Intan melenggang masuk ke rumah Ulfa dengan percaya diri. "Gue terlambat dan gue gak akan minta maaf," ujarnya tiba-tiba. "Berhubung dengan teman kita--teman gue maksudnya, si Rima. Rumahnya baru kerampokan semalam. Jadi, gue harus ke rumahnya dulu, memberikan dukungan moril, dan--,"
"Gak ada yang mau dengar alasan lo" potong Naya sinis seperti biasa jika berhadapan dengan Intan.
"Aw. Lo kasar banget!" balas Intan sambil mengibaskan rambut kesal.
"Yang kita peduliin adalah, kenapa lo bawa dua orang itu kesini?" tanya Annisa sedikit ketus. Sebal melihat kehadiran dua cowok yang mengikuti di belakang Intan. Terutama pada Ikbal.
"Oke. Jangan salah paham dulu. Gue tahu lo sering berantem sama Ikbal. Tapi, dia ikut kesini buat ngebantu. Bukan untuk mengacaukan, apalagi buat berantem sama lo, anak koruptor!" tukas Intan dengan kata-kata tak disaring. Seperti biasa.
"Bukan begitu, Tan. Kemarin, dia marah-marah, karena gak terima lo ngebantu gue," timbrung Ulfa.
"Tenang Ulfa sayang. Dia sudah diberi pencerahan sama gue. Dia mengerti kalau perasaan lo sekarang sama hancurnya ketika kita berdua kehilangan Rahma dua tahun lalu. Jadi, lo gak keberatan kan, kalau dia bantu?" Nada bicara Intan berubah sedikit lembut ketika menjawab pertanyaan Ulfa.
Ulfa mengiyakan, "oke. Lebih banyak orang yang bantu lebih baik!" Semoga ia tak mengambil langkah yang salah.
"Omong-omong, gue juga bawa Salman ke sini. Karena, siapa tahu dia berguna buat kita. Katanya, dia punya informasi yang berguna!" lanjut Intan mempersembahkan pemuda di sisi kirinya.
"Apa?" tanya Iswanti angkat suara.
"Ini saatnya lo bicara," titah Intan mempersilakan Salman.
"Oke. Sebelumnya, gue mau minta maaf dulu, karena gue sering mengganggu kalian, terutama--,"
"Oke. Bisa kita skip bagian permintamaafan ini?" potong Intan. "Semua orang disini akan maafin lo, ketika lo membeberkan indormasi itu. Iya kan, guys?"
Semua orang menganggukan kepala, seolah terhipnotis oleh perkataan Intan.
"Jadi, gue melihat kejadian penculikan anak secara langsung kemarin," tutur Salman, melanjutkan perkataannya yang tadi dipotong oleh Intan.
"Terus? Gue juga melihat jelas wajah penculiknya, ketika anak dari tetangga unit gue diculik," tak seperti biasanya, kali ini Annisa bersikap dingin dan sinis.
Semua orang yang disana jelas terheran. Annisa yang biasanya lembut, ceria, dan penuh semangat, kenapa jadi masam begitu?
"Gue belum beres ngomongnya," sela Salman sabar. "Jadi gue berhasil ngikutin mobil penculiknya, sampai hutan," lanjutnya.
"Hutan ... kota ini?" tanya Renaldi.
"Iya."
"Kalian tahu kan, kalau di dalam hutan ada jalan pintas yang menghubungkan ke jalan raya, gue ngikutin mobil penculiknya ke sana. Tapi pas masuk sedikit jauh ke dalam, mobil itu hilang. Dan gak tahu kenapa, tiba-tiba gue malah keluar dari jalan yang sama saat gue masuk. Padahal gue bawa motor lurus terus, gak putar balik loh," jelas Salman sedikit tak masuk akal.
Semua orang tak mengerti dengan ucapan pemuda itu. Mereka mengira bahwa Salman hanya bermain-main dengan hal genting ini. Sifat lamanya mungkin belum hilang, hanya suka membuat lelucon untuk kesenangannya semata, ketika melihat orang lain menderita.
