Hujan lebat disertai badai angin membasahi tanah di bawah pijakan kaki Rea. Langit begitu gelap meski hari masih siang. Bumi dan alam semesta seolah turut merasakan kepiluan hati seorang gadis yang kini telah menyandang status yatim piatu.
Rea, ya, gadis itu adalah Rea Michaela. Gadis lugu yang menjalani kehidupannya dengan damai bersama kedua orang tuanya. Tidak ada yang kurang meski kedua orang tuanya tidak memiliki harta yang berlimpah.
Namun, di malam yang tidak disangka-sangka itu, sebuah kabar yang amat mengejutkan batinnya. Bahwa kedua orang tuanya mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang dari gerai taman kota.
Dunia Rea runtuh, semuanya terasa gelap baginya. Kebahagiaannya satu-satunya telah direnggut darinya bahkan tanpa ada kata perpisahan sepatah pun.
Gadis itu menatap nyalang dua gundukan yang merupakan tempat peristirahatan sementara kedua orang tuanya. Tidak ada air mata di pelupuk matanya. Gadis itu sudah terlalu lelah menangis, menangisi kepergian ayah dan ibunya.
Mereka pergi meninggalkan Rea untuk selamanya. Rea merasa Tuhan tidak adil padanya. Kenapa secepat itu Tuhan mengambil mereka. Kenapa di saat dirinya masih butuh cinta dari mereka, ayah ibunya malah diambil begitu saja?
Lutut gadis itu menyentuh tanah yang basah, sementara kedua tangannya menggenggam tanah kuburan itu. Hatinya begitu hancur, hancur tak terperi.
"Ayah... Ibu... kembalilah...." Rea tahu hal itu mustahil dan mungkin hanya keajaiban yang bisa mengembalikan kedua orang tuanya. Tetapi Rea berharap, semoga keajaiban itu terjadi.
"Rea..." suara lembut menyapa telinganya, namun Rea mengabaikannya.
"Sayang, mereka sudah tenang di sana. Jangan buat ayah dan ibumu bersedih melihatmu seperti ini." ucap seorang wanita yang menyaksikan betapa hancurnya gadis lugu itu.
Patricia, wanita itulah yang menemani Rea hingga saat ini. Bahkan mengurus segala keperluan pemakaman, Patricia tidak repot-repot mengurus segalanya. Meski mereka baru bertemu, tetapi Patricia sudah merasakan jalinan kasih yang erat pada Rea.
Rea menatap Patricia nanar, "Sekarang aku sendirian aunty." gadis itu mengadu nasibnya.
Patricia tidak bisa lagi menahan tangisnya, dia langsung memeluk Rea, dan pecahlah tangis mereka berdua. Patricia hanya bisa memberikan pelukan ini, berharap bisa meringankan pilu di hati Rea.
Pemandangan itu tak luput dari Adam, yang sejak pemakaman dimulai, ia bersembunyi tidak jauh dari sana. Adam menatap Rea begitu dalam dan enggan pergi bahkan ketika para pelayat sudah berpulangan.
Adam melangkahkan kakinya mendekat, namun ketika sepasang mata menyorotnya, Adam berhenti. Abraham menggeleng agar tidak mencoba muncul di hadapan Rea. Untuk yang pertama kalinya, Adam menurut, pria itu akhirnya memilih pergi.
Meski dengan hati yang telah hancur berkeping-keping, Rea akhirnya pulang ke rumahnya. Masih dengan didampingi oleh Patricia dan Abraham, Rea diantar ke rumah sederhananya.
Sesampainya di rumah, sepasang suami istri yang merupakan paman dan bibinya. Bukan sebuah sambutan hangat atau pun pelukan untuk menenangkan Rea. Melainkan tatapan tidak senang dan cukup menjengkelkan.
Patricia tidak langsung pulang saat itu, wanita itu merasakan sesuatu yang buruk tentang pasangan suami istri ini.
"Aunty, uncle, silahkan duduk." meski mendapat tatapan tidak bersahabat dari bibinya.
"Siapa mereka? Kenapa tidak langsung pulang saja!" ucap wanita yang terlihat lebih muda dari Patricia.
Rea mengerutkan keningnya, "Bibi, mereka tamuku. Bersikaplah lebih sopan." ucap Rea.
Wanita itu menatap dengan sinis, "Ayah dan Ibumu sudah tiada. Jadi mulai sekarang, kau harus ikut dengan kami dan mengikuti aturan Paman dan Bibimu!" cetus wanita itu sesuka hatinya.
Patricia yang mendengar itu langsung menatap suaminya. Begitu pun dengan Abraham. Patricia seperti meminta izin melalui tatapan matanya. Abraham mengangguk, memberikan izin.
"Maaf menyela. Sebelumnya perkenalkan, Saya Patricia dan ini suami saya Abraham." potong Patricia.
Bibi Rea menatap tidak suka, tetapi Patricia tidak peduli sama sekali.
