumi dan langit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Kancah Karya
selalu semangat
2022-08-26
1