"Lo jangan becanda ya! Disini kita semua serius, lagi khawatir. Dan cerita lo itu malah bikin semua tambah runyam. Mending lo pergi kalau gak mau bantu!" ujar Annisa dengan emosi yang meluap-luap semakin membuat semua orang terkejut.
Tiba-tiba ponsel di dalam saku celana Annisa bergetar. Ia yang masih kesal, dengan segera pergi ke belakang untuk mengangkat telepon. Meninggalkan semua orang dengan tanda tanya.
***
Suasana masih tak jelas. Semua orang mulai menanyakan kebenaran perkataan Salman.
Ulfa yang makin sedih, karena merasa dirinya dipermainkan.
Naya menegur Salman untuk berkata yang masuk akal.
Sedangkan, Renaldi malah sibuk dengan menatap Intan yang mengabaikannya.
Namun, Iswanti sedikit merasa simpati ketika menatap wajah Salman yang terlihat tulus. Kegemarannya membaca semua buku dan informasi membuat ingatannya terbuka. Pernah sekali, ia membaca hal-hal misteri dan mitos kota Alpenia ini, yang tak dapat diterima akal sehat.
Jadi, mungkin saja hal pelik dan mistahil yang diceritakan Salman tadi memang terjadi. Entahlah. Iswanti percaya lima puluh persen, san setengahnya lagi tidak.
"Maaf, toilet dimana ya?" Di tengah keributan yang terjadi, ucapan Ikbal tersebut sama sekali tak membantu.
"Ke sana!" jawab Ulfa dengan mengarahkan telunjuknya ke belakang.
Ikbal pergi meninggalkan keributan. Segera menuju toilet untuk mengeluarkan hajatnya. Tak lama, ia langsung keluar.
Namun, ia mendengar suara seseorang yang sedang menangis dari arah luar pintu belakang rumah Ulfa.
Tak ingin tenggelam dalam lautan penasaran, Ikbal pun membuka pintu tersebut perlahan. Dan melihat Annisa sedang menangis, terduduk di sebuah bangku kayu panjang yang menghadap ke sebuah kebun kecil bermacam-macam sayur-mayur.
Ikbal tak menyangka akan melakukan hal ini. Ia akan menyapa Annisa, orang yang seringkali menjadi teman berdebatnya. Hal tersebut ia lakukan karena teringat pada tekadnya untuk berubah, seperti yang disarankan adik kembarnya.
"Lo kenapa? Tadi marah-marah, kok sekarang nangis?" tanya Ikbal ragu-ragu.
Annisa tak menjawab, ia malah mendelik tajam pada pemuda itu.
Susah menjadi orang baik menurut Ikbal, tapi ia harus tetap mencoba.
"Yah. Gue gak bawa tissue lagi!" Ikbal melangkah pelan, dan mendudukan diri di sebelah Annisa. "Lo kenapa?"
"Gak usah sok peduli! Gue tahu, saat ini lo senang kan, lihat gue nangis?" ketus Annisa masih sesenggukan.
"Bisa jadi. Kalau gue masih Ikbal yang kemarin-kemarin," sahut Ikbal sedikit menahan emosi. Karena niat membantunya malah dituduh yang tidak-tidak. Sifat tempramental tak mungkin hilang dalam semalam kan?
Annisa menatap pemuda di sampingnya itu lamat-lamat. Ia tak harus mengobrol dengan pemuda menyebalkan di depannya ini, pikirnya.
"Kenapa sedih? Mau cerita sama gue?" tanya Ikbal sekali lagi mencoba meyakinkan.
"Lo gak bakalan ngerti."
"Jelaslah gak ngerti, orang lo juga belum cerita!" sela Ikbal segera.
Saat ini, Annisa membutuhkan tempat untuk beenaung. Karena tak mempunyai pilihan, akhirnya ia menceritakan masalahnya pada pemuda yang sangat dibencinya itu. Karena tak mungkin jika dirinya kembali masuk ke dalam dengan membawa masalah lain. Di sana keadaan sama parahnya.
Ia pun memperlihatkan layar ponselnya pada Ikbal. Menampilkan seorang gadis berkacamata, dengan pipi gempal, dan badan berisi. Sekilas nampak seperti Ulfa, namun bukan.
