HAPPY READING…
"Makan!"
Teriakan Lala menggema di seluruh ruangan.
"Gue bilang makan, bodoh!"
Gadis bergaun merah itu berdiri dengan tangan bersedekap, matanya menatap penuh amarah ke arah Lingga. Di hadapannya, semangkuk nasi yang sudah mulai berbau basi tergeletak di meja.
Sudah lebih dari lima menit ia memaksa Lingga untuk memakannya.
"Kenapa harus aku? Siapa yang mau makan nasi basi? Anjing saja nggak akan sudi, apalagi aku," sentak Lingga, suaranya datar namun tajam.
Rahang Lala mengatup keras.
"Sialan! Dari mana dia tahu? Matanya aja nggak bisa lihat!"
"Aku memang buta, tapi hidungku masih berfungsi," ucap Lingga seakan bisa membaca isi kepala Lala.
Lala mengepalkan tangan, napasnya memburu. Lalu, seolah menemukan senjata baru, sudut bibirnya melengkung licik.
"Asal lo tahu, gue sama Arkan bakal tunangan. Dan lo," ujarnya, menunjuk Lingga dengan telunjuk penuh penghinaan, "lo bakal sendirian. Nggak ada yang mau sama gadis buta nggak berguna kayak lo. Ingat, lo itu cuma beban buat Mama sama Papa!"
Ck.
Lingga berdecak, ingin sekali rasanya mencabik-cabik mulut Lala. Gadis di hadapannya ini benar-benar kekanak-kanakan.
"Dunia juga tahu kalau laki-laki itu bekasku. Kakak baru aja mungut barang yang udah gue buang," sahut Lingga santai.
Lucu sekali.
Sejauh apa kakaknya iri padanya sampai-sampai tunangannya pun berani direbut? Siapa sebenarnya yang menyedihkan di sini?
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Lingga.
Bukan Lala pelakunya.
Mamanya lah yang melayangkannya.
"Berani sekali mulut ini menghina putriku!" desis wanita itu penuh amarah. "Arkan memang sudah ditakdirkan untuk Lala. Jangan besar kepala cuma karena dulu dia pernah suka dengan gadis buta sepertimu!"
Senyum sinis merekah di bibirnya.
"Sekali lagi saya dengar mulut ini menghina Lala, bukan cuma tamparan yang bakal kamu dapat!"
Ada sesuatu yang menghantam dadanya.
Perih.
Seperti ada beling tajam menancap dalam-dalam di hatinya, lalu disiram air garam. Sakit sekali.
Rasa itu bukan miliknya, tapi milik pemilik tubuh ini.
Sepertinya gadis ini masih memiliki rasa yang amat besar untuk mamanya. Karena ucapan-ucapan sarkas, senyum meremehkan penuh kebencian dari wanita itu berhasil membuat cairan bening jatuh dari bola mata birunya.
"Menyedihkan," ujar sang mama dengan nada jijik. "Ayo, kita tinggalkan si buta tidak berguna ini!"
Tangannya meraih pergelangan tangan Lala, menyeretnya menjauh.
Lingga terduduk di lantai.
Lemas.
Seakan tubuhnya tak sanggup lagi menopang beban yang ia pikul.
"Kenapa hati ini sakit sekali?" gumamnya, menghapus air mata yang terus mengalir.
Para pelayan yang melihat kejadian itu hanya bisa berdiri di kejauhan. Tak ada yang berani mendekat.
"Aku ingin sekali membantu Nona kedua..."
"Bibi Saras, cepatlah datang..."
"Sungguh malang nasib gadis secantik Nona..."
Desas-desus suara itu menyelinap ke telinganya.
Sudahlah.
Tidak akan ada yang benar-benar membantu.
Dan Lingga benci tatapan kasihan yang mereka berikan.
"Nona!"
Suara panik Bibi Saras terdengar, diikuti langkah tergesa-gesa.
"Nona tidak apa-apa?" tanyanya, membantu Lingga berdiri.
Lingga tidak menjawab.
Hanya senyum tipis yang ia sunggingkan sebelum berkata pelan, "Bi, tolong antar aku ke taman."
Bibi Saras menatapnya lekat-lekat, berusaha mencari jawaban dalam sorot mata biru itu.
Akhirnya, ia mengangguk dan menuntun Lingga keluar dari rumah itu.
**
"Bi, kapan pertunangan Lala diadakan?" tanya Lingga setelah keduanya duduk berdampingan di bangku taman.
"Dua hari lagi," jawab Bibi Saras hati-hati.
"Oh."
Hening sejenak.
Bibi Saras perlahan menggenggam tangan Lingga, mengusapnya lembut.
"Nona tidak perlu bersedih," katanya lembut.
"Nanti akan ada pangeran berkuda putih yang akan menjemput Nona. Bibi yakin pria itu nanti akan jauh lebih segalanya dari Tuan Arkan. Nona hanya perlu menunggu."
Senyum tipis terukir di wajah cantik Lingga.
Bibi Saras, hatimu sungguh baik sekali.
"Sampai kapan aku harus menunggu?" bisiknya lirih. "Tidak akan ada yang mau dengan gadis buta seperti aku."
"Nona!"
Bibi Saras menarik Lingga ke dalam pelukannya.
Sakit sekali mendengar penuturan gadis yang sudah ia rawat seperti anaknya sendiri itu.
Dua puluh enam tahun merawat dan mengasihi Lingga, membuatnya memahami betul perasaan gadis ini.
"Aku menyayangi Bibi," lirih Lingga, membenamkan diri dalam pelukan hangat pengasuhnya.
**
Di sisi lain, di sebuah perusahaan besar dengan ribuan karyawan, suasana hari ini lebih ramai dari biasanya.
Semua orang sibuk memastikan segala sesuatunya sempurna.
Hari ini, mereka akan kedatangan CEO baru, anak pemilik perusahaan sekaligus pria yang akan memimpin mereka ke depan.
"Pastikan semuanya berjalan lancar!" suara pria penuh wibawa menggema di ruangan. Jas hitamnya melekat rapi di tubuh tegapnya.
"Aku ingin putra tampanku terkesan dengan kalian."
"Siap, Pak!" seru semua orang serempak.
Di luar, deretan mobil mewah mulai memasuki gerbang perusahaan.
Beberapa pria berjas hitam dan berkepala plontos berbaris rapi, mengapit satu kendaraan yang paling mencolok.
"Selamat siang, Tuan Besar!" seru mereka serentak, membungkukkan badan dengan takzim.
Salah satu dari mereka maju, membuka pintu mobil yang mereka kelilingi.
Sepatu hitam berkilat menyentuh lantai.
Suasana mendadak menegang.
Lalu, sebuah suara berat terdengar.
"Selamat siang, Ayah."
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
eryuta
Thor 😁 bikin tegang
2022-09-05
1