"Saya turut berduka cita atas meninggalnya orang tua dari Rea. Menanggapi ucapan Nyonya sebelumnya, saya ingin memberitahukan bahwa sebelumnya kedua orang tua Rea sudah menyerahkan Rea kepada kami. Jadi saya rasa, Anda perlu menarik ucapan Anda barusan, karena Rea mulai saat ini, sudah sah menjadi putri angkat kami!" tegas Patricia tanpa bisa dibantah oleh siapa pun.
Rea tertegun, belum sembuh luka di hatinya setelah sepeninggalan ayah dan ibunya, kini dia harus dihadapkan dengan situasi seperti ini. Untuk saat ini, Rea tidak peduli siapa yang akan menjadi walinya, karena baginya ayah dan ibunya tidak akan tergantikan oleh siapa pun.
"Memangnya Anda siapa?!" gaya bicara wanita itu sangat tidak sopan, yang mana semakin membuat Patricia tidak yakin mereka bisa menjadi orang tua yang baik bagi Rea.
"Saya teman baik Elsa." ucap Patricia. Sebelum Patricia melanjutkan ucapannya, Rea sudah tergeletak di lantai dan tidak sadarkan diri.
"Rea." Patricia dan Abraham menghampiri Rea dengan panik. Sementara paman dan bibinya malah mematung tanpa peduli sedikit pun.
"Abram, bawa Rea ke rumah sakit."
Abraham segera menggendong Rea dan membawanya keluar dari rumah itu. Sebelum pergi, Patricia menatap tajam wanita itu, "Kalian tidak pantas menjadi orang tua bagi Rea!" ucapnya, kemudian pergi begitu saja.
Setelah mereka pergi, wanita itu tersenyum sinis. "Memangnya siapa yang mau menjadi orang tua anak sialan itu! Aku juga tidak sudi!" ketus wanita itu.
"Jadi bagaimana sayang? Anak itu sudah pergi, lalu bagaimana sekarang?" tanya laki-laki yang merupakan suaminya.
"Memangnya apalagi? Cepat cari sertifikat rumah ini, setelah itu kita pulang." kata wanita itu.
***
"Kita sudah melakukan keputusan yang tepat kan Abram?" tanya Patricia pada suaminya.
Pandangan keduanya masih belum lepas dari Rea yang terbaring di kamar luas di rumah mereka. Membawa Rea ke rumah sakit hanyalah dalih agar Patricia bisa membawa Rea dari rumah itu tanpa adanya drama dengan paman dan bibi Rea.
"Ikuti kata hatimu sayang. Lagi pula, bukannya kau dari dulu sangat ingin punya anak perempuan?" ucap Abraham.
Patricia mengangguk, karena keterbatasannya memiliki anak, Patricia tidak diberi mandat untuk memiliki anak perempuan.
"Aku pikir Rea sangat cocok, dia anak yang manis dan penurut. Kau bisa mengurusnya seperti mengurus bayi nantinya."
Patricia terkekeh, "Kau bisa saja." membelai wajah lembut Rea yang masih nampak sembab. "Dia memang manis. Sejak pertama kali bertemu, aku berharap Rea bisa menjadi putriku." ucap wanita itu disertai rasa haru.
Rasa haru itu hanya bersifat sementara, Patricia menjadi murung begitu cepat.
"Tapi Abram, apakah nanti Rea mau menjadi keluarga kita dan tinggal di rumah ini?"
Abraham mengusap kepala istrinya, "Kita lihat saja nanti. Bicaralah perlahan pada Rea, dan jangan memaksanya. Biarkan dia memilih. Apapun pilihannya, terima saja. Lagi pula kita bisa mengunjunginya kapan pun jika dia lebih memilih pergi." ucap Abraham.
Patricia mengangguk, mengiyakan ucapan suaminya. Tetapi dalam hati dia berdoa agar Rea memilihnya.
Abraham dan Patricia meninggalkan Rea di kamar. Mereka terkejut ketika melihat Adam ada di depan pintu kamar. Setelah apa yang terjadi, tentu mereka masih kecewa pada Adam.
"Adam..." Patricia menatap manik hijau putranya. Penuh permohonan, "Mommy mohon, jangan ganggu Rea lagi. Mommy mohon Nak."
"Lihat Rea sekarang, dia hancur karena ditinggalkan ayah dan ibunya. Sekarang Rea sebatang kara, tidak punya keluarga. Apakah kau masih tega menindasnya?" Patricia sampai menitikkan air matanya.
Adam yang selalu tanpa ekspresi, melihat Rea dari pintu yang sedikit terbuka. Maniknya bertemu dengan manik Rea yang sudah terbangun di dalam sana.
Adam mengakhiri pandangan itu, lalu melihat ibunya dan ayahnya bergantian.
"Mom, Dad, Adam akan pergi ke rumah Kak Abigail." ucapnya singkat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Meili Mekel
adam sadar
2022-09-28
0