"Namanya Nina. Kita sekelas, sebelum gue pindah ke SMA Alpenia. Gue dapat rumor tadi pagi, kalau dia bunuh diri tadi malam, karena gak kuat nahan bully-an. Awalnya, gue gak percaya. Tapi barusan, teman gue di sekolah lama nelepon. Dan, Nina memang bunuh diri," jelas Annisa berusaha untuk kuat dengan menahan air mata. Meskipun wajahnya sudah memerah.
"Gue turut berduka. Lo sedih karena teman lo meninggal, wajar sih."
"Bukan itu masalahnya!" kilah Annisa ambigu, lalu menangis kembali semakin parah.
"Hey!" Ikbal pun menyentuh punggung Annisa yang naik turun. Ternyata, ia juga memiliki hati, buktinya sekarang dirinya merasakan kesedihan gadis itu.
"Gue gak sempat minta maaf sama dia. Dulu, gue sempat bully dia habis-habisan. Sebelum papa ditangkap, gue--si anak manja yang merasa di atas segalanya, selalu merendahkan orang-orang yang menurut gue gak kaya-raya, gak cantik, gak populer," jelas Annisa makin sesenggukan.
"Nina pernah gue pukul, gue cemooh, gue suruh-suruh. Kenapa gue kayak gitu dulu?" papar Annisa sambil mencoba menghentikan tangis. Ingin menghilangkan sesak di dada dan sakit di hatinya karena penyesalan yang tak akan pernah dapat ia tebus. Ia sungguh merasa menyesal akan kekejaman dan kebodohannya dulu.
Ikbal dengan segera menempatkan kepala Annisa di pundaknya.
"Makanya tadi, ketika gue melihat kalian bertiga datang, gue langsung emosi. Karena, kalian yang biasa ganggu orang lain demi kepuasan diri dengan merendahkan mereka, itu mengingatkan gue pada diri sendiri. Dan saat ini, gue marah sama diri gue sendiri," lanjut Annisa masih terisak dalam dekapan Ikbal.
"Gue minta sama lo, jangan pernah lagi merendahkan orang lain, bahkan jika hanya berniat becanda. Karena kita gak tahu, perkataan dan perbuatan jahat yang menurut kita hanyalah hal kecil, bisa saja berdampak besar bagi orang lain. Berhenti mulai sekarang, sebelum lo menyesal kayak gue!" saran Annisa sambil menegakkan tubuhnya kembali ke posisi semula.
Ada sesuatu yang tiba-tiba menabrak hati kecil Ikbal. Tak bisa digambarkan atau diungkapkan dengan kata-kata, namun yang pasti hatinya menjadi lebih lapang. Dirinya semakin mantap ingin mengubah sikap.
"Iya. Mulai sekarang, gue akan berubah," ujar Ikbal tulus.
"Bukan lo aja. Tapi kita," sahut Annisa mengulurkan tangan, sambil tersenyum pahit dalam tangisnya.
Ikbal meraih tangan itu, "teman?"
Tak menyangka akan mengucapkan hal ini appda Ikbal, namun Annisa juga membalas, "teman!"
"Sekarang berhenti nangisnya!" ucap Ikbal dengan segera menyeka air mata yang ada di pipi Annisa menggunakan telunjuknya.
"Masalah teman lo yang meninggal itu. Gue ngerti, pasti berat. Tapi, lo sudah menyesal, dan mau berubah lebih baik. Lagipula, dia bunuh diri setelah kepergian lo, jadi lo gak ada sangkut pautnya. Kalaupun ada, lo harus tahu, gak semua orang punya masalalu yang dapat dibanggakan," tandas Ikbal membuat Annisa berusaha menerima. Ia cukup kaget dengan perkataan yangbkeluar dari mulutnya sendiri. Mulut yang biasa di gunakannya untuk mencaci, ternyata juga dapat memberi saran yang memiliki arti. Mungkin inilah saat yang tepat untuk memulai pendewasaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Kancah Karya
terus update sampai banyak yang baca
2022-09-01
1