Happy reading…
Dua hari di rumah sakit memberinya cukup waktu untuk mencerna semuanya. Kenanga sudah mati. Itu fakta yang tak bisa diubah.
Tapi ia tetap ada. Napas masih keluar dari hidungnya, jantung masih berdetak dalam rongga dadanya hanya saja, bukan di tubuhnya sendiri.
Ia tak tahu kenapa ini terjadi. Tak tahu kenapa bukan surga atau bahkan neraka yang menyambutnya, melainkan dunia yang sama dengan beban yang berbeda.
Namun, satu hal yang pasti mau tak mau, ia harus melanjutkan hidup.
Jika tak bisa bertemu dengan bayinya di surga, maka ia harus mencari alasan lain untuk bertahan di sini.
Dan mungkin… kehidupan baru ini bisa memberinya sesuatu yang tak pernah ia miliki sebelumnya.
**
Dua hari di rumah sakit, keadaan Lingga sudah mulai membaik. Strategi sudah disusun rapi. Apa yang seharusnya menjadi miliknya tidak boleh dimiliki oleh orang lain. Tekadnya sudah bulat. Kehidupan keduanya di tubuh gadis cantik ini harus benar-benar ia nikmati, tidak akan ia sia-siakan seperti kehidupan sebelumnya.
Dari segi fisik, Lingga adalah gadis yang sempurna, apalagi mata birunya sungguh amat cantik dan tatapannya meneduhkan.
Seperti pesan awal dan petunjuk pemilik tubuh asli ini, ia harus pura-pura buta demi menemukan titik terang dari awal kecelakaan sampai pengkhianatan yang ia dapatkan.
"Nona, semuanya sudah siap. Ayo, Bibi bantu melangkah," ucap wanita tua dengan tangan keriput yang hangat itu, menuntun dirinya turun dari ranjang rumah sakit.
Namanya Saras, pengasuh sekaligus orang yang paling setia kepada Lingga. Usianya sekitar lima puluh delapan tahunan, namun tubuh tua itu masih terlihat amat sehat.
Dua hari di rumah sakit, tak seorang pun menemui atau sekadar menanyakan kabarnya. Hanya Bibi Saras yang setia menemaninya, bahkan membantunya bolak-balik ke kamar mandi.
"Tongkatnya, Nona."
"Bibi, terima kasih," lirih Lingga tulus.
Dapat ia lihat senyum tak kalah tulus juga menghiasi wajah tua itu, membalas ucapan rasa terima kasihnya.
"Pelan-pelan saja, nanti Nona terjatuh," peringatnya saat Lingga melangkah terlalu cepat.
"Aku pasti sangat merepotkan Bibi. Jika saja waktu itu aku tidak mengalami kecelakaan, pasti Bibi tidak akan serepot ini mengurusku!"
"Musibah tak ada yang tahu. Nona tenang saja, Bibi akan selalu berada di sisi Nona."
**
Bangunan besar dengan halaman luas menyambut kedatangan Lingga. Jika boleh jujur, rumah ini terlalu suram, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya.
"Rumah ini terlalu mewah untuk manusia tak punya hati seperti mereka," gumamnya dengan senyum simpul yang hampir tak terlihat.
"Kita sudah sampai, Bi?" tanyanya, mendalami perannya. Tak lupa, tangan halus nan putih itu mencoba meraba-raba ke kiri dan kanan.
"Iya, kita sudah sampai. Maaf meninggalkan Nona terlalu lama, Bibi harus membayar sewa taksinya terlebih dahulu," sesalnya, kembali mengait sebelah tangan Lingga.
"Papa dan Mama tidak mengirim sopir untuk kita? Sepertinya mereka benar-benar sibuk, atau mungkin sudah lupa memiliki ak..."
Belum sempat Lingga menyelesaikan ucapannya, suara tegas dengan intonasi tinggi itu terlebih dahulu menyela.
"Ck, gadis buta ini terlalu percaya diri! Papa dan Mama tak akan mau menjemput gadis terkutuk sepertimu. Yang ada, nanti mereka malah terkena sial!" makinya, berdecak.
"Minggir, jangan menghalangi jalanku," sinisnya lagi, dengan sengaja menyenggol lengan Lingga hingga terhuyung ke depan. Beruntung, Bibi Saras memegangi dirinya.
Mata cantik berwarna biru Lingga mengamati gerak-gerik gadis dewasa bermake-up tebal dengan baju seksi itu dengan pandangan yang sulit dibaca.
"Lala Qesya Atala," gumamnya samar, terdengar di telinga Bibi Saras.
"Ada apa, Nona?"
"Ke mana gadis jelek itu pergi?"
"Ah, itu… Nona muda mungkin akan menemui Tuan Arkan seperti hari-hari sebelumnya," jawabnya hati-hati.
"Mereka cocok. Jelek dan brengsek!"
Ada keanehan yang Bibi Saras lihat dari Lingga. Tak biasanya Nona-nya ini berkata kasar, bahkan berani menyebut Lala sebagai gadis jelek. Bukankah biasanya Lingga akan selalu menunduk dengan wajah murung saat mendengar nama Arkan mantan kekasih sekaligus tunangannya itu?
"Tapi bukankah dengan begini jauh lebih baik? Setidaknya Nona sudah bisa melupakan Tuan Arkan," ucap Bibi Saras dalam hati.
**
"Nona, jika butuh sesuatu, panggil saja Bibi. Jangan membuat keributan seperti kemarin. Bibi tidak ingin Nona kembali dikurung di gudang lalu dipukuli oleh Tuan dan Nyonya besar," peringat Bibi Saras setelah menyelimuti Lingga.
Gadis cantik itu tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan tanda mengerti.
"Bibi tenang saja, tidak perlu mengkhawatirkanku."
"Baiklah. Kalau begitu, selamat istirahat agar Nona benar-benar sembuh," ucapnya lagi sebelum meninggalkan Lingga.
Sepuluh menit berlalu…
Lingga bergerak cepat mengunci pintu kamarnya. Setelah memastikan semuanya aman, tangannya bergerak mencari sesuatu yang ia anggap janggal dari kamar ini.
Pandangannya berpusat pada pajangan foto yang ada di dinding kamar bernuansa merah muda itu.
"Astaga, aku sungguh heran. Kenapa pemilik tubuh ini begitu bodoh?" geramnya, melihat foto keluarga yang tengah tersenyum manis tanpa dirinya.
"Barang-barang tidak berguna ini harus segera dienyahkan!" sambungnya, menurunkan foto-foto yang ia anggap merusak pandangan mata itu.
"Selebihnya, aku akan meminta bantuan Bibi Saras agar tidak ada yang curiga."
Kakinya bergerak malas menuju balkon kamar, yang menghadap langsung ke taman mini di bagian barat rumah.
"Sepertinya hidup ini akan menyenangkan jika aku dengan ikhlas menjalaninya," gumamnya, memandang taman dengan bunga-bunga yang tengah bermekaran itu dengan senyuman yang terlihat lelah.
BERSAMBUNG…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments